Kini yang tinggal hanyalah Prabu Yudistira. Polah tingkah para buta bajang yang liarnya melebihi singa itu kontan terhadang oleh figur yang hanya berdiri di depan mereka, hanya diam tanpa ekspresi permusuhan dan amarah.
Terkejut bukan main anak-anak bajang itu, seperti berhadapan dengan orang yang selama ini mereka rindukan, ialah bapak Bagaspati.
Maka gerakan dan tingkah laku liar Candrabirawa bagaikan luluh dan justru menyusut jumlah mereka kembali menjadi satu.Â
Sifat liar dan keperkasaannya tersedot oleh darah putih sang Yudistira, dan akhirnya buta bajang yang tinggal satu itupun merangkul tubuh sang Yudistira.
"Aku elok kowe hapaak !"
Tangisnya kian menjadi-jadi dan anak bajang itupun tiba-tiba hilang dari pandangan mata.
Menyaksikan drama mengharukan yang ada di depannya itu, maka tubuh Prabu Salya pun jatuh terjerembak.Â
Tak ada siapapun yang menyerangnya sebab Puntodewa dari awal sudah bertekad untuk tidak melempar pusakanya ke arah sang paman.
Ternyata hanya karena hembusan bau keringat Yudistira yang di matanya saat itu adalah mertua yang dulu dia binasakan.Â
Maka pemuda Narasoma yang kini sudah berusia lanjut itu mati atas penyesalanya sendiri.
Begitulah, sekali lagi:;"Surodiro jayaningrat, lebur dening pangastuti". Semoga bermanfaat.. !
Tasikmadu, 090119.
Keterangan:
Penulis adalah praktisi pendidikan dan pemerhati masalah budaya.