Mohon tunggu...
Rusli Rinaldi
Rusli Rinaldi Mohon Tunggu... Buruh - hanya untuk bersenang senang

be your (better) self

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kiblat Kita Ka'bah, Bukan Hagia Sophia

31 Juli 2020   20:06 Diperbarui: 31 Juli 2020   23:59 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan Hagia Shopia ramai diperbincangkan oleh netizen. Pasalnya bangunan kuno nan  estetik tersebut dialihfungsikan kembali menjadi masjid berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Turki pada hari Jum’at, 10 Juli 2020. Diantaranya keputusan tersebut membatalkan dekrit pemerintah Turki tahun 1934 mengenai status fungsi Hagia Shopia menjadi museum. Bahkan Erdogran menyebut keputusan sebelumnya yang menjadikan bangunan yang dianggap sebagai lambang arsitektur Bizantium sebagai museum merupakan “hal yang fatal”.

Melihat peristiwa tersebut alangkah baiknya kita berjalan ke belakang, melihat bagaimana sejarah bangunan tersebut dibangun, serta status fungsi yang pernah melekat pada bangunan besar itu. 

Dalam sejarah pertamanya, Hagia Shopia merupakan Katedral Ortodok dari tahun 537 M sampai 1453 M. Setelah itu, Pasukan Salib Keempat mengubahnya menjadi Katedral Katolik Roma pada tahun 1204 sampai 1261 di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel.

Kemudian sejarah selanjutnya, pada 29 Mei 1453 di bawah bendera kekuasaan Kesultanan Utsmani beralih fungsi menjadi mesjid sampai tahun 1931. Kemudian dialihfungsikan bukan menjadi rumah ibadah, tetapi sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki. Putusan terbaru yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Turki yang mecabut Keputusan era Presiden Mustafa Kemal Ataturk tahun 1934.

Keputusan alih fungsi tersebut menjadikan sebagian umat Muslim bersorak ria dengan bangga seolah-olah Hagia Shopia merupakan Kiblat umat Muslim. Di Indonesia tidak sedikit umat Muslim menganggapnya simbol kemenangan Islam, karena menilik masa lepas jatuhnya Konstantinopel ke tangan Ottoman Empira (Khilafah Utsmaniyah) yang dipimpin oleh Al-Fatih Sultan Mehmed II. Seperti ekspresi kegembiraan yang tergambar dari Felix Siauw dalam channel youtube yang diunggah pada 12 Juli 2020.

Dalam video berdurasi 24 menit, 34 detik tersebut, pria mualaf itu menyatakan bahwa Muhammad Al-Fatih mencontoh Rasulullah SAW, menjadikan tempat terindah menjadi rumah ibadah umat Islam. Padahal kita ketahui bersama, memang benar Rasulullah SAW menjadikan tempat yang indah menjadi masjid, akan tetapi tidak pernah menjadikan rumah ibadah agama lain menjadi mesjid. Hagia Shopia sejarahnya bangunan tersebut bukan rumah ibadah umat Muslim, melainkan Katedral Ortodok, Katedral dan Katolik Roma.

Kiblat kita umat Muslim yakni adalah Ka’bah, bukan Hagia Shopia. Menjadikan bangunan tersebut sebagai masjid dan mendukungnya merupakan ketidakpahaman dan kurangnya pengetahuan akan sejarah bangunan bersejarah itu. Tidaklah sesuatu yang bukan milik kita, yang bukan kiblat kita, harus diperjuangkan begitu keras dan seolah menjadi hak kita layaknya seperti harta rampasan perang.

Padahal sudah jelas bahwa kiblat umat muslim adalah Ka’bah. Ka’bah merupakan bangunan suci yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Arah kiblat ini merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150.

Kita mestinya membaca kebijaksaan khalifah Umar bin Khattab, saat berkunjung ke Yerusalem, untuk mengunjungi Uskup Sophronius. Saat adzan berkumandang, Pemimpin Gereja Makam Kudus itu mewarkan khalifah yang mempunyai julukan Amir al-Mu`minin itu, untuk melaksanakan salat di sana. Namun tak disangka, sahabat Nabi tersebut menolaknya dengan alasan jelas dan tegas. Apabila pria yang berasal dari suku Ady itu menjalankan shalat di sana, dikhawatirkan orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini, atau gereja lainnya, dan menjadikannya sebagai tempat ibadah umat Muslim.

Bukan hanya raut kebanggan perubahan fungsi bangunan yang sudah berabad-abad itu. Di samping itu pula, terdapat kekecewaan dari berbagai organisasi dan negara lainnya. Seperti pernyataan yang dilontarkan oleh UNESCO, menyesalkan tidak adanya diskusi terkait perubahan status fungsi Hagia Shopia, karena pengambilan keputusan itu dinilai sangat beresiko dan dianggap dapat merusak nilai situs universal tersebut.

Kemudian hal yang sama disampaikan oleh Gereja Ortodok Rusia, merupakan bentuk kekecewaan yang wajar mengingat keputusan tersebut tidak mempertimbangkan dan mengabaikan suara dari jutaan umat Kristen.

Adapula tanggapan dari Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Joseph Borrell karena membatalkan keputusan penting yang dibuat tahun 1935 dan menjadikan situs tersebut berada di dalam naungan pengelolaan urusan agama.

Terang sudah, bahwa keputusan tersebut terlalu terburu-buru tanpa mempertimbangkan pendapat dari berbagai pihak. Kita menghormati hak kedaulatan Turki. Tetapi jangan sampai pengambilan keputusan tersebut memancing konflik yang besar, dan menstimulasi bibit-bibit intoleransi, karena kecerobohan yang dilakukan oleh pemerintah Turki. Hagia Shopia harusnya tetap menjadi Hagia Shopia, museum dengan ciri khas bangunan yang indah dan kubahnya yang besar, maha karya ahli ukur Yunani.

Jadi sudah jelas, seharusnya bangunan sejarah yang memiliki makna “Kebijaksanaan Suci” itu tetap difungsikan sebagai museum. Dengan makna “Kebijaksanaan” yang melekat itu, artinya pemerintah Turki dalam pengambilan keputusan harus dengan bijak dan mempertimbangkan sejarah yaitu kembali pada keputusan tahun 1934, memfungsikannya sebagai museum.

Makna “Suci” yang terkandung dalam namanya, dapat dimaknai bahwa bangunan yang memiliki nilai universal, nilai luhur yang menjadi kebanggaan setiap umat agama manapun. Akan banyak menimbulkan persoalan ketika bangunan tersebut dijadikan sebagai rumah ibadah, baik untuk umat Muslim maupun umat agama lainnya.

Kita harusnya bijaksana dalam berpikir, bertindak dan berucap. Harus adil sejak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Seperti halnya kebijaksaan yang dimiliki khalifah berjuluk Singa Padang Pasir. Lagipula Rasulullah tidak pernah mencontohkan menjadikan rumah ibadah agama lain menjadi mesjid. Bisakah kita bijaksana dan adil sejak dalam pikiran, perkataan, dan berbuatan? Sekali lagi, kiblat kita Ka’bah, bukan Hagia Shopia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun