Matahari sudah condong ke barat ketika Rahwana yang gagal menculik Dewi Citrawati membunyika genderang perang.
"Paman Prahasta, kerahkan semua pasukan. Serbuu.. gempuuur..!"
Maka perang antara dua pasukan kerajaan tak terhindarkan lagi.Â
Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan ribuan raksasa dipihak Alengka dan begitu pula ribuan prajurit Maespati.
Ketika banyak senopati perang Alengka mati dalam peperangan itu dan pasukanpun terdesak mundur maka tak ada pilihan lain, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati Maespati.Â
Rahwana segera merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, kepalanya sepuluh dan bertangan dua puluh yang setiap tangannya memegang berbagai jenis  senjata.
Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap saja ratusan prajurit Maespati berguguran bagaikan bunga di musim kering.
Beberapa raja bawahan yang menjadi senopati perang Maespatipun mencoba menghadangnya.Â
Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukanlah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana.
Menyaksikan semua itu, akhirnya Patih Suwanda berkenan maju sendiri untuk memimpin pasukan Maespati.
Tata gelar perang yang dipilih adalah "Garuda Nglayang". Kehadiran ki Patih dalam pasukan membuat para prajurit Maespati bertambah tinggi semangatnya.