Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyusuri Jejak Kejayaan Kesultanan Cirebon dengan Kemudahan Fitur D-Cash (1 dari 2 artikel)

19 Juni 2017   17:11 Diperbarui: 20 Juni 2017   09:32 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan Utama Keraton Kasepuhan yang telah berusia ratusan tahun (dok : Novaly Rushan)

Hari masih gelap ketika saya tiba di Palmerah, meeting point tepat berada di depan rumah kudus Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mungkin saya adalah orang pertama yang tiba untuk mengikuti "Smart Traveler Pegang Kendali Wisata Cirebon" pada Sabtu, 10 Juni 2017.

Karena tak ada satu pun orang yang berada di depan BBJ, saya mlipir ke pasar Palmerah yang jaraknya sekitar 50 meter. Selain untuk menunaikan sholat subuh saya juga ingin melihat pasar di pagi hari. Bagi saya, pasar tradisional itu seperti magnet tersendiri.

Denyut pasar tradisional menjadi bukti kehidupan rakyat sesungguhnya. Parameternya sederhana, bila pasar tradisionalnya ramai dengan transaksi penjual dan pembeli maka bisa dipastikan perekonomiaan berjalan normal. Keadaan sosial aman terkendali,

Nah, kalau ingat kata terkendali jadi ingat taglinenya Bank Danamon "Saatnya Pegang Kendali". Mirip dan cocok menurut saya.Lha wong hidup harus bisa dikendalikan. Kalau tidak, ya bablas bisa berbahaya.

Di Pasar Palmerah pagi itu sudah mulai marak transaksi, beberapa penjual sudah  melayani pembeli. Saya melirik jam, sudah hampir pukul lima pagi. Saatnya saya merapat kembali ke BBJ. Dan benar saja, mobil ELF long chasis sudah nongkrong didepan BBJ. Beberapa peserta juga sudah hadir.

Ini tertanda keberangkatan ke kota udang , Cirebon tak akan lama lagi. Panitia dan pengurus KOTEKA juga  sudah ada. Ada Mas Kamil, Mas Ony dan juga Mas Diaz. Kesibukan di pagi buta itu nampak cair dan bersahabat. Saya berkenalan dengan kompasianer yang baru saya kenal.

Sebelum berangkat, ada briefing dari panitia untuk kesepuluh peserta. Rupanya, ada pembagian kelompok. Tiap kelompok beranggotakan lima orang. Jadi ada dua tim. Tim pertama disebut Tim Pegang sedang tim kedua disebut Tim Kendali.

Briefing tak memakan waktu lama, setelah dirasa cukup seluruh peserta memasuki mobil ELF dan bersiap berseru seru ria di kota Cirebon. We Go.....

Perjalanan dari Palmerah menuju Kota Cirebon ternyata lancar jaya. Dalam hitungan saya hanya butuh waktu 3 jam perjalanan. Waktu tempuh yang relatif cepat karena infrastruktur jalan yang oke punya. Full jalan bebas hambatan. Jalan Tol yang dibangun sudah saling menyambung. Pertama, tentu tol dalam kota, lalu masuk tol Jakarta-Cikampek, setelah itu masuk tol Cipali.

Mobil Elf yang kami tumpangi melaju trengginas. Meliuk liuk mengikuti kontur jalan. Saya duduk dibangku paling belakang, bersama Mba Muthia dan Mba Tamita. Dan saya baru sadar duduk dibangku paling belakang ternyata 'nikmat' (he he he...).

Gerbang Utama Keraton Kasepuhan (dok : Novaly Rushan)
Gerbang Utama Keraton Kasepuhan (dok : Novaly Rushan)
Kota Cirebon , Menantang dan Menggiurkan

Sekitar pukul sepuluh pagi mobil ELF yang kami tumpangi keluar pintu tol Plered menuju kota Cirebon. Pemandangan pertama adalah sebuah kota yang ramai dan sibuk. Tanpa sengaja, kami melintasi sebuah jalan dimana sedang diadakan razia kendaraan roda dua oleh Polisi .

Ingatan saya langsung terkoneksi dengan istilah "Cirebon, Kota Tilang " . Sepertinya, Cirebon memang kota yang menjunjung tinggi peraturan berlalu lintas. Jadi...keep be carefully , patuhi peraturan lalu lintas  ketika melintasi  Cirebon. Kalau ga...ya kena tilang. Seperti dua anak sekolah yang tidak memakai helm yang saya lihat sedang dicegat seorang polisi.

Selain pemandangan keramaian, Cirebon menyajikan suasana kuliner yang banyak tersebar. Rumah makan yang menawarkan Empal Gentong bertebaran sepanjang jalan, selain itu sate kambing Cirebon menjadi menu yang sering juga ditawarkan. Empal gentong memang kuliner asli Cirebon.

Makanan ini akan menjadi hidangan berbuka. Dalam rundown acara sudah tertulis Empal Gentong Hj Dian. Nah, untuk menu itu akan saya tulis khusus, sabar ya...

Rupanya, Cirebon sebenarnya tidak kalah dengan Bandung untuk urusan kuliner. Berbagai tempat makan bisa dipilih. Berbagai menu juga ditawarkan. Soal harga, tinggal pilih saja. Mau yang mahal ada, mau yang murah juga ada.

Mobil ELF mulai memasuki kota Cirebon, agaknya tujuan pertama adalah kantor cabang Bank Danamon Cirebon. Nah, disini kesepuluh peserta mendapat experience untuk menggunakan cara baru mengirim uang . Nama fiturnya D-Cash. Rupanya , fitur ini merupakan cara paling keren untuk kirim uang  yang ga bikin ribet. Coba bayangin , si penerima tidak perlu punya rekening Bank Danamon, bahkan tanpa kartu ATM . Mau tau caranya ? simak secara khusus di artikel ini. So , baca terus sampai habis ya.

Setelah mendapat pengalaman mengirim uang dan menarik uang tanpa kartu ATM , saya dan seluruh peserta melanjutkan perjalanan . Kali ini tujuannya Masjid Agung Cipta Rasa. Masjid bersejarah yang berada tak jauh dari Keraton Kesultanan Kasepuhan.

Tampilan Masjid Sang Cipta Rasa yang sudah mengalami beberapakali pemugaran (dok : Novaly Rushan)
Tampilan Masjid Sang Cipta Rasa yang sudah mengalami beberapakali pemugaran (dok : Novaly Rushan)
Oh, ya sebelum ke Masjid Agung  Sang Cipta Rasa. Kami bersepuluh di briefing untuk acara race wisata. Uniknya, dua tim ditantang untuk mengadakan acara berkeliling ke tempat tempat wisata. Jadi race wisata ini, tiap kelompok akan mengatur sendiri jalur wisatanya.

Satu kendala yang menurut saya cukup berat adalah , cuaca kota Cirebon saat itu terik sekali. Panas menikam ubun ubun. Apalagi bagi yang berpuasa, cukup menyedot tenaga. Alhasil, saya dan tim  malah membicarakan minuman segar. Malah ada niat ingin membatalkan puasa.  Beruntung di tim kami ada Mba Muthia yang bikin statement agak keras , sehingga saya jadi mikir dua kali mau buka puasa (hi..hi...hi...)

Bangunan Utama Keraton Kasepuhan yang telah berusia ratusan tahun (dok : Novaly Rushan)
Bangunan Utama Keraton Kasepuhan yang telah berusia ratusan tahun (dok : Novaly Rushan)
Menjelajahi Masjid Agung Cipta Rasa dan Keraton Kasepuhan

Destinasi pertama, adalah Masjid Agung  sang Cipta Rasa. Masjid yang didirikan pada tahun  1430 M. Masjid yang menurut cerita didirikan oleh wali songo. Sunan Gunung Jati meminta kepadaSunan KaliJaga untuk menjadi arsitek Masjid Sang Cipta Rasa. Dalam sejarahnya, Masjid ini dibangun dengan memadukan gaya Demak, Majapahit dan Cirebon.

Hal yang cukup mengagumkan adalah bentuk pintu utama dan kontruksi bangunan Masjid yang ditopang oleh 12 sokoguru kayu jati diameter 60 cm dengan tinggi 14 meter. Selain itu Mihrab mesjid memiliki ke-khasan karena terdapat ukiran bunga teratai yang khusus dibuat oleh Sunan Kalijaga.

Saya sempatkan untuk sholat dhuhur di masjid ini. Masjid ini memiliki atap Limasan Lambang-teplok, dengan warna coklat yang mendominasi. Masjid Sang Cipta Rasa merupakan pasangan masjid Demak. Bila masjid Demak dibangun dengan gaya maskulin maka Masjid Sang Cipta Rasa dibangun dalam gaya feminim.

Bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di masjid ini, ada perasaan yang berbeda. Karena bentuk masjid yang terbuka sehingga bagi saya seperti memasuki  keraton. Saya mencatat masjid ini pernah dipugar beberapakali, bahkan ada prasasti pemugaran yang dilakukan pada tahun 1978 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sjarif Thajeb.

Destinasi selanjutnya adalah Keraton Kesepuhan. Jujur, saya kagum melihat tampilan keraton ini pertama kali. Keraton yang didirikan sama dengan Masjid Sang Cipta Rasa pada tahun 1430 M. Keraton Kesepuhan sebenarnya bernama Keraton Pakungwati. Sebuah pehormatan bagi Ratu Dewi Pakungwati binti Pangerang Cakrabuana. Yang tak lain adalah istri dari Sunan Gunung Jati.

Keraton Kesepuhan tampil dalam kemegahan. Walau sudah melintasi usia ratusan tahun, kemegahan keraton paling tua di Cirebon ini masih bisa terlihat. Bangunan depannya masih terjaga, beberapa tembok yang terbuat dari batu bata merah yang menurut cerita guide yang saya temui menggunakan putih telur sebagai perekat.

Bangunan pertama yang saya masuki adalah Siti Inggil yang memiliki celah pintu dengan gaya arsitektur seperti bangunan Hindu Majapahit. Disisi temboknya terdapat hiasan piring porselen hadiah kekaisaran Tiongkok. Bahkan menurut cerita salah satu istri Sunan Gunung Jati berasal dari Tiongkok.

Didalam komplek siti Inggil , saya menemui lima bangunan yang memiliki fungsi berbeda beda. Pemandu wisata menjelaskan fungsi lima bangunan , salah satunya adalah Mande Malang Semirang, yang merupakan bangunan khusus bagi sultan untuk melihat pertunjukan seni atau latihan prajurit. Selain itu ada bangunan mande pendawa lima, mande semar tinandu, mande pengiringdan mande karasemen.

Tajug Agung, disinilah Perayaan Maulud dilaksanakan (dok : Novaly Rushan)
Tajug Agung, disinilah Perayaan Maulud dilaksanakan (dok : Novaly Rushan)
Masuk lebih kedalam , terdapat dua pintu gerbang,  dari pintu gerbang diarah kanan terdapat sebuah bangunan bernama Tajug Agung yang merupakan Musholla agung Keraton . Bangunan Tajug Agung menjadi bangunan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Seperti Maulud Nabi yang memberi makanan kepada rakyat yang datang dari berbagai penjuru.

Untuk memasuki halaman dalam keraton terdapat satu gerbang , dihalaman keraton yang cukup luas terdapat bangunan baru yang akan menjadi Museum Keraton. Tepat pada hari itu akan diadakan acara pembukaan Museum pada jam 16:00. Saya melihat persiapan dihalaman dengan mendirikan tenda yang cukup luas dengan bangku yang sudah berjejer rapi.

Museum Pusaka Keraton Kasepuhan ini resmi dibuka pada Sabtu, 10/6/17 (dok : Novaly Rushan)
Museum Pusaka Keraton Kasepuhan ini resmi dibuka pada Sabtu, 10/6/17 (dok : Novaly Rushan)
Beruntung , eksplorasi kami tidak terganggu.  Begitu memasuki areal utama bangunan keraton, saya melihat dua singa putih ditengah halaman yang menurut cerita pemandu wisata merupakan titisan Raja Pajajaran.

Bangunan utama Keraton  berwarna putih ini merupakan bangunan dengan mengambil gaya Tiongkok, gaya Eropa gaya Arab dan juga pengaruh Hindu. Ornamen keramik yang menghias bangunan utama keraton sebagian berisi kisah nabi nabi yang berasal dari Bibel. Boleh dibilang keraton kesepuhan merupakan perpaduan dari berbagai budaya dunia.

Didalam komplek utama keraton terpadat Keputran disebelah timur yang digunakan untuk tempat tinggal para putra , sedang disisi barat terdapat Keputren yang merupakan tempat tinggal para putri. Sayang, didalam ruang utama sedang dilakukan prosesi gladi bersih acara keraton. Sehingga , saya hanya bisa melihat dari celah kaca.

( Bersambung pada tulisan kedua)

Twiteer : @NovalyRushan

Fb    : Rushan.Novaly

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun