Pertanyaan Dimas dijawab dengan kunyahan pelan yang berakhir pada telan perlahan Rima
“Aku hanya mengendalikan agar tidak jatuh pada kenyamanan endorfin. Itu aja, kalau ada yang nembak dan menginginkan untuk menjalani insting paling primitif manusia, mating¸ aku tinggal melihat sejauh mana bisa bersimbiosis dengan pria itu. Idealnya sih mutualisme. Dia mendapat, katakanlah, rasa nyaman bersamaku dan insting primitifku sebagai perempuan yang ingin merasa aman terpenuhi. Safe and sound gitu”
Hening panjang kala Dimas menuntaskan kunyahnya dan menunggu Rima menyelesaikan bermain main dengan sepotong ceri yang belum habis ditelan
“Aku suka kamu, Rim”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Dimas telah gagal menihilkan Rima sebagai kausal kunci dari senyum lebarnya kala membaca ulang pesan pesan singkat mereka. Dimas gagal menyingkirkan Rima dari long term memorynya
Rima tersenyum, kilat matanya seolah berkata “Aku tau kok”
“Aku hanya sedang menjalankan common courtesy, Dim. Yang aku tau tidaklah baik jika aku sudah menjadi apa yang tubuh dan otakmu simpulkan sebagai rutin tiba tiba pergi dan menghilang. Apa yang kita jalani berbulan belakangan bagiku tidak lebih dari manusia yang sedang menunaikan ibadah modern berupa saling sapa dan berkomunikasi. Sejujurnya aku menunggu kamu bilang suka agar aku bisa melakukan ini. Menjawabnya dan melanjutkan perjalanan untuk menyapa dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Common courtesy pula yang menempatkan bahwa ketika sebuah cinta ditolak, dua orang itu harus saling mengambil jarak, bukan?”
Pancakenya kini tandas
“Tidak, Dim. Aku tidak jatuh cinta dan suka padamu. Kamu tidak berada dalam long term memoryku dan aku tidak sedang merayakan euforia endorfin apapun. Maaf”
Dimas tersenyum getir.
Betapa logika telah membuat perempuan itu bergerak tanpa hati.