Mohon tunggu...
Petrus Kanisius Siga Tage
Petrus Kanisius Siga Tage Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi setengah matang

Akademisi setengah matang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

English Day dan Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah Nusa Tenggara Timur

1 Februari 2019   17:22 Diperbarui: 2 Februari 2019   09:10 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bbc.com

Tidak ada yang lebih menyedihkan selain menyaksikan kematian suatu bahasa dan kita tidak mampu berbuat apa-apa. Tentu saja, tidak banyak orang yang tahu bahwa bahasa dapat "mati" sejak awal. Saya tahu pertama kali istilah kematian bahasa adalah ketika sedang mempertimbangkan mengambil kursus bahasa Spanyol belum lama ini.

Menurut laporan BBC (2009), saat ini 6% dari bahasa dunia dituturkan oleh 94% dari populasi dunia, 94% sisanya dari bahasa dituturkan oleh 6% dari populasi. Bahasa tunggal terbesar menurut populasi penutur adalah Mandarin (845 juta penutur) diikuti oleh Spanyol (329 juta penutur) dan Inggris (328 juta penutur), sementara 133 bahasa digunakan oleh kurang dari 10 orang. 

Dari bahasa-bahasa itu, diperkirakan 7.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia akan menyusut dengan cepat dalam beberapa dekade mendatang.

Pada tahun 2100, 90% dari bahasa dunia diperkirakan akan menghilang (Comrie et al., 2003; Abrams & Strogatz, 2003 ). Sebuah studi Portraits of Indonesian Language Vitality yang dilakukan oleh Anderbeck (2013) menunjukan bahwa di Indonesia, kematian bahasa daerah terjadi sangat cepat, masif, dan dalam jumlah besar dalam 19 tahun terakhir.

Sasse (1992) dalam buku Theory of language death. Language death: Factual and theoretical explorations with special reference to East Africa menjabarkan definisi sebenarnya dari kematian bahasa adalah ketika sebuah bahasa tidak memiliki penutur asli yang tersisa. Ada beberapa cara berbeda yang bisa terjadi, tetapi intinya adalah, jika hanya ada satu orang yang berbicara bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka dan lancar, maka bahasa tersebut telah mati.

Dalam A Linguistic Perspective on. Geographical Names, Lauder & Lauder, (2012) menjelaskan bahwa kematian bahasa bisa terjadi secara tanpa disadari karena sekalipun jika masih ada anggota komunitas lain yang mengerti suatu bahasa atau mungkin sedikit bisa berbicara, bahasa ini akan hancur karena tidak akan bertahan untuk diteruskan ke generasi baru sebagai bahasa asli.

Bahasa dapat mati secara bertahap, yang mungkin merupakan cara paling alami adalah adanya pengaruh luar bahasa mayoritas yang masuk ke dalam kelompok komunitas bahasa minoritas. 

Di titik ini kematian suatu bahasa bisa saja dimulai langsung dari dalam rumah, atau dapat dimulai di suatu daerah setingkat pemerintahan (Citrin et al., 1990). Gejala ini yang tampaknya mulai muncul di Nusa Tenggara Timur (NTT), kita bisa menyaksikan kasus ini di ibu kota provinsi atau kabupaten.

Penyebab paling umum dari kematian bahasa adalah ketika sebuah komunitas yang sebelumnya hanya berbicara satu bahasa mulai berbicara bahasa yang lain. Ini disebut "pergeseran bahasa". 

Komunitas pertama menjadi bilingual, tidak membuang bahasa ibu mereka, tetapi segera mereka mulai menggunakan bahasa baru semakin banyak, sampai bahasa ibu mereka tidak lagi digunakan (Lauder & Lauder, 2012)

Pergeseran bahasa dapat terjadi secara alami, tetapi sering kali, karena didorong oleh pemerintah di suatu daerah dengan cara tertentu, karena bahasa yang dibuang umumnya bahasa daerah atau minoritas. Kadang-kadang komunitas memutuskan bahwa akan lebih baik jika mereka belajar bahasa yang lebih dapat diterima secara sosial atau populer, karena anggotanya kemudian akan memiliki akses ke sosial dan ekonomi jika bahasa itu dipelajari (Nicholls, 2008)

Hal ini yang terjadi di NTT, dimana Gubernur Laiskodat baru-baru ini mengeluarkan peraturan  English day, jika diselisik, tentu ada maksud baik dari gubernur agar masyarakat NTT bisa belajar bahasa Inggris, namun untuk sampai pada tahap peraturan, gubernur harus membuat kajian yang lebih mendalam soal dampak dan akibat pemberlakuan English day. 

Yang terlihat, alasan penetapan English day adalah karena NTT sebagai wilayah pariwisata sehingga masyarakatnya harus bisa berbahasa Inggris, ini tentu saja konyol, seolah-olah kita harus bersusah payah belajar bahasa Inggris hanya untuk melayani para tamu-tamu kita.

Terbitnya pergub English day mestinya harus beriringan dengan pergub lain terutama pergub soal bahasa daerah yang menurut laporan Jakartapost (2014) sedang sekarat, di Alor misalnya sebuah bahasa sedang sekarat, pada 2014 yang lalu ahli bahasa Nick Williams telah mendokumentasikan Kula, bahasa yang terancam punah dengan 5.000 penutur di Alor. 

Studi  Language management and minority language maintenance in (eastern) Indonesia: strategic issues yang dilakukan Arka (2013) menunjukan bahwa NTT termasuk daerah yang memiliki bahasa daerah minoritas dengan kurang dari 1.000 penutur yang jika tidak di perhatikan akan terancam punah.

Dengan gambaran diatas, gubernur Laiskodat mestinya lebih bijak untuk mengeluarkan peraturan dengan dasar kajian yang dalam, bukan hanya demi semata-mata melayani tamu wisatawan. Sebelum mengeluarkan pergub English day gubernur bisa membenahi dulu persoalan bahasa daerah NTT agar tidak sampai punah. Sikap terburu-buru gubernur akan menjadi boomerang bagi keberlangsungan bahasa daerah NTT, yang hari-hari ini dalam kondisi gawat-untuk tidak mengatakan bahwa sebagiannya sudah mati

Dalam On the Death and Life of Languages, Hagge (2009) menjelaskan bahwa kehilangan bahasa daerah pada dasarnya adalah kehilangan warisan budaya yang sangat besar, yang menggambarkan cara masyarakat mengekspresikan hubungan dengan alam, dengan dunia, serta dengan keluarga dan kerabat. Selain itu, bahasa daerah, masih menurut Hagge (2009) adalah bentuk ekspresi humor, cinta, dan kehidupan para penuturnya. 

Bahasa bukan hanya kumpulan kata-kata. Mereka hidup, bernapas, dan menjadi jembatan koneksi yang mendefinisikan budaya. Ketika bahasa menjadi punah, budaya di mana ia tinggal juga hilang. Gubernur mestinya paham ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun