Mohon tunggu...
rusman latief
rusman latief Mohon Tunggu... -

oke sajalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Opu Daeng Risadju Iron Lady dari Tana Luwu

25 September 2015   02:01 Diperbarui: 25 September 2015   02:28 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangsa Indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan harus berbangga memiliki seorang wanita pemberani bernama Opu Daeng Risadju. Wanita kampung yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, namun dengan kepandaiannya berpidato menggunakan tiga bahasa;  Indonesia, Bugis dan  Arab menjadikannya sebagai wanita yang dihormati dan dikangumi rakyat Tana Luwu. Zaman pergerakan kemerdekakan atas  keberaniannya melawan Kolonial Belanda dan Dewan Hadat (pemerintahan tradisional) Luwu  pro pemerintahan Belanda.

Lahir tahun 1880, di kota kecil Belopa, 55 kilometer dari kota Palopo, dari pasangan  Muhammad Abdullah To Bareseng dan Opu Daeng Mawellu.  Sejak berusia 5 -7 tahun telah mendapatkan pendidikan agama secara intensif  yang  membuatnya mahir membaca Alquran dan pandai baca tulis huruf lontara. Memiliki  keinginan yang kuat, secara otodidak akhir mampu membaca dan menulis huruf latin.

Pada usia 27 tahun, gadis manis dan elok bermata sipit, menikah dengan guru mengajinya Muhammad Daud. Sesuai dengan tradisi di Tana Luwu, jika seorang wanita keturunan bangsawan sudah menikah, di depan namanya ditambah gelar sebutan; Opu Daeng Risadju.

Setelah menikah, bersama suaminya, Opu Daeng Risadju sering melakukan perjalanan keluar dari tanah kelahirannya, Belopa,  berkeliling di kota-kota di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1927 di kota Pare-Pare, beliau bertemu dengan Haji Muhammad Yahya, tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dari Surabaya. Tahun 1929, Opu Daeng  Risadju diterima menjadi salah satu kader PSII. Pada tanggal 14 Januari 1930, beliau mendirikan partai PSII di kota Palopo. Opu Daeng Risadju terpilih sebagai ketua, dimana pada masa itu, sangat jarang seorang wanita memimpin suatu perkumpulan organisasi. 

Dengan berdirinya PSSI di kota Palopo, membuat nama Opu Daeng Risadju  terkenal,  terlebih lagi beliau adalah salah satu keturunan bangsawan kerajaan Luwu. Menjadi  harapan baru bagi masyarakat untuk lepas dari cengkraman penjajah kolonial Belanda dan Dewan Hadat kerajaan Luwu yang pro pemerintahan Belanda.

Atas desakan beberapa pemuda, Opu Daeng Risadju mendirikan ranting PSII di kota kecil Malangke. Pemerintah Belanda yang sangat berkuasa pada saat itu, murkah melihat sepak terjang kegiatan politik seorang wanita yang mendapat respon positif dari masyarakat. Opu Daeng Risadju pun dijebloskan ke penjara selama 13 bulan, atas tuduhan membahayakan kepentingan umum, dan untuk membunuh semangat perjuangan yang ditularkan Opu Daeng Risadju kepada pemuda-pemuda Tana Luwu.

Bebas dari tahanan, tidak mengendurkan semangat perjuangannya. Tidak ada rasa takut sedikit pun, ataupun gentar dengan ancam pemerintah kolonial Belanda dan dewan Hadat Luwu. Dia pun berkeliling, dengan pidatonya yang menggunakan bahasa Bugis, Arab dan Indonesia. Pada  1 Maret 1932 Opu Daeng Risadju kembali mendirikan ranting PSII  di wilayah Malili, diikuti ranting Siwa dan Lasusua.  Pemerintah Belanda kembali menangkap bersama suaminya di wilayah Patampanua, di bawa ke Kolaka lalu ke Palopo menggunakan kapal laut dengan pengawasan ketat dan tangan ikat rantai.

Salah satu anggota Hadat Luwu Opu Balirante  melakukan protes, terhadap perlakuan kolonial Belanda itu,  “Kalau Opu Daeng Risadju dan suaminya  ke kota Palopo dalam keadaan dirantai, saya akan meletakkan jabatan.” kata Opu Balirante kepada Assitent Resident Belanda di Luwu. Menurut Opu Balirante,”Tidak pantas seorang  bangsawan Luwu diperlakukan seperti itu,”  Akhirnya pada saat sampai ke kota Palopo rantainya dilepaskan. Hadat Luwu pada yang berkuasa masa itu, 1) Opu Patunru : Andi Maradang, 2) Opu Pabbicara : Andi Jelling, 3) Opu Tamarilaleng : Andi baso Lanrang, 4) Opu Balirante : Andi Pangiu.

