Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Banyuwangi, Surga Wisata di Ujung Timur Pulau Jawa

8 Juni 2017   18:43 Diperbarui: 10 Juni 2017   13:03 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Snorkeling menjadi aktivitas menarik di Bangsring (dok : pribadi)

Banyuwangi memang fenomenal di bidang wisata. Banyak sekali destinasi wisata yang ditawarkan di kabupaten yang luasnya 5.782,50 Km2 ini. Asal tahu saja, kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di pulau Jawa. Bahkan luasnya melebihi luas pulau Bali. Letaknya yang berhadapan langsung dengan pulau Bali menjadikan kota Banyuwangi merupakan pintu utama menuju pulau Bali melalui Pelabuhan Ketapang.

Banyuwangi juga memiliki sebuah bandar udara Belimbing Sari yang memiliki jalur penerbangan Denpasar, Surabaya dan mulai 21 Juni akan ada penerbangan langsung  Jakarta-Banyuwangi. Selain itu ada moda kereta api , yang menghubungkan Banyuwangi ke Surabaya. Jadi soal tranportasi ke Banyuwangi sudah lengkap.

Kalau mendengar kawah Ijen, Pantai Merah, Pantai Pulau Santen, Teluk hijau, Pantai Plengkung , Pantai Bangsring dan juga sebuah kawasan savana Baluran. Jadi wisata di Banyuwangi tergolong paket lengkap. Ada wisata gunung, pantai, hutan dan juga budaya. Di Banyuwangi ada suku Osing, yang merupakan suku asli Banyuwangi. Suku Osing ini memiliki budaya dan masakan yang keren. Nanti saya ceritakan tentang masakan suku osing yang 'nampol' banget.

Saya beruntung bisa mengunjungi banyuwangi. Selepas mengadakan kegiatan di kota jember . saya dan tim langsung cabut ke Kota Banyuwangi.

Perjalanan dari kota Jember ke Kota Banyuwangi menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan darat. Perjalanan malam itu cukup lancar tanpa hambatan. Kendaraan yang kami sewa melaju kencang, meliuk liuk mengikuti kontur jalan yang melingkar, naik turun.

Beruntung, Saya dan tim sudah memiliki kontak seorang teman baik yang tinggal di Banyuwangi. Melalui teman baik inilah kami mendapatkan sebuah tempat menginap yang nyaman dan terjangkau. Sebuah guest house yang berada tepat di tengah kota Banyuwangi.

Oh, ya guest house yang kami tempati punya ke-khususan karena merupakan rumah besar yang diubah menjadi sebuah guest house. Saya jadi teringat tayangan TVRI zaman dulu "Losmen". Apalagi guest house ini menerapkan ketentuan 'syariah'.  Pengunjung harus memastikan pasangan sah. Jadi jangan coba coba berbuat asusila disini.

Pantai Syariah Santen berpasir hitam (dok : pribadi)
Pantai Syariah Santen berpasir hitam (dok : pribadi)
Penat selama perjalanan terbayar lunas. Pagi hari , kami langsung bersiap siap menjelajahi destinasi wisata Banyuwangi. Teman baik kami, Mas Agung menjadi guide wisata yang jempolan. Hal Pertama, saya dan tim berputar melihat kota Banyuwangi. Mengunjungi kantor bupati, rumah dinas bupati, alun alun kota .

Aktivitas Kota Banyuwangi masih sepi ketika saya dan tim berkeliling. Karena memang hari masih terlalu pagi. Jalan jalan juga masih lengang. Hanya terlihat beberapa kendaraan yang hilir mudik. Tak ditemui kemacetan. Padahal hari itu hari senin. Hari yang bila di Jakarta , sudah bermacet macet ria.

Pagar pembatas pantai, sebelah kiri wanita dan sebelah kanan laki laki (dok : pribadi)
Pagar pembatas pantai, sebelah kiri wanita dan sebelah kanan laki laki (dok : pribadi)
Mengunjungi Pantai Syariah "Pulau Santen"

Setelah sejenak berputar di tengah kota, saya bersama tim menuju Pantai Syariah Pulau Santen. Mendengar nama syariah menempel di nama pantai membuat  saya langsung berpikir sesuatu yang unik dan tentu menarik.

Saya langsung bertanya kepada mas Agung lebih lanjut tentang pantai ini. Setelah mendapat penjelasan singkat, saya jadi mafhum yang dimaksud pantai syariah. Rupanya, pantai syariah ini digagas oleh bupati banyuwangi. Pantai ini memiliki pembatas untuk pengunjung pria dan wanita.

Untuk menuju pantai syariah Santen, tak terlalu jauh dari pusat kota. Hanya butuh waktu tak lebih dari 20 menit dengan kendaraan roda empat.

Menurut mas Agung, biasanya ada petugas pantai yang menjaga pintu masuk dan langsung memisahkan laki laki dan wanita. Mungkin karena saya dan tim datang terlalu pagi, saya tak menemui petugas penjaga  pintu masuk. Jadi saya dan tim yang dua orang diantara kami wanita bisa tetap masuk secara bersama sama (tidak terpisah).

Fasilitas wisata pantai terlihat lengkap. Ada tenda pantai dengan warna warni, lalu ada tempat duduk yang juga berwarna warni. Permainan wisata air seperti banana boat , kapal wisata juga tersedia.

Selain sebagai pantai wisata ,Pantai pulau Santen juga merupakan kawasan nelayan tradisional. Pagi itu, saya melihat langsung aktifitas nelayan yang sedang menjaring, ada  yang sedang mencari kerang , ada juga yang baru pulang memancing ditengah laut menggunakan kapal kayu .

Aktivitas nelayan ini tentu menarik perhatian saya. Pantai Pulau Santen berpasir hitam. Aktifitas menjaring ini merupakan aktifitas sehari hari nelayan di pantai pulau Santen. Di pinggir pantai , saya melihat tiga hingga empat laki laki berotot  dengan tenaga penuh menarik tali secara bersama sama. Pekerjaan menarik tali jaring ini tentu bukan pekerja yang ringan. Saya melihat wajah wajah penuh tekanan.

Secara berkelompok para nelayan ini terus menarik hingga ke sebuah titik, hingga seluruh jaring bisa terbawa naik ke darat. Hasilnya tentu semua hewan laut yang tersangkut jaring. Selain hewan laut, sampah yang ada di pantai juga ikut terbawa. Sayangnya, hasil yang didapatkan seringkali tak banyak.

Di dalam jaring terdapat bermacam macam hewan laut, ada ikan, udang , kuda laut hingga ular laut. Sebagian bernilai ekonomis dan bisa dijual ke pasar, sedangkan yang tidak ekonomis akan dibuang begitu saja ,seperti ikan buntal dan ular laut.

Pantai Syariah Pulau Santen pagi itu memang lebih nampak sebagai pantai nelayan ketimbang pantai wisata. Maklum, saya salah datang , bukan pada waktunya. Walau begitu, saya tetap menikmati pemandangan pantai dan laut yang menarik. Angin yang bertiup kencang, aktifitas ibu ibu nelayan yang mengumpulkan hasil menjaring lalu membawanya ke pasar.

Penangkaran Ikan Hiu di rumah apung (dok:pribadi)
Penangkaran Ikan Hiu di rumah apung (dok:pribadi)
Berenang Bersama Hiu di Rumah Apung Bangsring

Setelah puas melihat pemandangan di pantai syariah Pulau Santen, saya dan tim kembali ke pusat kota Banyuwangi untuk mencari makanan khas Banyuwangi. Karena belum sempat untuk sarapan pagi, saya dan tim mampir ke sebuah rumah makan .

Menu Pecel Rawon menjadi pilihan saya. Menu di Banyuwangi ini merupakan gabungan dua menu menjadi satu. Jadi selain menemui menu pecel , juga ada menu daging rawon. Saya jadi berkeringat , karena menu yang disajikan pagi itu begitu menantang. Pedas.

Setelah perut terisi, saya dan tim menuju pantai Bangsring. Pantai ini merupakan pantai konservasi terumbu karang yang rusak . Adalah seorang pemuda bernama Ikhwan Arief yang merupakan pelopor perubahan sikap masyarakat pantai Bangsring agar berhenti menggunakan bom ikan yang merusak ekosistem laut.

Rumah Apung tempat menangkar Ikan Hiu (dok : Pribadi)
Rumah Apung tempat menangkar Ikan Hiu (dok : Pribadi)
Di Pantai Bangsring terdapat homestay, kedai makanan, toko cindramata, kebun bunga , dan beberapa fasilitas pantai wisata. Yang unik , ada rumah apung yang menjadi penangkaran ikan hiu. Rumah apung di Bangsring menjadi lokasi wisata underwater.

Ketika saya hadir, banyak siswa siswi sedang belajar snorkeling. Dari pantai menuju rumah apung hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 5 menit. bIayanya untuk menyeberang menggunakan kapal motor yang dimodifikasi hanya lima ribu rupiah.

Di sekeliling rumah apung itulah terdapat jaring apung yang berisi anak anak ikan hiu. Wisatawan diperbolehkan berenang bersama hiu. Karena Hiu masih anak anak, maka tak berbahaya berenang bersama hiu. (Mungkin kalau ibu si Hiu muncul , baru bahaya mengancam...)

Pantai Bangsring menjadi salah satu destinasi yang cukup diminati, karena dari pantai ini terlihat jelas pulau Bali. Pantai ini dikelola cukup baik, ada beberapa hal kreatif dilakukan relawan di tempat ini. Seperti apertemen ikan, shelter yang terbuat dari botol kemasan.rumah burung, tamanan hias.

Rumah apung ditengah laut merupakan destinasi yang menarik buat saya, sayang saya tak membawa baju ganti untuk belajar snorkeling.

Perjalanan saya ke Banyuwangi masih cukup panjang, karena menyempatkan diri untuk ke desa Gombengsari yang merupakan desa penghasil kopi Banyuwangi dan juga peternak kambing Etawa. Namun sebelum ke Gombengsari, saya dan tim makan siang di sebuah rumah makan Sego Tempong Mbak Wah,  yang merupakan menu suku osing. Makanan suku osing sangat terkenal karena menggunakan sambel ulek yang khas. Pedas tapi tidak membuat perut panas.

Sayang , saya dan tim harus segera kembali ke Sidoarjo menggunakan kereta malam itu. Perjalanan kereta dari Banyuwangi memakan waktu sekitar 6 jam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun