Raden Sunan tertawa tertahan, sambil memandang wajah Ki Guru Ngangsar yang tegang dan berkata, "Kau harus mengakui kenyataan itu Ki Guru Ngangsar."
"Tidak," geram Ki Guru Ngangsar mantap, "aku akan menghancurkan Raden Sekartanjung yang sombong itu."
"Jangan begitu. Jangan memaksa persoalan kecil ini berkembang menjadi persoalan besar," Kata Raden Sunan.
Kini Ki Guru Ngangsarlah yang semakin tegang. Tetapi ketika ia melihat kesungguhan kata-kata Raden Sunan maka iapun harus berpikir ulang. Raden Sunan adalah orang yang sulit dicari bandingnya seperti halnya para Panglima Keraton Demak lainnya.
"Ki Guru, sekali lagi kau tidak perlu penasaran. Lihatlah pertempuran itu telah usai. Orang-orang Ki Ajar telah lari tunggang langgang begitu melihat kedatangan Cucu Adipati. Dan akupun juga akan melanjutkan perjalananku," berkata Raden Sunan, "Tapi ingat, kau adalah orang tua seperti halnya aku yang tentunya tidak sepatutnya ikut dalam permainan ini."
Nampak Ki Guru Ngangsar termangu-mangu mendengar ancaman halus dari orang yang ia segani itu. Ia bahkan terkejut ketika Raden Sunan sempat berpamitan kepadanya.
"Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aku pamit Ki Guru. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,"
"Oh, ya baik Raden Sunan. Wa'alaikumssalam warahmatullah wabarakatuh," Jawab Ki Guru Ngangsar tergopoh-gopoh. Kini pandangan matanya seperti terhipnotis oleh sosok yang meninggalkannya itu sampai bayangannya tertelan oleh rimbunnya perdu di sepanjang pantai.
Tiba-tiba Ki Guru Ngangsar kaget untuk kedua kalinya ketika ia rasakan ada tangan yang menggamit lengannya. Diam-diam seorang anak muda telah datang dan berbisik kepadanya.
"Guru, benar kan apa yang telah aku ingatkan. Tidak mudah mewujudkan apa yang menjadi keinginanmu."
"Oh, kedatanganmu mengejutkan aku Ngger, "berkata orang tua itu.