Mohon tunggu...
Petrus Kanisius Siga Tage
Petrus Kanisius Siga Tage Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi setengah matang

Akademisi setengah matang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menagih Janji Gubernur NTT: Viktor Laiskodat

25 Januari 2019   13:44 Diperbarui: 25 Januari 2019   14:07 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sumber Gambar: Tribunnews

Pada akhir tahun 2018 yang lalu, riuh rendah perayaan hari ulang tahun provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ke 60 menggema di lini masa oleh sebab dua hal, pertama karena kedatangan Slank yang dinobatkan menjadi duta kelor, yang kedua oleh pidato gubernur yang akan "melipat" anak muda yang malas bekerja dan kurang membaca.

Sampai disini, sebagai perayaan, peringatan hari jadi NTT boleh dikatakan sukses, sebab, begitu banyak orang bergembira dan mengapresiasi, tetapi sebagai ruang refleksi dan evaluasi kerja trimester awal kepemimpinan gubernur, pesta rakyat ini hanyalah ironi tanpa nilai, di tengah beragam masalah akut yang menghantam provinsi NTT.

Menagih Janji Perubahan Gubernur

Sejak dilantik pada 5 september yang lalu, gubernur tampak terus sesumbar tentang berbagai upaya penuntasan masalah di NTT. Pernah, seolah-olah tanpa ragu dan amat tegas, gubernur berapi-api berjanji ingin mengangkangi borjuis tambang di NTT yang menghasilkan begitu banyak masalah, melalui moratorium.

Pada kesempatan yang lain, tepuk tangan dan gemuruh sorak pernah dialamatkan kepada gubernur, setelah ia berjanji akan melakukan perlawanan terhadap mafia human trafficking dengan moratorium pengiriman tenaga kerja. Tak tagung-tagung, gubernur memulainya dengan menghentikan kepala dinas tenaga kerja. Sebuah upaya yang tentunya amat agresif.

Namun, setelah beberapa waktu, dua janji moratorium yang paling mendapat atensi publik diatas, menguap begitu saja oleh sebab karena eksekusi yang tidak sejalan dengan janji gubernur.

Dalam soal moratorium tambang misalnya, alih-alih menghentikan eksploitasi tambang secara paripurna, gubernur justru menetapkan aturan yang hanya berfokus pada evaluasi regulasi semata yang memberi celah pada industri tambang untuk tetap eksis mengeruk perut bumi NTT. Sementara, hingga saat ini, pasca janji moratorium TKI, sudah ada 102 jenazah TKI yang dikirim pulang ke NTT.

Kebijakan Populis

Sebagaimana jamaknya kekuasaan, ia memerlukan kemegahan dan kemewahan, upacara dan pertunjukkan. Ia perlu the poetic of power. Untuk memelihara the poetic of power kekuasaan perlu intrik yang diasuransikan dalam bentuk tindak tanduk populis, hal ini agakanya dipahami betul oleh gubernur.

Kita tentu masih ingat soal gubernur yang "lompat pagar" wewenang. Dengan lantang, gubernur membentak anggota dewan di hari pertama paripurna. Di tengah merosotnya kepercayaan publik pada parlemen, tindakan tanpa tedeng aling-aling gubernur, sejurus dengan mudah dinilai sebagai heroisme.

Pada kesempatan yang lain, kita sering mendengar dan membaca berbagai janji gubernur untuk menghasilkan perubahan. Dari daun kelor, biaya masuk Taman Nasional Komodo, hingga pelegalan arak lokal. Gubernur tampaknya pandai memilah dan berpidato soal isu yang bisa menarik minat publik secara luas tetapi lupa pada isu sentral yang sudah lama menggrogoti NTT.

Kita tahu, sampai saat ini, dalam data riset, NTT menjadi provinsi dengan kasus stunting tertinggi di Indonesia dengan angka-angka yang terus menggeliat. Di sisi lain, meski pertumbuhan ekonomi dilaporkan meningkat, tetap saja, rata-rata rasio gini NTT dalam beberapa tahun terakhir tidak berubah signifikan.

Kasus stunting dan rasio gini yang tidak meningkat, sudah lama dipercaya oleh banyak ahli sebagai penanda bahwa indeks kesejahteraan masyarakat kita belum bisa dikatakan baik. Situasi kesejahteraan yang tidak terpenuhi akan menyisahkan ruang investasi bagi lahirnya lingkaran setan untuk masalah lain seperti; tindakan kriminal, angka putus sekolah, buruknya indeks literasi, ketiadaan lapangan kerja, human trafficking, dll

Mulai Bekerja Serius

Sesudah pesta mewah dengan mendatangkan artis ibu kota dan pidato sesumbar "melipat" pemuda malas kerja dan membaca, mestinya gubernur beserta timnya mulai memetakan ulang masalah mendasar di NTT yang memberi efek domino bagi banyak soal, implementasi yang agresif lebih dibutuhkan rakyat dari pada sekedar pidato populis di mimbar-mimbar kunjungan kerja

Pesta, mestinya bisa dipakai dan dilihat sebagai sarana naik kelas untuk lebih fokus bekerja dan memenuhi janji kampanye, dari sekadar alat hura-hura dan pencitraan, sudah saatnya gubernur bergerak melampaui wacana media dan narasi tim sukses. Kerja nyata dan keberpihakan harus ditunjukan dengan hasil, bukan oleh busa kalimat

Gubernur harus menghentikan upaya menciptakan kambing hitam pada gereja dan merapikan nalar soal tuduhan bahwa kemiskinan di NTT karena problem kemalasan, sehingga orang miskin tidak bisa masuk surga. Gubernur harus sadar bahwa kemiskinan pertama-tama justru dicetuskan juga oleh birokrasi yang payah dan gagap menjalankan tupoksi, birokrasi yang sibuk melayani tuan-tuan pemodal dari pada rakyat miskin, birokrasi yang koruptif dan sibuk menimbun kapital, birokrasi yang manipulatif dan suka main anggaran. Sehingga, merapikan birokrasi adalah keniscayaan, bukan justru mereduksinya dengan mudah sebagai soal masyarakat yang malas semata.

Komunikasi politik yang dimainkan gubernur di ruang publik mestinya bertumpuh pada upaya untuk mengolah keputusan-keputusan politik yang berasal dari berbagai aspirasi dan kepentingan yang nantinya dinegosiasikan (diperjuangkan) menjadi produk kebijakan publik.

Hal ini, agaknya belum disadari sepenuhnya oleh gubernur, sejauh ini, terlihat pola-pola komunikasi politik gubernur masih berupa pola komunikasi politik dalam kampanye, seolah-olah, ia adalah elit politik yang yang belum pernah eksis di ranah suprastruktur politik (eksekutif), sehingga terus berusaha memengaruhi dan meraih dukungan dari publik dengan berbagai cara melalui strategi kampanye yang didukung serta memanfaatkan kekuatan media massa.

Sesudah pesta, saatnya bekerja dan memenuhi janji. Kami tak segan-segan terus menagih janji itu tuan gubernur yang terhormat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun