Mohon tunggu...
Ruspeni Daesusi
Ruspeni Daesusi Mohon Tunggu... -

saya beraktivitas sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak, juga di kampus dan di kampung kecil pinggir kali

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Sepatu Emak

19 Oktober 2013   08:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Ruspeni Daesusi (410)

Lomba baris antar sekolah dasar di seluruh kecamatan akan berlangsung dua minggu lagi. Setiap hari sepulang sekolah Ibni dan regunya dilatih baris berbaris oleh Pak Fauzi. Anggota regu sebanyak enam belas orang, dan Ibni terpilih menjadi komandan regu.

Setiap usai subuh Ibni pergi ke rumah Bu Anum. Bu Anum adalah tetangganya yang membuat kue-kue basah yang dijual di toko-toko besar di daerahnya. Ibni bekerja membantu membungkus kue. Sehari Ibni mampu membungkus kira-kira 70 potong kue orem-orem dalam waktu 1 jam.Bu Anum memberi upah empat ribu rupiah. Uang itu dikumpulkan untuk membeli sepatu. yang akan dipakai untuk lomba nanti. Sepatu yang ia pakai selama ini sepertinya tidak sesuai untuk lomba. Sepatu itu sudah usang dan sangat lusuh. Sebagai pemimpin barisan, ia harus kelihatan bersih dan rapi.

Pagi ini sepulang dari bekerja membantu Bu Anum, Ibni berniat membeli bubur ayam untuk sarapan Bapak. Sejak kemarin Bapak tidak bekerja karena batuk-batuk dan badannya panas. Bapak Ibni adalah seorang sopir angkutan umum. Ibni sangat cemas jika batuk-batuk mulai dialami Bapak. Emak meninggal setahun lalu, karena sakit batuk. Ia tidak ingin hal yang sama terulang pada Bapak. Bapak adalah satu-satunya orang yang ia kasihi sekarang. Bapak dan Emak bukan orang tua kandungnya. Ibni memanggil Kakek dan Neneknya itu dengan panggilan Bapak dan Emak. Mereka merawat dan menyayangi Ibni sejak kecil sampai sekarang ia kelas 5. Ibni sangat menyayangi mereka. Sampai sekarang, Ibni sering teringat dan rindu kepada Emaknya.

“Ib, ini ada sepatu milik Fahri, dia sudah bosan pakai. Kamu mau pakai ya. Masih bagus kok. Fahri aja yang bosenan,” kata Bu Anum menunjukkan sepasang sepatu milik anaknya bernama Fahri. Tak disangka, Bu Anum memberikan barang yang sangat diharapkannya. Jadi ia tidak perlu mengeluarkan simpanan uang untuk membeli sepatu.

“Terimakasih banyak Bu..” sahut Ibni senang.

>>>ooo<<<

Ibni memandangi sepatu pemberian Bu Anum. Tidak ada cacat pada sepatu itu. Bentuknya kokoh dan pas untuk ukuran kaki Ibni. Cocok untuk tugasnya memimpin barisan. Pasti keren dan gagah. Wow. Fahri mudah saja bosan dengan barang-barangnya. Padahal barang-barangnya bermerek terkenal dan harganya mahal. Ibni lalu mengamati sepatu sekolahnya. Ah, jauh beda. Sudah tak berbentuk layak. Bawahnya penuh jahitan berulang-ulang. Kulitnya banyak mengelupas. Tiba-tiba ada perasaan menyesak di dada Ibni. Ibni teringat Emaknya. Aku lebih bangga memakai sepatu pemberian emak. Aku takkan melepas jejak kakiku tanpa sepatu Emak, meski penggantinya lebih bagus. Mak, aku sangat rindu ... Ibni teringat kala itu ia memberikan kepada Emak uang simpanannya, untuk mengganti uang Emak yang dipakai membeli sepatunya. Emak menolak, lalu memberikan kembali kepada Ibni untuk ditabung. Tak terasa, mata Ibni membasah, mengingat Emak yang kini telah di alam baka.

“Ib… Kenapa kamu? Ayo brangkat,” Bapak membuyarkan lamunan Ibni.

“Sepatu ini dari Bu Anum bekas punya anaknya. Tapi aku mau pakai sepatu Emak saja, Pak …” suara Ibni serak menahan tangis.

Bapak menanggapinya dengan tenang seperti biasanya, “Terserah kamu Nak, Emak dido’akan saja biar tenang di sana ya. ..” Bapak membesarkan hati Ibni.

Ibni segera beranjak. Bersiap berangkat sekolah.

“Pak, ini ada sedikit uang untuk ke puskesmas. Bapak periksa ya Pak… “ Ibni mendekati Bapak yang terbaring di kamar sempitnya sebelum berangkat sekolah. Ia berharap Bapak segera berobat. Ia tak berniat lagi membeli sepatu baru. Ia juga tidak ingin memakai sepatu pemberian Bu Anum. Baginya, sepatu dari Emak akan membuat semangatnya membara. Ia ingin buktikan bahwa sepatu Emaknya bisa mengantarkannya menjadi yang terbaik.

Ibni rela uang simpanannya diberikan untuk berobat Bapak. Ia tahu, pekerjaan Bapak sebagai sopir hanya cukup untuk membeli makan. Tidak cukup untuk ke dokter. Saat ini makin banyak orang yang punya sepeda motor, jadi penumpang angkutan umum semakin sedikit. Meski penumpang sepi, Bapak tetap saja menjalankan mobil angkutan umum milik Haji Sodiq, karena hanya itu yang mampu dilakukan Bapak. Bapak menyetor uang hasil menyopir kepada Haji Sodiq, baru kemudian Bapak menerima upahnya. Ibni sebetulnya tidak tega melihat Bapaknya yang mulai keriput itu masih saja bekerja. Bapak juga tak menghendaki Ibni ikut bekerja. Namun Ibni berkukuh untuk bekerja yang ringan agar bisa menabung. Akhirnya Bapak mengijinkan asal tidak mengganggu waktu belajar.

>>>ooo<<<

Sore ini adalah latihan terakhir. Besok adalah hari lombanya. Kali ini semua peserta lomba baris melakukan latihan bersama. Di sepanjang jalan tampak orang-orang sudah ramai menunggu acara berlangsung.

Dengan semangat Ibni menyiapkan kelompoknya. Seluruh anggota regu berseragam putih-merah dengan sepatu dan kaos kaki warna hitam. Setiap baris berjajar tiga orang. Sambil menunggu anggota regu memperbaiki barisan, Ibni melirik sepatunya. Ia sudah membeli semir hitam untuk menyemir sepatu supaya nampak bersih. Namun kulit sepatu yang sudah mengelupas tidak bisa tertutup oleh semir. Ibni melirik sepatu teman-temannya. Tak ada sedikitpun yang tampak usang. Dan mengkilap semua.

“Siaaaaap graaaaaak!! “ seru komandan. Ibni mencoba menghentakkan kakinya kuat. Ia bangga dengan suara “brok.. brok” dari sepatunya. Seperti suara sepatu para tentara ketika baris.

“Majuuu… jalaaan!!” pimpinnya. Seluruh anggota regu mengikuti instruksinya. Suara brok brok dari sepatu-sepatu itu membuat mereka makin mantap dan semangat. Beberapa gerakan bebas yang dilakukan oleh kelompok Ibni mengundang tepuk tangan orang-orang yang berjajar di pinggir jalan. Regu Ibni dengan kompak memeragakan gerakan seperti olah raga silat. Mereka melalukan gerakan atraktif tersebut di sela-sela baris. Berkali-kali tepuk tangan ditujukan kepada regu Ibni. Ibni dan teman-temannya semakin semangat. Apalagi beberapa orang tampak memotret dan merekam gerakan mereka.

Tiba-tiba ada sesuatu yang aneh. Ibni merasa sepatunya makin longgar. Ibni berusaha terus berjalan dengan tegap. Namun gerakannya justru menyebabkan sepatu hendak copot dari kakinya. Akhirnya .., Ibni mulai gugup. Sepatu kanan bagian depan terbuka. Kaos kaki menyembul. Jika sepatu itu masih digerakkan, maka semua bagian akan robek. Dan benarlah. Ketika satu kali gerakan dilakukan oleh Ibni, sol sepatu kedua kakinya lepas dan rompal. Seluruh bagian atasnya robek. Pertanda sepatu itu sudah minta istirahat. Dan yang paling membuat Ibni tersentak, sepatunya melayang dan melesat entah ke arah mana.

Terdengar suara riuh. Orang-orang tertawa menyaksikan peristiwa itu. Konsentrasi Ibni dan kelompoknya buyar. Ibni malu dan sedih. Air matanya tumpah. Untunglah Pak Fauzi mendampingi mereka. Pak Fauzi memberi tanda untuk berhenti, berusaha mengatasi keadaan.

“Sudahlah Ib, masih ada waktu untuk tampil besok. Ini bukan akhir kok,” dirangkulnya Ibni yang sedang menahan tangis. “Kalian semua sudah hebat. Semua orang memberi tepuk tangan … Sudah, ini pakai sepatu saya dulu,” hibur Pak Fauzi sambil melepas sepatunya.

Ibni masih terduduk lemas. Sepatu emak ... kini tinggal sebelah kiri dan tidak berbentuk lagi. Mak, sepatunya hancur ... Aku kangen Mak, rintih hati Ibni.Untunglah semua teman menyemangati Ibni. Mereka berupaya membesarkan hati Ibni untuk kembali melanjutkan kegiatan sampai ke tempat finish.

>>>ooo<<<

“Emak pasti bangga Ib dengan kemauanmu. Emak pasti sangat senang sepatu itu sudah kamu manfaatkan sampai benar-benar manfaatnya habis. Emak justru sedih kalau kamu menangis gara-gara sepatu itu hancur,” Bapak menasehati Ibni dengan lembut, seusai sholat magrib. Sore itu Ibni malas ke masjid karena kejadian tadi. Ia sholat di rumah berjamaah bersama Bapak. Bapak juga tidak pergi ke masjid, karena badannya masih panas dingin.

“Pak ... aku ingin apa yang diberikan Emak ... bisa membuatku berhasil Pak ... Aku ingin membuktikan bahwa pemberian Emak adalah yang terbaik .., “ jawab Ibni dengan suara terbata.

“Emak mendidikmu menjadi anak yang tidak cengeng. Kamu mau dan rela bersusah-susah mencari uang saat anak-anak seusiamu sedang tidur di pagi hari. Emak justru bangga melihatmu mendapatkan kebaikan dari usahamu mencari rizki. Kamu mendapat sepatu bagus dari tempat kamu mencari rizki. Kamu harus bersyukur. Saat sepatu Emak sudah habis fungsinya, kamu mendapatkan gantinya. Bahkan uangmu utuh. Jika Emak tahu, pasti Emak akan tertawa senang,” kata-kata Bapak menyejukkan hati Ibni.

“Tapi Bapak besok harus ke puskesmas beneran ya Pak ...” harap Ibni sambil menatap Bapak. Diusap air matanya yang tersisa.

Bapak tersenyum.

“Janji Pak, aku tidak mau ikut baris besok kalau Bapak tidak pergi berobat.”

“Insyaallah. Yang penting kamu harus semangat ya. Siapkan sepatu dari Bu Anum untuk besok. Ingat, Emak pasti senang jika kamu melakukan itu. Dan kamu gak perlu kasih uang untuk Bapak ya.”

“Iya..” sahut Ibni. Hatinya mulai tenang. Apa yang diucapkan Bapaknya selalu menghapus kesedihannya dan menumbuhkan semangat.

>>>ooo<<<

“Kiri!! Kiri!! Putaar … Hola!! Majuuu … jalaaaan!!” Sang komandan berapi-api memimpin barisan. Begitulah,silih berganti intruksi yang diteriakkan Ibni kepada anggota kelompoknya. Dengan mantap dan lincah mereka mengayunkan langkah dan memeragakan gerakan-gerakan yang telah dikuasainya selama latihan. Seperti kemarin, penampilan regu Ibni selalu mendapat tepuk tangan dan pujian dari penonton. Ibni, sang komandan tak ragu-ragu menggerakkan kakinya dengan sepatu kokohnya. Ia ingin Bapak dan Emak bangga padanya, meskipun Bapak tidak menyaksikan, apalagi Emak.

Ada sebanyak 15 kelompok peserta lomba baris. Kelompok Ibni mendapat nomor urut 09. Di tengah semangat yang berkobar, Ibni melihat beberapa angkutan umum seperti yang disopiri Bapak. Beberapa orang melambai-lambaikan tangan. Hati Ibni berdegup.. Bapak.. Yah.. Bapak tengah menyaksikan penampilannya. Bersama teman-teman sopir, Bapak menonton lomba. Tak terkira betapa bahagia Ibni. Bapak tampak mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi. Bapak membuat aku menjadi lebih semangat. Sekarang tidak apa-apa menonton, tapi besok Bapak harus mau ke puskesmas, seru Ibni dalam hati.

Rasa gembira kembali melingkupi hati Ibni dan seluruh teman-temannya. Meskipun tidak mendapatkan rangking, kelompok nomer09 mendapat predikat “pemenang favorit”. Pak Fauzi sangat bersyukur dengan hasil yang diperoleh murid-muridnya. Demikian pula Kepala Sekolah dan seluruh Bapak Ibu Guru lain. Para orang tua murid juga bangga dengan prestasi anaknya. Dan yang tak kalah syukurnya, adalah Bapak Ibni. Bapak Ibni bersyukur karena anaknya mampu mengatasi kepedihannya atas sepatu pemberian Emak yang telah hancur. 18.10.13

NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akunFiksiana Community

Silakan bergabung di groupFB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun