Di pagi yang cerah di akhir November, seorang guru senior duduk merenung di ruang guru. Di tangannya tergenggam secarik kertas bertuliskan tema Hari Guru Nasional tahun ini: "Guru Hebat, Indonesia Kuat." Slogan ini terdengar megah, seakan menjadi seruan penuh semangat untuk memuliakan peran guru. Namun, di balik kata-kata itu, terselip kegundahan: "Apa arti hebat jika kesejahteraan kami diabaikan? Bagaimana menjadi kuat jika kami terus terbebani oleh tekanan yang mencekik?"
Guru adalah penjaga peradaban dan penggerak perubahan, tak sekadar pengajar tetapi pendidik sejati yang membangun karakter dan menanamkan nilai-nilai luhur. Namun, realitas kehidupan para guru di Indonesia sering kali jauh dari ideal. Layaknya pohon yang terus dipaksa berbuah tanpa air dan pupuk, guru-guru kita menghadapi tantangan yang berat tanpa dukungan yang memadai. Hari Guru seharusnya menjadi momen refleksi yang mendalam-bukan hanya ajang seremonial belaka.
Guru dalam Jerat Realitas
Potret kehidupan guru di Indonesia penuh dengan tekanan, mulai dari beban administrasi hingga kesejahteraan yang memprihatinkan. Di kota-kota besar, guru harus bergulat dengan kurikulum yang terus berubah, tuntutan profesionalisme tinggi, dan ancaman hukum saat mendisiplinkan siswa. Sementara itu, di daerah terpencil, mereka harus menghadapi keterbatasan fasilitas, minimnya dukungan, dan jauhnya akses terhadap pelatihan.
Namun, masalah tak berhenti di sana. Salah satu sisi gelap yang jarang dibicarakan adalah semakin banyak guru yang terjerat pinjaman online ilegal (pinjol). Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa guru menjadi kelompok profesi yang paling rentan terjerat pinjaman online. Alasan utamanya adalah gaji yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, terlebih di tengah inflasi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Bayangkan seorang guru yang telah bekerja puluhan tahun, namun gajinya tak cukup untuk menyekolahkan anak atau memenuhi kebutuhan dasar. Dalam kondisi terjepit, pinjol sering kali menjadi pilihan terakhir---meskipun dengan bunga mencekik. Tak jarang, mereka menghadapi intimidasi dan tekanan dari penagih pinjaman yang merendahkan martabat mereka. Ini bukan hanya soal kesalahan individu, tetapi cerminan dari lemahnya sistem yang seharusnya melindungi guru dari jeratan ekonomi semacam ini.
Selain persoalan ekonomi, guru juga menghadapi risiko besar dalam menjalankan tugasnya. Kasus Guru Supriyani dan Guru Zaharman yang terseret ke meja hijau karena mencoba mendisiplinkan siswa adalah gambaran nyata dari rapuhnya perlindungan hukum terhadap profesi guru. Dalam situasi seperti ini, keberanian untuk memberikan pendidikan nilai malah dianggap sebagai ancaman, sementara tindakan mendidik sering kali disalahpahami.
Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama, minimnya perlindungan sistemik bagi guru; kedua, budaya masyarakat yang semakin memandang pendidikan hanya dari sisi akademik, mengabaikan pentingnya pendidikan karakter. Guru, yang seharusnya dihormati sebagai pendidik nilai, kini sering kali hanya dianggap sebagai penyedia layanan pendidikan semata.
Selamatkan Guru, Selamatkan Masa Depan
Sebagai pendidik, guru memikul tanggung jawab besar. Plato menyebut mereka sebagai "pembentuk jiwa masyarakat," dan tak berlebihan jika masa depan bangsa ditentukan oleh tangan mereka. Namun, bagaimana mungkin seorang guru dapat mencetak generasi hebat jika ia sendiri terjebak dalam masalah yang mencekik?
Menyelamatkan guru berarti memberikan dukungan nyata, bukan sekadar apresiasi simbolis. Dukungan ini harus mencakup beberapa hal mendasar, seperti: