Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengawas Sekolah di Simpang Jalan

27 September 2018   23:25 Diperbarui: 27 September 2018   23:34 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Mengawali pembahasan ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk mengingat kembali isi dan makna cerita film Laskar Pelangi (2005), hasil karya anak bangsa yang mendapat sambutan gegap gempita di berbagai belahan dunia. Ternyata bukan saja di Indonesia, di beberapa negara lain film dengan tema serupa selalu disambut oleh masyarakat secara luar biasa. Sebut saja di Inggris ada film berjudul To Sir With Love (1967), di India ada Taare Zameen Par (2007), dan di Hongkong ada "Little Big Master"(2015). 

Dan kiranya masih banyak lagi film lain yang tidak kalah hebatnya. Semua kisah tersebut mengangkat liku-liku perjuangan guru dalam mengabdikan diri di bidang pendidikan dan kemanusiaan.

Menjadi pertanyaan, mengapa banyak orang dari dunia manapun terhipnotis dengan cerita-cerita yang mengangkat perjuangan guru? Itu artinya bahwa guru dalam kondisi apapun senantiasa menjadi titik perhatian. Guru selalu mengundang simpati banyak orang, tidak pandang dari golongan atau etnis manapun, dia adalah central of knowledge, pattern of personality, atau bahkan Castle of culture. 

 Dalam film "Little Big Master" misalnya digambarkan bagaimana perjuangan guru Wai-Hung yang semula sebagai pengajar di sekolah elit dan ternama yang mampu memberinya gaji besar. Namun perempuan itu justru memilih mundur untuk kemudian menyerahkan hidupnya demi anak-anak miskin di sekolah Yuen Kong di pedesaan terpencil. Sungguh malang nasib guru Wai-Hung, karena dia harus jatuh sakit di tengah perjuangannya yang tak kenal lelah itu. (http://www.kompasiana.com/sahroha.lumbanraja/celestial-movies-). 

Tapi, benarkah guru-guru kita di negeri tercinta ini memiliki daya juang seperti yang dicontohkan guru wai-Hung? Menyimak seringnya kejadian yang menjadi headnews di berbagai media yang mengangkat oknum guru sebagai subyek kasus, nampaknya orang patut meragukan daya juang itu.  Pernah marak berita tentang tewasnya seorang siswa SDN 07 Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Di Maluku Utara seorang siswa SMA 7 dikabarkan meninggal akibat ulah gurunya. Bahkan soal pelecehan seksualpun tidak jarang dikaitkan pula dengan perilaku guru. Misalnya Indonesian Lawyer Club (ILC) melalui TV One telah beberapa kali memperdebatkannya. Yang terakhir ILC mengangkat label "Penjahat seksual mengancam anak kita" (Tgl. 18 Oktober 2015). Sungguh terasa miris menyaksikan berita-berita tersebut, seolah-olah menjadi kado kelam yang memilukan bagi insan pendidikan kita. Lalu, apa kata dunia ?

Timbulah pertanyaan, siapakah sebenarnya yang berkompeten untuk mengawasi kinerja para pengemban misi pendidikan itu? Siapakah yang memiliki kewenangan untuk memberikan pembinaan terhadap figur yang konon dulu dianggap setengah dewa itu? Jawabannya tentu saja adalah Pengawas Sekolah, sesuai Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 yang mengurai tentang tupoksinya. Karenanya tidak heran apabila terjadi kasus-kasus yang menerjang nama guru, pasti peran kepengawasan selalu menjadi perhatian publik. Inti dari sorotan itu adalah meragukan terlaksananya fungsi kepengawasan secara baik, sehingga terjadi persoalan-persoalan mendasar di lembaga tersebut.

Kalau begitu, kemana sajakah selama ini para pengawas sekolah sehingga di wilayah kerjanya terjadi banyak peristiwa memalukan? Mengapa mereka seolah-olah hanya berdiri di balik layar? Mereka seperti tidak ada tetapi sebenarnya ada, kedudukannya seperti tidak penting padahal sesungguhnya penting, bahkan keberadaannya atau ketiadaannya bagaikan tidak terasa. Mengambang laksana gabus di atas air. Benarkah demikian ?

Itulah alasannya mengapa penulis menuangkan judul "Pengawas Sekolah Di Simpang Jalan", sederet kalimat yang sengaja penulis tuangkan untuk melukiskan hasil cipta, rasa dan karsa selama enambelas tahun bercengkrama ria dengan berbagai suka dan duka dalam profesi ini. Kalimat yang seolah-olah mengandung arti kegalauan, kegetiran, keresahan atau semacamnya. Namun di dalamnya juga pasti ada kenyamanan, kesenangan, kebanggaan atau semacamnya pula. Silih berganti, kadang jalan terasa berkelok, naik turun, bahkan tajam dan curam. Terutama sekali terasa sejak era reformasi mulai bergulir, yang kemudian melahirkan otonomi daerah. Percaya atau tidak, otonomi daerah itulah yang justru seringkali menghempaskan idealisme kepengawasan.

Dalam UU Nomor: 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan urusan wajib bagi pemerintah kabupaten/kota. Sistem tersebut sangat memungkinkan masuknya imbas politik terhadap kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan. Terutama pada sisi kepegawaian dimana prinsip "the right man on the right place" seringkali sekedar sebagai slogan ketimbang kenyataan. Kader-kader terbaik pendidikan yang sering dijumpai para pengawas di lapangan hanya dapat berdiri sebagai orang pinggiran, tersisih dari gelombang persaingan yang lebih didasarkan pada paradok "like and dislike".

Sebagai akibatnya hasil kepengawasan sering tidak bermakna, kalah dengan percaturan masalah kedinasan yang lain yang dipandang lebih urgen dan memiliki akses politik secara luas. Kondisi semacam ini bukan saja terjadi di satu tempat melainkan hampir di semua daerah di Indonesia. Dalam berbagai acara Musyawarah Nasional Pengawas Sekolah, sering terungkap kejadian-kejadian serupa, yang umumnya para Pengawas Sekolah memprihatinkan hegemoni tangan-tangan lokal yang tidak berdasar pada kompetensi, melainkan hanya ambisi semata.

Terlepas dari persoalan formal di atas, memang persoalan budaya juga menjadi kendala sistem kepengawasan di Indonesia. Keadaan ini tidak terlepas dari begitu lamanya bangsa ini terkungkung dalam alam penjajahan. Setelah merdeka? Semua orang ingin mengambil kesempatan melalui jalan pintas. Era reformasi bahkan melahirkan semacam ledakan budaya (cultural explosion), membuat alam kompetisi yang tidak sehat pada berbagai aspek kehidupan. Semua orang ingin memenangkan persaingan dengan jalan apapun. Kondisi ini terjadi secara massive dan melebar ke berbagai sendi kehidupan, termasuk pula dalam bidang pendidikan. Seperti kata Syahidin (2001) manusia sesuai dengan fitrahnya memang memiliki potensi nafsu berkehendak bebas di samping juga potensi moralitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun