Â
Beberapa pekan lalu, seorang guru SMP ditangkap karena membuat dan menyebarkan hoaks tentang 7 kontainer yang berisi 80 juta surat suara dari Tiongkok yang sudah dicoblos di Tanjung Periuk
Cuitan di twitter dari seorang oknum guru yang mengandung hoaks itu jelas mengkhawatirkan, bagaimana mungkin seorang pendidik yang seharusnya berada di garis paling depan dari upaya melawan hoaks justru menyebarkan hoaks
Jika dikaitkan dengan kondisi politik kita hari ini, agaknya, akibat kerasnya pertarungan politik, bukan hanya menghasilkan kondisi perpecahan politik berbasis identitas yang makin mencemaskan, tetapi juga turut mendorong lahirnya hoaks ditengah masyarakat yang menyasar jauh hingga tenaga pendidikan.
Tidak tanggung-tanggung, jika ditelusuri, ada daftar panjang kasus guru pencipta dan penyebar hoaks yang datang dari pelbagai tingkat pendidikan, dari dosen di perguruan tinggi hingga guru di sekolah menengah pertama.
Kasus penangkapan guru  pencipta dan penyebar hoaks sebetulnya bukan pertama kali terjadi, sepanjang beberapa tahun terakhir, ada beberapa guru termasuk dosen yang ditangkap karena menciptakan dan menyebarkan hoaks. Adapun konten hoaks yang disebarkan bervariasi seperti isu PKI, penyerang ulama, tenaga kerja asing, hingga situasi pemilu.
Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa kasus-kasus hoaks justru dilakukan oleh guru, padahal mereka hampir pasti memiliki latar belakang pendidikan tinggi serta lekat dengan nilai-nilai akademis, ilmiah, objektif, rasional dan kritis?
Jika kita mundur ke belakang, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dijelaskan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah kelompok pendidikan tinggi.
Hampir sekitar 88,24% dari mereka yang menggenggam gelar S2 dan S3 terhubung dengan internet. Mayoritas lulusan S1 dan Diploma juga telah menggunakan internet, yakni sebanyak 79,23%.
Di beberapa universitas dan sekolah, internet memang telah menjadi bagian penting dari proses mengajar guru. Contohnya, mencari referensi ajar dari jurnal online atau e-Book. Selain itu, dalam proses administrasi seperti pengambilan mata ajar, hingga evaluasi kinerja, sudah terhubung ke sistem online.
Relasi yang amat sering dengan internet ini, bisa saja menjadi faktor pendorong mengapa orang dengan pendidikan tinggi menjadi begitu mudah menyebar hoaks