Senyum, tawa, tangis memberikan warna dalam hidup kita. Semua rangkaian hidup memberikan sentuhan tersendiri dalam relung hati. Semua rasa itu menjadi sebuah pengalaman dan pelajaran, untuk berusaha menjadi insan yang lebih baik dari hari ke hari.
Dalam perjalanan kehidupan, tidak selamanya apa yang terjadi sama dengan apa yang kita inginkan. Gundah gulana sering menyelimuti tatkala kesedihan datang. Tidak ada manusia yang ingin ditimpa kesedihan, namun hal itu adalah sunnatullah yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.
Saat kesedihan meradang, manusia acapkali kehilanngan kendali dan larut dalam kesedihan. Pesimistis muncul dalam menatap masa depan, pada saat kondisi ini, pikiran manusia terfokus pada penyebab kesedihan dan melupakan nikmat-nikmat lain yang Allah anugerahkan.
Berbanding terbalik saat manusia sedang gembira. Kegembiraan erat dengan optimistis dalam menatap masa depan. Saat terjadi benturan antara idealita dengan realita, orang-orang yang mampu mempertahankan imunitas kebahagiaan adalah mereka yang istiqomah dalam kebaikan. Sedih yang dialami tidak membuatnya hanyut dalam lamunan panjang. Ia akan segera bangkit dan memberdayakan kekuatan yang masih dimiliki untuk kemaslahatan umat.
Orang yang menjatuhkan pilihan kegembiraan terpusat pada kesenangan pribadi, ia akan sulit bangkit saat kesedihan datang. Namun tidak bagi mereka yang hidup untuk umat, penderitaan pribadi tidak lebih penting dibandingkan dengan uluran tangan yang dapat ia berikan bagi orang lain.
Ustadz Anis Matta mengatakan “Jangan biarkan satu peristiwapun yang dapat mencabut rasa kegembiraan dalam hidup kita. Karena gembira memunculkan perasaan berdaya. Perasaan berdaya akan sangat menentukan seberapa jauh kaki kita melangkah. Begitu banyak hal besar yang dapat kita lakukan namun pupus di tengah jalan karena kesedihan dan keputus asaan”.
Optimistis memunculkan sikap rela berkorban dan pemberani. Orang- orang yang dapat mempertahankan imunitas gembira dalam dirinya, adalah mereka yang memiliki misi yang terukur dan dapat diimplementasaikan dalam kinerja. Sehingga langkahnya terus bergerak dan berkarya dengan produktivitas yang tinggi.
Sebagai manusia biasa, saya pernah kehilangan semangat dalam hidup. Terutama saat menginginkan sesuata dan telah merasa maksimal untuk mencapainya, namun Allah berkehendak lain. Penulis teringat dengan sepenggal kisah hidup Ustadz Anis Matta, beliau pernah menolak 2 kali tawaran bea siswa S2 ke luar negeri, padahal saat itu Ustadz Anis sangat menggebu-gebu untuk bisa ikut. Beberapa tahun kemudian, beliau baru tahu hikmah atas penolakannya untuk tidak menerima tawaran tersebut.
Artinya, tidak ada yang sia-sia dalam hidup, semuanya sudah Allah desine sedemikian rupa agar jelas bagi Allah orang-orang yang bersungguh dalam kebaikan dan mana yang mengekor. Kita dihadapkan dengan pilihan –pilihan hidup, mau jadi penyerang, penonton atau pemain dalam sebuah pertandingan.
Banyak bicara tanpa mau memahami kondisi pemain adalah ciri-ciri penonton. Tugasnya seolah hanya untuk menghakimi pemain. Kalau suka ia benarkan, kalau tidak suka ia salahkan. Yang menjadi acuan tindakannya adalah nafsu dan emosi.
Penyerang adalah mereka yang selalu mencari kesalahan pemain dan mempropokasi penonton untuk bersikap pesimistis kepada pemain. Saat pemain memenangkan pertandingan, penyerang akan disibukkan mencari celah kesalahan pemain. Kalaupun tidak ada kesalahan, ia akan mengada-adakan kesalahan itu sehingga penonton berubah arah untuk menyalahkan pemain.