Mohon tunggu...
Petrus Kanisius Siga Tage
Petrus Kanisius Siga Tage Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi setengah matang

Akademisi setengah matang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan featured

Apa yang Mesti Dilakukan Amerika terhadap Iran?

22 Juni 2019   16:32 Diperbarui: 3 Januari 2020   15:36 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juni 2019, di selat Hormuz, pasukan revolusioner Iran berhasil berhasil menembak jatuh drone militer Amerika. Tak ada korban jiwa pun tak ada masalah besar. Tapi, insiden itu jelas memalukan bagi orang Amerika. Lebih-lebih ketika Iran mengatakan itu sebagai "a clear message".

Jendral garda revolusi Iran, Hossein Salami, menanggapi aksi itu dalam jumpa pers di televisi nasional mengatakan "not have any intention for war with any country, but we are ready for war".

Kalimat itu selain mengatakan kesiapan mereka, di sisi yang lain menunjukkan bahwa mereka terus mengawasi gerak-gerik musuh alamiah yang merepotkan: Amerika. 

Hal itu lumrah terjadi, dalam spektrum yang luas kita bisa melihat bahwa seperti itulah keadaan hubungan panas kedua negara. Aktivitas pesawat tak berawak di kawasan Hormuz sebagai mata-mata Amerika bukan barang baru.

Pada masa perang dingin Amerika VS Uni Soviet pada 1960-an yang dibumbui dengan lebih banyak kebencian dan rasa curiga, Iran yang berpatron dengan Rusia sudah sering terlibat dengan pesawat-pesawat tanpa awak Amerika.

Selama 40 tahun mereka saling memata-matai dan menyadap, terlibat dalam perang ekonomi dan sanksi, melakukan perang proksi di Irak, Suriah hingga Yaman, terlibat dalam propaganda dan kontra-propaganda, bertukar penghinaan, hingga terang-terangan mendukung aksi terorisme yang disponsori negara.

Sejak kejatuhan dinasti Shah pada tahun 1979 dan penyanderaan orang Amerika di kedutaan Teheran, Amerika dan Iran telah berperang dengan cara-cara yang licik dan kotor---untuk tidak mengatakan bahwa cendrung tidak beradab.

Hanya perjanjian proliferasi nuklir internasional berumur pendek yang ditandatangani pemerintahan Obama pada tahun 2015 mewakili banyak upaya gencatan senjata dalam permusuhan mereka yang tak henti-hentinya, dan tentu saja yang sekarang telah dibatalkan oleh Donald Trump. 

Setan besar vs poros kejahatan? Ini bukan cerita baru.

Sesuatu yang baru terjadi adalah bahwa Iran sekarang tampaknya memenangkan perang dingin mereka setelah insiden di Hormuz---dan itu terjadi akibat kesalahan Trump dan para pendahulunya. 

Iran meminta bantuan Kim Jong Un, sesama anggota klub negara "nakal", kolaborator nuklir rahasia, dan inspirasi untuk melakukan konfrontasi kepada Amerika. Terlepas dari sanksi ekonomi AS dan PBB yang amat keras, dan dengan pengabaian terhadap kesejahteraan warganya sendiri, Kim, sekutu Iran itu, telah mengembangkan persenjataan nuklir sedemikian rupa sehingga ia sekarang makin kebal dari agresi militer AS.

Dengan nuklir di tangannya, Kim kini dengan mudah menghantam Jepang dan Korea Selatan sebagai sekutu besar Amerika di Asia. Dengan misil-misilnya, jika cukup beruntung mungkin juga dapat secara akurat mencapai kepentingan Amerika di Guam dan Hawaii, bahkan mungkin pantai barat Amerika. Akhir dari cerita ini kita semua tahu. Langkah Kim telah sangat menarik perhatian Amerika.

Sekarang Amerika ingin berbicara dengannya, memperlakukannya sebagai yang setara, memberkatinya dengan prestise terselubung sebagai negara yang mampu mengembangkan tenaga nuklir---untuk tidak menyebut senjata nuklir. Rezim Kim yang sebelumnya sering dikutuk Amerika kini jelas tidak tidak bisa disepelakan. Dinasti otoriter tololnya kini terjamin.

Program yang awalnya dinilai oleh para pakar barat sebagai tindakan sembrono untuk memperoleh senjata nuklir dan memproyeksikan kekuatan itu jauh ke Pasifik, pada akhirnya justru berhasil.

Presiden Amerika berturut-turut gagal menahannya secara diplomatis atau militer, dan sekarang Kim harus ditenangkan dengan strategi yang tidak biasa, yang sama sekali bukan gaya Amerika, sebab itulah pilihan yang paling rasional.

Nah, jika Amerika sebagai pengawas nuklir dunia pelajaran apa yang akan mereka ambil dari perkembangan seperti itu?

Apa yang seharusnya dilakukan Donald Trump kepada Iran mestinya mereka meniru cara yang mereka lakukan kepada Korea. Harus ada kesepakatan nuklir Iran (secara resmi---rencana aksi komprehensif yang juga dijamin oleh Jerman, Prancis, dan Inggris) yang dijalankan dengan baik, atau setidaknya menawarkan kemungkinan untuk memperlambat dan menahan Iran.

Bahwa mungkin Iran tidak tulus, dan sangat mungkin bertindak curang. Amerika harus tetap melakukan kesepakatan baru, sebab, ketika Iran telah mempercepat proyek nuklir mereka yang sudah maju, kelak tidak ada yang bisa dilakukan oleh Amerika tentang hal itu, bahkan dengan serangan udara---mengingat bahwa invasi darat akan memperpanjang konflik di Irak dan Afghanistan yang belum benar-benar pulih.

Jika Amerika pada akhirnya bisa membebaskan Iran mengembangkan senjata nuklir, mungkin dapat mencegah mereka berperang. Tentu saja, ini akan jadi sebuah ironi besar bagi Amerika, namun, tetap saja tindakan membebaskan Iran adalah langkah paling rasional saat ini untuk bisa menghindari konfrontasi militer yang akan berdampak luas pada situasi global.

Amerika mungkin hanya memiliki waktu beberapa bulan sebelum akhirnya kelak Iran memiliki kekuatan nuklir yang lengkap. Dalam situasi ini, betapapun menyebalkan, penting bagi Amerika untuk berpikir lebih jauh dalam mengamankan statusnya sebagai negara adikuasa sekaligus pemain regional, dari sekadar berperang dan menghabiskan banyak sumber daya.

Seperti sikapnya kepada Kim, terhadap Iran, Trump tidak akan memiliki banyak pilihan saat ini selain berdamai dan memperlakukan Iran secara setara. Bahwa itu akan jadi penghinaan lebih lanjut bagi seorang presiden Amerika di tangan Iran, harus diakui, tetapi dalam jangka panjang, bisa jadi akan mengarah pada upaya penyelesaian yang lebih realistis dari perbedaan gagasan di kedua belah pihak.

Selama bertahun-tahun Perang Dingin antara Uni Soviet dan skutunya VS Amerika dan sekutunya, dimainkan tanpa ampun dan brutal dengan pelibatan bangsa lain, dari Angola ke Vietnam, bahkan Indonesia.

Perang proksi dilancarkan, pesawat mata-mata dan pesawat sipil secara berkala ditembak jatuh oleh pasukan udara yang panik, mata-mata ditangkap dan ditukar, sementara ultimatum dan ketegangan kadang-kadang meningkat secara menakutkan (silahkan bandingkan perang proksi di Kuba pada 1962 atau Afghanistan pada 1980).

Dalam kondisi-kondisi semacam ini masyarakat global harus bertindak aktif menekan Amerika maupun Iran, sebelum ancaman kebinasaan konflik termonuklir global tiba. 

Kita semua pernah khawatir bahaya nuklir yang ditimbulkan oleh Kennedy VS Khrushchev atau Reagan VS Brezhnev pada beberapa dekade yang lalu. Perlu bagi dunia untuk menekan Amerika dan Iran agar membuka saluran komunikas terbuka, bersikap tenang, dan menarik diri dari upaya konfrontasi militer. 

Bagaimanapun pada akhirnya ancaman senjata nuklir masih sangat berbahaya dan menakutkan bagi kita semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun