Kebudayaan yang tradisional dikatakan baik bukan berdasarkan ukuran etika dan estetika tetapi kebudayaan tradisional membuat manusia melestarikan kehidupannya dari lingkungan tertentu. Di sini letak fungsi terpenting dari kebudayaan tradisional sehingga mempunyai hak yang sama untuk dipelajari dan dihargai. Menerima nilai--nilai dari kebudayaan berarti menghargai martabat dari masyarakat tersebut. (Kirchteger,1996:107).
Dalam mitos orang Soa, dikatakan bahwa dunia pada mulanya berupa watu boto ne'e tana lala -- batu yang mencair dan tanah yang berlumpur. Orang Soa meyakini dunia atau alam semesta ini diciptakan oleh Dewa. Ada tiga lapis dunia yang terletak satu di atas yang lain atau semacam tingkat dunia;yaitu 1.Bumi sebagai tempat diam manusia,2.Dunia di atas Bumi yaitu lizu atau langit tempat diam Dewa Agung, dan 3.Dunia di bawah bumi ( Au Nabe ), tempat diam nitu dan jiwa-jiwa yang sudah berpisah dari badan.
Dalam arti yang paling asli, bumi selalu dikaitkan dengan langit. Menurut prinsip oposisi binari Levi Strauss, pemikiran masyarakat pra-modern selalu bertolak dari dua hal yang bertentangan namun memiliki kaitan. Dalam pemikiran asli orang Ngadha menyebut bumi dalam kaitannya dengan langit. Lizu yang berarti langit diperlawankan dengan tana yang berarti bumi sehingga disebut lizu ne'e tana.
Pemahaman semacam ini ditemukan juga dalam penamaan dan pemahaman tentang wujud tertinggi. Orang Soa menyebut wujud tertinggi sebagai Dewa zeta-Nitu zale. Dewa bertahta di langit (di atas) dan Nitu bertahta di bumi (dibawah). Dewa menjadi bapak leluhur yang pertama dan bumi (nitu) menjadi ibu leluhur yang pertama menurut pandangan orang-orang Ngadha.
Dalam pembagian wilayah menurut budayanya di Kabupaten Ngada, Kecamatan So'a ditempatkan sebagai daerah dengan etnis yang mempunyai cukup banyak hasil budayanya, namun pada kenyataannya semua hasil kebudayaan ini tidak diusahakan sebagai aset daerah dalam bidang kepariwisataan. Sejauh ini orang hanya mengenal obyek air panas Mengeruda yang merupakan pariwisata alam,padahal kebanyakan wisatawan terutama wisatawan manca negara sangat tertarik dengan periwisata budaya yang merupakan hasil akal pikiran manusia sendiri. Hal lain yang memperparah keadaan adalah kurang pahamnya orang-orang yang menjadi pelaksana acara terhadap beberapa ritual yang prosesnya berjalan panjang dan rumit. Hal ini di perburuk lagi dengan kehadiran orang yang hanya untuk menyaksikan serunya upacara adat tetapi tidak mengetahui secara jelas apa makna dari setiap proses upacara dimaksud. Ini cukup disesalkan karena dengan adanya tradisi seharusnya akan membuat orang untuk mengerti dan memaknainya dalam hidup bukan sebaliknya. Ironis memang bahwa banyak upacara adat yang dilakukan oleh orang So'a namun mereka sendiri tidak mengenal maknanya secara pasti dan jelas.
                                        Â
Ada banyak sekali upacara adat yang merupakan hasil kebudayaan yang terdapat di So'a di antaranya Sagi (Tinju Adat), Dero (upacara tarian untuk mengiringi tinju atau penyemangat terhadap orang yang akan bertinju yang di lakukan pada malam sebelum tinju), Tu Ngawu ,Feka (upacara pendewasaan diri), RoriLako (berburu), Sapu, Kiki Ngi'i (acara potong gigi bagi anak wanita), Yo Goe, Die rie (upacara adat dengan nyanyi-nyanyian dan pantun mengiringi kepergian dan kedatangan para pemburu), Â Dheli, Para Zedhe, Dhodho (acara tusuk telinga bagi anak wanita), Bhole (upacara syukuran panen) dan lain-lain yang dilakukan setahun sekali, setiap lima tahun dan ada juga yang dilakukansepuluh tahun sekali. Dan kegiatan inipun dilakukan secara umum dalam semua lapisan masyarakat dan diadakan cukup meriah dan ramai. Setiap upacara adat mempunyai ciri khas dan keunikan tesediri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H