Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Beberapa Faktor Penyebab Kenakalan Anak

19 Juni 2018   12:17 Diperbarui: 19 Juni 2018   12:32 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apakah faktor utama yang dapat menyebabkan anak memiliki keberanian untuk melanggar aturan, atau dengan kata lain apa yang menyebabkan anak nakal ? Sebenarnya terlalu sulit untuk dapat menemukan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan ini. Hal itu mengingat begitu kompleksnya faktor yang dapat membuat anak menjadi nakal. Pendek kata mulai dari hal yang rumit sampai pada kondisi yang sederhana, semuanya dapat menjadikan anak berani melanggar peraturan. 

Meskipun sangat kompleks, tidak berarti secara paedagogis kita tidak dapat mengidentifikasi faktor-faktor penyebab anak nakal ini. Setidaknya ada beberapa hal yang merupakan faktor dominan, antara lain:

1.  Jenis Kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang cukup dominan terhadap perkembangan fisik maupun mental anak. Dan ini membuat karakter dasar bagi anak untuk berbuat baik atau buruk.

Misalnya selama ini ada kecenderungan bahwa anak laki-laki cenderung banyak berbuat dengan mengambil resiko untuk menuruti kemauannya. Sebaliknya anak perempuan harus berpikir dua kali untuk mengambil resiko salah.

Anak perempuan biasanya lebih cepat mencapai taraf perkembangan baik fisik maupun mentalnya bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Rata-rata anak perempuan setahun lebih cepat mencapai kematangan sexual daripada anak laki-laki.

Disamping itu, anak wanita juga lebih cepat mencapai kesempurnaan pertumbuhan badaniahnya daripada anak laki-laki. Hal yang demikian tentu berpengaruh pula pada perkembangan mentalnya.

2. Faktor Endogen

Sebagimana pendapat para ahli psikologi, terutama yang mengikuti aliran "nativisme". Mereka mengatakan bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Sebagai dasar untuk mempertahankan kebenarannya, biasanya para ahli ini menunjukkan berbagai kemiripan atau kesamaan antara orang tua dengan anak-anaknya. Yang termasuk faktor intern ini adalah keturunan sifat yang diwariskan dari orang tua kepada anaknya.

Misalnya, ayah atau ibunya berdarah seni, maka kemungkinan besar anaknyapun kelak menjadi seorang seniman atau seniwati. Kalau orang tuanya dulu sering melakukan tindakan-tindakan yang tidak selaras dengan nilai dan norma di masyarakat maka orang lantas menasehati anaknya untuk jangan bergaul dengan temanmu si A itu, sebab ayah mereka itu begini... begitu... dan lain sebagainya.

3. Faktor Lingkungan

Artinya, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan yang datangnya dari luar diri anak. Misalnya kebudayaan. Kebudayaan yang ada dimana anak itu hidup, sangat mempengaruhi tingkah laku/kepribadiannya. Misalnya, adat-istiadat, tradisi, pandangan masyarakat dan lain sebagainya akan mampu membentuk sikap mental serta kelakuan anak. Anak-anak yang hidup di pedesaan, biasanya lebih cepat memperoleh kematangan bila dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di kota.

Anak-anak yang lebih banyak mendapatkan kesempatan belajar baik formal maupun non formal, akan lebih banyak memperoleh pengetahuan dan pengalaman, serta akan lebih cepat mencapai kematangan baik intelektual maupoun emosionalnya bila dibandingkan dengan anak-anak yang kurang memperoleh kesempatan belajar.

4. Status anak dalam keluarga

Status anak dalam keluarga, akan banyak memberikan pengaruh perkembangannya. Anak kedua, pada umumnya berkembang lebih cepat dari pada anak sulung atau yang pertama. Hal ini disebabkan karena anak yang lebih muda mendapatkan kesempatan belajar/meniru dari kakaknya.

Namun tidak demikian halnya dengan anak bungsu. Biasanya mereka lebih lambat proses perkembangannya. Ini  disebabkan karena anak bungsu cenderung dimanjakan.

***

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana menyikapi berbagai potensi kenakalan yang mungkin terdapat dalam diri anak-anak kita ? Jawabannya tentu saja perlu adanya kerja sama yang intensif antara orang tua dan guru di sekolah. Kita tidak bisa hanya menggantungkan pada satu pihak saja, mengingat anak berproses dalam kehidupannya melalui keluarga dan sekolah. Bahkan kalau mau agak serius sedikit juga perlu keterlibatan masyarakat, terutama yang ada di sekitar lingkungan anak. Misalnya dalam bentuk organisasi-organisasi tertentu, PKK, karang taruna, dsb.

Dewasa ini untuk mengawal dan mengamati perkembangan anak kita tidak bisa hanya mengandalkan guru-guru di sekolah. Kurikulum yang berlaku sekarang mengalami perkembangan dan berada pada kondisi yang berbeda dengan era tempoe doeloe. Dulu untuk para siswa SD sampai SMA/SMK diberikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), khusus di SD bahkan ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).

Sekarang ini berbeda, pada kurikulum 2013 pendidikan kharakter hanya bersifat "pembiasaan" dan sebagian disisipkan pada mata pelajaran tertentu. Misalnya saat anak masuk ruang kelas dibiasakan berdo'a, menyanyikan lagu-lagu Ke-Indonesiaan. Kemudian pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan misalnya disisipkan "menghafal sila-sila Pancasila", lain waktu dibahas nilai dan pengamalannya. Jadi tidak secara tegas keberadaannya, sehingga akibatnya terkesan kurang eksis di kalangan  para guru dan siswa.

Dengan demikian dalam pengembangan budi pekerti terhadap anak-anak kita, sangat diperlukan peran aktif orang tua di rumah. Misalnya pada saat-saat tertentu ayah atau ibu perlu memberikan ceritera-cerita tentang para nabi, para wali, praktek beribadah, dan masih banyak teknik edukatif lain yang dapat diterapkan untuk meningkatkan sikap dalam diri anak. Di dinding rumahpun atau bahkan di kamar-kamar tidur mereka, perlu ditempel gambar-gambar yang bernuansa keagamaan, gambar tentang aspek sosial dan moral, kerja sama antar teman, dan sebagainya.

Kalau hal-hal yang demikian dapat dilakukan secara sinergis antara guru dan orang tua, maka besar kemungkinan ke dalam diri anak-anak kita akan tertanam nilai-nilai dan norma yang positif yang berlaku di tengah masyarakat. "Semoga !" ***

OLEH :

RUS RUSMAN

Keterangan: Penulis adalah Pengawas Sekolah di Kabupaten Tuban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun