Selain itu, sudah lama dipercaya bahwa faktor penentu mudah tidaknya seseorang menjadi pencetus dan penyebar hoaks bukan lagi karena kondisi intelijensia, yang dibentuk oleh tingkat pendidikan. Tapi lebih karena kondisi emosional. Kondisi terakhir ini memang tidak tergantung pada tingkat pendidikan.
Ketika orang tertarik untuk mengikuti dan menyebarkan berita hoaks, sebetulnya ia melakukannya tanpa didorong oleh logika, tetapi oleh emosi. Logika dan emosi ini bekerja relatif berkebalikan.
Saat emosi mendominasi, maka saat itu sisi logika cenderung melemah. Hal ini yang akhirnya jadi pencetus mengapa di saat seseorang dalam kondisi emosional, mereka seringkali melakukan tindakan di luar nalar, termasuk keinginan untuk menciptakan dan menyebarkan berita hoaks.
Dengan kondisi semacam diatas, perbaikan kompetensi guru harus ditingkatkan. Kedepannya, guru tidak sekadar dinilai dan dilatih untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya semata, karena hal ini cendrung tidak efektif untuk menghentikan guru untuk menciptakan dan menyebarkan hoaks, buktinya, meski setiap tahun hasil ujian kompetensi guru terus meningkat, tetap saja laporan soal guru yang menciptakan dan menyebarkan hoaks tidak berakhir.Â
Sudah saatnya, guru-guru kita diberi bekal tambahan berupa pendidikan karakter dasar seperti kemampuan manajemen emosi, agar tidak mudah tersulut untuk menjadi penyebar dan pencipta hoaks. Selain itu, guru-guru kita perlu terus diberi pengetahuan mengenai penggunaan internet yang bijak agar tidak terjebak dalam pusaran hoaks, baik sebagai pencipta, penyebar, ataupun penikmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H