"Mengampuni para teroris itu urusan Tuhan, tapi mengirim mereka padanya adalah urusan ku"
Pada tahun 2015 yang lalu, potongan kalimat diatas pernah menjadi headline di seluruh penjuru dunia dan mendapat dukungan yang luas karena disinyalir sebagai pernyataan Vladimir Putin, presiden Rusia, meski pada akhirnya, ketika ditelusuri, ternyata pernyataan itu bukanlah milik Putin, melainkan, kesalahan interpretasi wawancara Putin yang ditulis di twitter oleh jurnalis televisi Russia Today, Remi Maalouf Â
Namun, dibalik keheboan potongan kalimat diatas, ada pernyataan lain dari Putin yang justru lebih menarik ketika Putin mengomentari kasus pengeboman pesawat komersil Rusia oleh ISIS di Semenanjung Sinai, yang menewaskan 224 jiwa.
"Pembunuhan rakyat kami di Sinai adalah salah satu kejahatan paling berdarah. Kami tidak akan mengeringkan air mata kami  dan terus mengingatnya.Kami tidak akan berhenti untuk menemukan dan menghukum para pelaku. Kita harus melakukannya tanpa batasan waktu; kita perlu tahu semua nama mereka. Kita akan mencari di mana pun mereka bersembunyi. Kita akan menemukan mereka di mana saja di seluruh penjuru planet ini dan menghukum mereka"
Ungkapan dari Putin diatas punya implikasi besar terhadap upaya perlawanan terhadap terorisme, ada semacam penegasan bahwa kejahatan semacam terorisme harus diselesaikan dengan serius tanpa mengenal batas waktu maupun ruang, segala macam upaya maksimal harus digunakan untuk menyeret pelaku agar bisa diadili.
Konsep semacam diatas yang mestinya juga harus bisa dipahami pemerintah Indonesia, bahwa pemerintah harus bersikap tegas, berkelanjutan, dan berkomitmen penuh pada proses hukum yang diterapkan pada pelaku tindak pidana terorisme
Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir, misalnya, pemerintah seharusnya bisa mengesampingkan faktor-faktor lain yang membuat Abu Bakar Ba'asyir tidak dihukum secara tegas dan maksimal, apalagi sampai dibebaskan.
Negara harus bisa membedakan prinsip kemanusiaan yang harus diterapkan kepada Abu Bakar Ba'asyir dan prinsip hukum yang harus juga diterima Abu Bakar Ba'asyir, mencampur adukannya adalah kekeliruan besar.
Bagaimana mungkin orang yang menjadi dalang dari sebuah serangan teror yang mematikan bisa dibebaskan karena hanya dia sakit-sakitan dan sudah tua? padahal itu adalah resiko yang harus dia pikul karena melakukan kejahatan, bukan justru menjadi beban negara.
Jikalau pun negara  ingin mengedepankan prinsip kemanusian pada Abu Bakar Ba'asyir, ada jalan lain yang bisa ditempuh negara, yaitu melalui pendampingan tenaga kesehatan di lembaga pemasyarakatan, bukan justru membebaskannya.