            Pemerintah kolonial Belanda lalu meminta kepada Hadat Luwu agar menasehati, keluarga sedaranya itu, untuk menghentikan kegiatan politiknya. Datu Luwu, Opu Daeng Risompa, Andi Kombo, dan dewan penasehat Hadat Luwu lalu memanggil Opu Daeng Risadju;  menasehati agar meninggalkan kegiatan politiknya di PSII, tapi jawaban  Opu daeng Risadju. “Selama saya masih mengucapkan dua kalimat syahadat, selama itu pula saya tidak akan keluar dari organisasi PSII. Apa yang saya lakukan selama ini hanya mengikuti perintah Tuhan.” Mendengar jawaban itu,  Datu Luwu  berkata, “Sebenarnya tak ada urusan kami mencampuri urusanmu, kecuali di dalam tubuhmu terdapat darah daging bangsawan. Dara daging nenek moyang kami. Kalau kamu diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawan, kami juga turut terhina. Jadi kasihinilah kami, tinggalkan kegiatan politikmu.” Opu Daeng Risadju pun menjawab dengan tegas.” Kalau hanya adanya darah kebangsawanan dalam tubuhku, lalu saya harus meninggalkan partai, lebih baik saya tanggalkan darah daging kebaggsawanan itu. Agar Datu dan dewan Hadat tidak terhina.”  Sikap tegas dan tegu  pada pendiannya, atas desakan Assisten Resident Luwu, akhirnya Datu dan Dewan Hadat mencabut gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju. Mulai saat itu, dia hanya dipanggil Indo Saju.          

Setelah pencopotan gelar kebangsawan. Dewan Hadat Luwu dan pemerintah Belanda, kembali  mempengaruhi suaminya, Muhammad Daud, agar membujuk Opu Daeng Risadju meninggalkan kegiatan politik, namun keyakinan dan hati tetap pada pendiriannya tetap pada perjuangan politik. Akhirnya Opu Daeng Risadju memilih bercerai dengan suaminya  yang sudah dibina selama 25 tahun, dengan lima orang anak.

Diapun terus mengembangkan kegiatan politiknya. Mendirikan beberapa  PSII, di Belopa, Cimpu, Suli dan beberapa wilayah lainnya. Tahun 1933, Beliau pun ikut kongres PSII di Batavia. Kembalinya dari kongres, kegiatan politiknya semakin berkembang, membuat resah pemerintahan kolonial Belanda, dan meminta kepada Dewan Hadat Luwu untuk mengadili dengan tuduhan “Majjulekkai Pabbatang” Artinya, melanggar larangan adat dari ketentuan Hadat Luwu. Dilarang melakukan aktifitas politik tetapi tetap melakukan. Dewan Hadat pro Belanda menjatuhkan hukuman “Riselong” (hukuman buang atau pengasingan selama 7 tahun), tetapi  Seorang Dewan Hadat, Opu Balirante menentang hukuman itu. Akhirnya Opu Daeng Risadju hanya dijatuhi hukuman 14 bulan penjara.

Selama dalam penjara, Opu Daeng Risadju diperlakukan sangat kasar, harus bekerja keras di luar tahanan. Dijaga super ketat, mengangkut sampah dari satu rumah ke rumah penduduk. Disaksikan seluruh penduduk kota yang meneteskan air mata melihat wanita bangsawan tua, pejuang tana Luwu  mendorong grobak dengan terseok-seok. Anaknya,  Haji Kadir Daud dan Kuaisy Daud yang menyaksikan ibunya mendorong grobak penuh sampah, ingin membantu mendorong grobak sampah itu, tetapi mereka dipukul dan dibentak oleh mandor yang mengawasi ibunya. Akhirnya, kedua anaknya hanya menyaksikan ibunya mendorong grobak sampah dengan air mata kesedihan yang diperlakukan sangat tidak manusiawi.

Bebas dari penjara, tidak mematikan semangat perjuangan Opu Daeng Risadju, tetap mengalang kekuatan rakyat Luwu melawan penjajahan kolonial Belanda. Pada tanggal 31 Januari 1946, Opu Daeng Risadju melakukan proganda penyerangan Markas KNIL di Bajo. Akibatnya, pemerintah Kolonial Belanda menuduhnya sebagai otak penyerangan tersebut. Rakyat melindunginya dan operasi itu gagal, Opu Daeng Risadju pun mencari perlindungan ke daerah Suli, Lantoro, dan Bone. Karena adanya  penghianat, Opu Daeng Risadju ditangkap dan dipaksa berjalan kaki sepanjang 40 km ke Watampone  dijeploskan ke penjara selama satu bulan, lalu dikirim ke Wajo diteruskan ke Bajo. Opu Daeng Risadju saat itu berusia 67 tahun.

Selama ditahan di Bajo, Opu Daeng Risadju diperlakukan sangat keji oleh Ludo Kalapita, seorang anggota KNIL berasal dari Sulawesi Utara, misalnya dalam sholat dipaksa melawan arah kiblat menghadap ke timur, menatap sinar matahari, berlari mengelilingi lapangan sepak bola dengan letusan senjata laras panjang di pundaknya. Membuat Opu Daeng Risadju jatuh terkapar ke tanah, tidak sadarkan diri dan tuli seumur hidup.

Setelah Tana Luwu masuk dalam pangkuan ibu Pertiwi, Opu Daeng Risadju tidak menduduk jabatan apapun di pemerintahan Luwu. Sisa hidupnya dihabiskan tinggal bersama anaknya H. Abdul Kadir Daud. Menghembuskan nafas terakhir, 10 Februari 1964 di kota Palopo. Pada tahun 2006, atas jasa-jasanya  pemerintahan RI menganugrahi gelar pahlawan perintis kemerdekaan dan pahlawan nasional.

Melihat, kegigihan, keteguhan pendirian dalam perjuangannya, layak jika Opu Daeng Risadju adalah sosok wanita pemberani nan tangguh yang dikirim Tuhan di muka bumi ini. Iron Lady From Tana Luwu.

Catatan :

Tulisan ini pernah dimuat  majalah “PINISI” No.34 TH.XXVII, Desember 2012 – Januari 2013.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun