Mohon tunggu...
Rusli Sucioto
Rusli Sucioto Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Amatiran

Masih banyak hal yang indah buat ditulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasca Reformasi, Label Etnis Minoritas Harusnya Tidak Ada Lagi

26 Mei 2016   17:43 Diperbarui: 26 Mei 2016   18:11 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jgn Panggil Aku Cina (dok. patriciayuanila.wordpress.com)

Jikalau kita menyebut Etnis Minoritas, hal pertama yg terlintas di benak kita adalah Warga Keturunan Tionghoa. Etnis ini adalah peranakan Cina yg sudah masuk ke Indonesia beribu-ribu tahun silam. Perjalanan etnis Tionghoa di Indonesia mencatat banyak sekali sejarah kelam, mulai dari masa kolonialisme Belanda di Batavia tahun 1740-1743, peristiwa G30S/PKI 1965 dan beberapa insiden rasial di tanah air hingga puncaknya Kerusuhan Mei 1998 yang menjadi titik awal era Reformasi. 

Tahun 2000 Presiden Gus Dur mencatat keputusan bersejarah dgn Inpres No.6/2000 yg menyatakan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif dan mengizinkan Etnis Tionghoa untuk mejalankan ritual keagamaan dan adat istiadat Tionghoa. Presiden Megawati kemudian mensahkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional mulai thn. 2003 dgn Keppres No. 19/2002. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melengkapi kebahagiaan etnis Tionghoa dgn Keppres No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yg menegaskan Warga Tionghoa yg lahir di Indonesia adalah 'bangsa Indonesia asli'.

18 tahun Reformasi sudah bergulir, namun label Etnis Minoritas yg disematkan rezim Orde Baru sebagai salah satu bentuk diskriminasi masih belum bisa dihapus. Bangsa kita tanpa sadar terus menganggap Etnis Tionghoa sebagai minoritas atau etnis dengan populasi terkecil. Label sebagai etnis Minoritas sengaja dihembus supaya terkesan etnis Tionghoa berdiri sendiri menghadapi semua etnis di Indonesia.

Sensus Penduduk 2010 mencatat populasi etnis Tionghoa mencapai 3,7% dengan angka sekitar 8,8 juta jiwa. Meskipun angka sensus ini bersifat relatif, namun angka ini sudah menempatkan etnis Tionghoa berada dalam posisi etnis terbanyak di tanah air, setelah etnis Jawa (41%) dan Sunda (15%). Populasi etnis Tionghoa adalah setara bahkan lebih dibandingkan Melayu, Bugis, Batak, Minangkabau dan etnis lainnya. Fakta juga membuktikan, tidak sulit untuk menemukan etnis Tionghoa - dengan warna kulit kuning langsat serta mata rada sipit - di seluruh pelosok Nusantara. Oleh sebab itu etnis Tionghoa dengan label sebagai etnis Minoritas itu harusnya tidak ada lagi.

Sejauh bangsa kita melangkah harus diakui masih tersimpan rasa curiga, bisa jadi itu warisan kolonialisme dengan politik devide et impera, atau warisan Orde Baru yg menempatkan etnis Tionghoa untuk menguasai bidang perdagangan saja. Tidak bisa dibantah jika etnis Tionghoa menguasai perekonomian Indonesia, karena keahlian etnis Tionghoa dari sejak kedatangan leluhur mereka ke Indonesia hanyalah berdagang, dengan keuletan dan kegigihan untuk bertahan hidup itulah yg membuat etnis Tionghoa memiliki nilai lebih dalam urusan jual beli. Namun banyak yg lupa, sebenarnya masih banyak etnis Tionghoa lainnya yg masih hidup di bawah garis kemiskinan seperti kebanyakan penduduk Indonesia lainnya. 

Sebagian menuduh etnis Tionghoa menganut paham chauvinisme, yaitu paham yg mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain, sehingga etnis Tionghoa terkesan eksklusif dan tidak mau berbaur. Jelas anggapan ini salah karena etnis Tionghoa sendiri menyimpan trauma karena sering menjadi sasaran jikalau ada kemarahan massa, yg tanpa sadar membentuk benteng di dalam diri mereka terhadap etnis lain.

Hingga saat ini perjuangan Reformasi masih jauh dari harapan. Angka korupsi yg masih tinggi membuat bangsa ini masih saja terpuruk. Perselisihan SARA akibat saling mencurigai masih santer terdengar untuk saling menjatuhkan. Tapi bangsa ini harus tetap melangkah, dengan semangat Reformasi yg tidak akan hilang - dan Kerusuhan Mei 1998 adalah sejarah kelam yg tidak akan terulang.

Salam Reformasi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun