Melalui RUU PKS, diharapkan kelak ketika menjadi UU, dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban pelecehan seksual, korban eksploitasi seksual, korban pemaksaan kontrasepsi, korban pemaksaan aborsi, korban pemerkosaan, korban kawin paksa, korban pemaksaan pelacuran, korban perbudakan seksual, dan korban penyiksaan seksual.
Nah, terkait dengan perzinaan yang disebutan Maimon, sebetulnya sudah diatur dalam KUHP. Begitu juga soal aborsi yang sudah diatur dalam KUHP, UU Kesehatan, hingga PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi.
Merebut ruang publik
Ini adalah hal terpenting yang harus kita cerna dengan serius, bahwa, dari tiga aksi bikin petisi, Maimon sebetulnya bukan hanya ibu-ibu rempong kurang kerjaan yang bisa kita remehkan. Ia  adalah seseorang yang mampu menggerakkan massa agar orang-orang mulai mengikuti budaya tertentu.
Dalam kasus petisi penolakan RRU PKS kita melihat ada interpretasi berlatar belakang agama yang cendrung konservatif. Hal ini, justru akan mempersulit upaya pemberdayaan kaum perempuan ketika berhadapan dengan rumusan aturan yang amat patriarki.
Dengan kondisi politik kita hari-hari ini, orang-orang semacam Maimon akan terus hadir. Mereka akan semakin aktif membentuk opini publik dalam pelbagai isu, terutama persoalan semacam  LGBT serta kebebasan dan kedaulatan perempuan.
Cepat atau lambat kelompok-kelompok ini akan semakin kuat merebut ruang publik dan merampas kebebasan banyak orang. Petisi mengatur cara berpakaian dan urusan hubungan seksual adalah salah satu tanda kecil bahwa perlahan-lahan ada kebebasan kita yang mulai dirampas atas dasar moral dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H