Mohon tunggu...
Ruslan Jusuf
Ruslan Jusuf Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, travel, dan gemar kuliner tradisional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Milisi di Masa Konflik Aceh (1976-2005)

14 April 2014   00:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 2501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERISTIWA itu telah berlalu. Namun, bukan berarti melupakan segala jejak kekejaman yang pernah mereka (milisi) lakukan. Sejarah tetap harus ditulis, agar generasi di masa yang akan datang tidak ‘buta’ akan kejadian di masa silam.

Kemunculan milisi di Aceh bermula dari konflik berkepanjangan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Persisnya, tidak pernah diketahui secara jelas. Tapi, sepak terjang sipil yang dilatih untuk menggunakan senjata (milisi) ditujukan untuk membantu salah satu pihak yang terlibat dalam konflik Aceh.

Menurut data LSM, ada 21 kelompok milisi di Aceh, beberapa diantaranya adalah: Pembela Tanah Air (PETA), Front Perlawanan Separatis GAM, Front Perlawanan Rakyat Aceh Republik Indonesia, Front Penyelamat Aceh Republik Indonesia, Laskar Pembela Negara Kesatuan Indonesia, Gerakan Rakyat Anti Separatis Aceh. Dan, ada lagi milisi yang dinamai Benteng Rakyat Anti Separatis, Front Perlawanan Pembela Rakyat Teuku Umar, Gerakan Perlawanan Separatis GAM-Teuku Peukan, Ormas Pembela NKRI, Front Penyelamat Merah Putih, Laskar Merah Putih Anti Gerakan Aceh Merdeka dan Front Anti Gerakan Aceh Merdeka, Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma), Seroja dan Jago.

Tujuan awal pembentukan milisi, pada dasarnya untuk melindungi rakyat Aceh yang cemas dan ketakutan yang diduga diakibatkan oleh gerakan pengacau keamanan (GPK). Tapi lambat-laun, orientasi semula berubah. Milisi-milisi itu, ternyata menggunakan persenjataan yang mereka miliki untuk berbalik arah meneror dan mengintimidasi rakyat Aceh yang semestinya mereka lindungi. Rakyat ketakutan dan korban pun berjatuhan. Konflik bernuansa etnis pun akhirnya pecah. Ini khususnya terjadi di wilayah dataran tinggi Gayo. Pelakunya diduga adalah pendatang dari luar Aceh (transmigran) yang mengusir warga asal pesisir Aceh. Mereka (orang pesisir) Aceh, yang kebanyakan bertutur dengan bahasa Aceh dianggap sebagai ‘pembawa’ ide separatisme ke wilayah dataran tinggi Gayo.

Padahal, sejak lama tidak pernah ada gesekan antara etnis Aceh dari pesisir dengan penduduk setempat (Gayo), sebelum akhirnya tiba pendatang luar (transmigran) yang mengusik kedamaian antar-kedua saudara satu daerah tersebut. Bahkan, pada tahun 1999, direncanakan 2000 orang anggota Pam Swakarsa (sipil terlatih) dari luar (Aceh) hendak ditempatkan di Aceh (waspada, 22/2/1999). (Baca: Pemerintah Diminta Monitor Milisi di Aceh)

Pada tahun 2003, milisi-milisi itu menggagalkan upaya perdamaian Aceh yang telah lama dirintis. Ini terjadi saat peristiwa pemukulan anggota JSC (Joint Security Committee) di lapangan Musara Alun, Takengon yang mengawali titik berangkat gagalnya CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) yang difasilitasi HDC (Henry Dunant Centre), (rilis Kontras | 3/3/2008).

Tak lama setelah peristiwa itu, pada 19 Mei 2003, Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarno Putri memberlakukan operasi militer di Aceh. Bumoe Indatu pun kembali bersimbah darah. Janji yang dilontarkan oleh Megawati yang menyebut dirinya sebagai “Cut Nyak” pada 30 Juli 1999, ternyata dilupakan semudah ketika diucapkan. Saat itu Megawati dengan berderai air mata (buaya) berujar, “Untuk rakyat Aceh, percayalah, ‘Cut nyak’ tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong.”

HAMPIR GAGALKAN PERDAMAIAN HELSINKI

1397385056147155502
1397385056147155502


Upaya sabotase terhadap perdamaian Aceh yang berhasil dicapai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, ternyata masih terbayang dibenak milisi-milisi yang tidak senang akan perdamaian Aceh.

Peristiwa ini terjadi di Atu Lintang, Aceh Tengah, pada Sabtu dini hari (1/3/2008), yang mengakibatkan 4 anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) meninggal dunia setelah kantor yang mereka tempati dibakar oleh kawanan milisi.



Syukur, tragedi di Atu Lintang tidak menimbulkan efek seperti yang pernah terjadi di Takengon pada tahun 2001, yang menggagalkan perdamaian Aceh. Sebab, telah diduga siapa “pemain” dibalik tragedi tersebut.

Perlu diketahui bahwa salah satu pentolan milisi pembela tanah air (PETA) di wilayah dataran tinggi Gayo adalah Tagore Abubakar. Namanya tidak lagi asing. Sepak terjangnya dalam organisasi PETA yang ia bina, terekam dengan jelas.

13973852111433493729
13973852111433493729


JANGAN USIK KEDAMAIAN

Keberadaan milisi di Aceh memang telah memudar. Dan, hendaknya memang tidak lagi bermunculan. Sebab, sudah banyak kerugian yang mereka akibatkan pada rakyat Aceh. Perdamaian yang telah ‘mekar’ di Aceh menjadi tonggak baru untuk membangun Aceh yang lebih baik.

13973854121483519130
13973854121483519130

Bagi para pengusik perdamaian, sudah saatnya berpikiran positif untuk pembangunan Aceh. Jangan lagi ada pikiran yang bertujuan ‘merusak’ di Aceh.

Foto: (1- Milisi Peta | sumber), (2- Tragedi Atu Lintang | sumber), (3- Polisi sedang Meninjau Lokasi | sumber), (4- Tagore Abubakar | sumber)

Ruslan Jusuf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun