Mohon tunggu...
Petrus Kanisius Siga Tage
Petrus Kanisius Siga Tage Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi setengah matang

Akademisi setengah matang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Maimon Herawati dan Upaya Perebutan Ruang Publik

4 Februari 2019   10:45 Diperbarui: 4 Februari 2019   11:53 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Tribunnews.com

Ditengah ingar bingar keributan Faldo Maldini VS Addie MS, Jerinx Vs Anang-Ashanty di media sosial dalam beberapa pekan belakangan tiba tiba muncul lagi satu nama, Maimon Herawati, ibu-ibu rempong yang gemar bikin petisi kontroversi.

Kita tentu masih ingat bukan? saat Maimon bertarung keras dengan para fans K-pop karena petisi yang ia bikin.

Kali pertama, keributan terjadi karena Maimon membuatkan petisi untuk menolak penampilan SNSD di acara Countdown Asian Games 2018. Saat itu, SNSD memang diundang untuk mengisi acara untuk Asian Games. 

Kebetulan acara tersebut bertepatan dengan Kemerdekaan RI, Maimon pun membuat petisi menolak SNSD dalam acara Syukuran Kemerdekaan RI, padahal saat itu SNSD datang untuk tampil di acara Countdown Asian Games 2018.

Seakan ketagihan cari ribut dengan para fans K-pop, belum lama ini, pada kali yang ke dua, Maimon membikin petisi boikot iklan Shopee BLACKPINK yang membuat geram fans K-pop

Nah, kali ini, tidak kala garang, setelah bertarung dengan diehard fan K-pop, Maimon memilih lawan lain, yaitu para aktivis dengan membuat petisi menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan judul petisi yang menohok: TOLAK RUU Pro Zina

Dalam kasus petisi penolakan RUU PKS, ada beberapa hal yang menjadi alasan Maimon menolak RUU PKS. Di antaranya RUU ini dianggap Maimon akan berpotensi melegalkan perzinahan.

"Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan, diperbolehkan. Zina boleh kalau suka sama suka" tulis Maimon.

Maimon juga menuding bahwa RUU PKS akan melegalkan aborsi dan LGBT. "Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yg sukarela diperbolehkan. Bahkan, seorang ibu yg memaksakan anak perempuan nya untuk berhijab, bisa dijerat hukum. Ekstrim, bukan?."

"Relasi yang dibahas adalah relasi kuasa berbasis gender, artinya lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki, asal suka sama suka." Tulisnya.

Penjelasan Maimon diatas sepintias tampak masuk akal, tetapi jika dilihat lebih dalam sebetulnya sangat keliru-untuk tidak mengatakan bodoh. Maimon rupanya tidak paham bahwa RUU PKS ini adalah RUU khusus (lex spesialis) yang menangani kekerasan seksual yang berfokus pada aspek pemenuhan kebutuhan korban dan pemenuhan hak korban bukan konteksnya ingin melegalkan perzinaan atau LGBT.

Melalui RUU PKS, diharapkan kelak ketika menjadi UU, dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban pelecehan seksual, korban eksploitasi seksual, korban pemaksaan kontrasepsi, korban pemaksaan aborsi, korban pemerkosaan, korban kawin paksa, korban pemaksaan pelacuran, korban perbudakan seksual, dan korban penyiksaan seksual.

Nah, terkait dengan perzinaan yang disebutan Maimon, sebetulnya sudah diatur dalam KUHP. Begitu juga soal aborsi yang sudah diatur dalam KUHP, UU Kesehatan, hingga PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi.

Merebut ruang publik

Ini adalah hal terpenting yang harus kita cerna dengan serius, bahwa, dari tiga aksi bikin petisi, Maimon sebetulnya bukan hanya ibu-ibu rempong kurang kerjaan yang bisa kita remehkan. Ia  adalah seseorang yang mampu menggerakkan massa agar orang-orang mulai mengikuti budaya tertentu.

Dalam kasus petisi penolakan RRU PKS kita melihat ada interpretasi berlatar belakang agama yang cendrung konservatif. Hal ini, justru akan mempersulit upaya pemberdayaan kaum perempuan ketika berhadapan dengan rumusan aturan yang amat patriarki.

Dengan kondisi politik kita hari-hari ini, orang-orang semacam Maimon akan terus hadir. Mereka akan semakin aktif membentuk opini publik dalam pelbagai isu, terutama persoalan semacam  LGBT serta kebebasan dan kedaulatan perempuan.

Cepat atau lambat kelompok-kelompok ini akan semakin kuat merebut ruang publik dan merampas kebebasan banyak orang. Petisi mengatur cara berpakaian dan urusan hubungan seksual adalah salah satu tanda kecil bahwa perlahan-lahan ada kebebasan kita yang mulai dirampas atas dasar moral dan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun