Apa hubungannya membatik dengan bencana ? selintas tak ada hubungannya bukan ?. Canting , sebagai alat membatik membutuhkan keahlian tangan. Motorik halus. Konsentrasi. Sedangkan bencana , merupakan kejadian abnormal yang memiliki dampak kerusakan, korban hingga terganggunya sistem sosial dan budaya .
Saya bersyukur bisa mengikuti acara yang diadakan Kompasianer Tangerang Selatan Plus (Ketapels) yang berkolaborasi dengan Kompasiana dan Bank Danamon, acara bertema : “Saatnya Batik Etnik Tangsel Memegang Kendali Menuju Go Internasional “ ini menambah pengetahuan saya tentang serba serbi batik. Jujur saja, saya awam tentang dunia batik.
Pengetahuan saya tentang batik memang masih sangat sedikit,  namun membuat  saya malah mendapatkan inspirasi. Membatik bisa menjadi salah satu tools untuk melakukan recovery bagi korban yang berdampak langsung.  Sebagai orang yang bekerja di lembaga kemanusian yang erat hubungannya dengan kebencanaan, saya menilai canting membatik bisa menjadi alat yang ampuh untuk memulihkan tekanan trauma pasca bencana.
Lho kok bisa ? Ya saya rasa sangat bisa. Korban bencana biasanya masih menyimpan ingatan  kejadian ketika bencana datang menerpa, secara psikologis korban bencana tak mudah melepaskan ingatan yang terekam dengan kuat di memori otak. Bahkan terbawa hingga ke bawah alam sadar.
Trauma bencana memang tak mudah hilang.  Apalagi bila dalam kategori trauma berat akibat kehilangan anggota keluarga atau kehilangan seluruh aset yang dimiliki. Perlu penanganan khusus yang melibatkan para ahli kejiwaan , ahli agama hingga relawan khusus trauma healing. Pendekatannya memang berbeda tergantung kadar trauma yang diderita korban bencana.
Rangsangan itu saya rasakan sendiri bisa membuat orang yang sedang membatik melupakan apa yang tengah terjadi. Keasyikan membatik menggunakan canting membuat saya harus berkonsentrasi kepada pola gambar yang saya buat.
Proses men-canting di seluruh kain saja akan meminta waktu yang cukup banyak (tergantung luas kain). Â Feel membatik menurut saya sangat mengasikkan. Lebih kuat dari sekedar membuat gambar pada kertas tulis. Karena men-canting memerlukan aktifitas mengambil cairan malam lalu meniup ujung rongga canting agar cairan malam bisa keluar dengan baik.
Faktanya, saya mendapatkan kesukaran ketika men-canting. Jangankan bisa menggambar pola dengan baik, yang ada saya malah menumpahkan cairan malam kekain yang saya miliki. Hal ini membuat saya harus berkonsentrasi dan mencara cara yang paling efektif untuk mengalirkan cairan malam dari rongga canting ke kain.
Dalam tugas kemanusian seperti menghadapi bencana alam , peran relawan kemanusian sangatlah penting. Fase penanganan bencana biasanya dibagi dalam beberapa fase. Fase pertama adalah fase emergensi, dimana fase ini membutuhkan sifat cepat karena berurusan dengan penyelamatan korban dari reruntuhan, timbunan hingga tugas mengevakusi korban luka hingga korban meninggal .
Relawan emergensi dibekali kemampuan first aid, evakuasi korban , hingga kemampuan lain yang mendukung. Maka, relawan emergensi biasanya berasal dari para pencinta alam atau orang yang telah dididik dalam pendidikan khusus .
Fase emergensi biasanya disesuaikan dengan kebutuhan penanganan wilayah terdampak. Waktunya biasanya ditentukan petugas berwenang seperti BNPB, BPBD , Pemda atau otoritas kebencanaan lainnya.
Fase emergensi dinyatakan selesai bila korban sudah ditemukan dan dievakuasi. Atau dianggap telah lewat waktu dimana korban kemungkinan tak lagi bisa diselamatkan dalam keadaan hidup atau selamat. Â Dalam fase emergensi , juga dilakukan fase relief dan fase medis. Fase relief atau fase bantuan dan juga pendirian posko.
Dalam fase medis, di perlukan upaya pemulihan truma pasca bencana. Disinilah peran relawan trauma healing unuk mengurangi dampak truma para korban bencana. Sebagian besar memang dilakukan untuk anak anak. Seperti  permainan edukasi , menggambar, mewarnai, mendongeng atau games games menyenangkan lainnya.
Saya berpendapat di fase ini kegiatan men-canting atau membatik dapat digunakan sebagai salah satu cara mengurangi dampak trauma. Sekaligus memberikan sebuah ketrampilan yang apabila diseriuskan malah bisa menjadi salah satu ketrampilan  bagi korban bencana .
Batik sebagai budaya adiluhung bangsa Indonesia merupakan ikon penting yang telah diakui dunia Internasional. Sebagai warisan yang harus dilestarikan. Seperti apa yang dilakukan Nelty Fariza, sebagai orang yang memiliki sense untuk menjadikan  batik sebagai identitas teritorial.
Nelty Fariza wanita kelahiran Cianjur, 8 September 1962  memiliki cara yang jenius untuk menggunakan isu dan kearifan lokal sebagai tema pola batik yang dibangunnya. Seperti motif batik Situ Gintung, motif Batik Benteng, motif batik gerbang Tigaraksa, motif bunga anggrek van Douglas, dan banyak motif unik lainnya.
Nelty Fariza memang warga Tangerang Selatan, wanita energik ini memulai debut membatiknya sejak tahun 2004. Saat itu jalan yang dilalui tidaklah mudah. Nelty yang berusaha mengajak kaum ibu disekitarnya untuk membatik tidaklah selalu berjalan mulus.
Pola masyarakat memang tak mudah dirubah. Membatik seperti hal yang tak menjadi perhatian, pemerintah daerah juga setali tiga uang. Tidak menjadikan batik sebagai prioritas utama. Pemerintah daerah pada awalnya belum menaruh perhatian khusus, namun berjalannya waktu dengan prestasi yang diraih Nelty Fariza di mancanegara, sedikit demi sedikit pemerintah daerah mulai melirik batik yang diproduksi Nelty.
Dalam pikiran liar saya, dalam imajinasi, Â saya membayangkan bagaimana bila bencana yang pernah terjadi di Indonesia bisa dijadilan motif batik. Batik sebagai karya monumental dimana motifnya mengambil dari setiap kejadian bencana yang pernah terjadi.
Seperti Motif Tsunami Aceh 2004, motif Erupsi Gunung Sinabung, Motif Gempa Padang, Motif Gempa Yogyakarta, Motif Banjir bandang Bima, Motif Tanah longsor Banjar negara, Motif angin puting beliung , atau Motif banjir besar Jakarta.
Bencana memang tak pernah diinginkan, siapapun dimuka bumi tak akan pernah mau terkena bencana. Namun percayalah dibalik bencana ada hikmah besar. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan melihat museum tsunami Aceh hingga situs situs bencana seperti : PLTD Apung , Kapal diatas Rumah di Lampulo dan beberapa situs lainnya.
Saya sempatkan berkeliling Banda Aceh, melihat kota yang kini telah kembali bangkit. Infrastruktur kota sudah terbangun dengan baik, Kota Banda Aceh saat ini menjelma menjadi kota besar yang modern . Perkembangan masyarakatnyapun juga terbangun dengan baik.
Saat saya akan kembali ke Jakarta, saya menemukan batik khas Aceh. Dan saya semakin yakin bila batik akan menjadi salah satu cara penanggulan trauma kebencanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H