Hujan untuk sebagian orang seperti bencana kecil. Apalagi hujan yang turun dengan deras dalam waktu yang cukup lama. Genangan dan banjir menjadi cerita sehabis hujan.
Sebagian lagi mengutuki hujan dengan keluhan karena rezekinya akan terhambat. Tak bisa berjualan karena pembeli menghilang. Atau malah tak ada tempat berjualan karena banjir menghadang.
Arini, gadis kecil yg duduk dibangku SD berdiri cemas. Menatapi langit yang gelap. Payung hitam ditangannya hampir menyamai tingginya. Payung hitam itulah lengan rezeki yang ia miliki. Untuk mengais rezeki .
Mulut Arini komat kamit, berdoa agar Tuhan menurunkan hujan malam ini. Hujan yang lebat seperti yang diperkirakan berita TV kemarin sore. Berita cuaca menjadi berita yang selalu ditunggu Arini.
Arini berdiri di pojok stasiun sudimara. Menepi dari penumpang kereta yang keluar dari celah pintu . Arini hanya menunggu , sementara suara gemuruh langit mulai terdengar, tak lama butir butir air menetes. Gerimis lalu berubah menjadi lebat. Kilauan cahaya langit dengan suara guntur susul menyusul.
Arini tersenyum, membayangkan ia akan mendapatkan uang untuk membeli obat batuk ibunya. Sudah tiga hari ibunya batuk. Hanya karena kemiskinan , ibu tak mampu berobat. Padahal ibu berjualan di depan puskesmas. Menawarkan kue kue kecil untuk para pedagang pasar , tukang ojek dan pekerja kasar.
Tak banyak uang yang bawa ibu. Hanya cukup untuk makan sehari hari. Menghidupi dua anaknya, Arini bungsu, kakaknya mengalami down syndrom. Tak banyak yang bisa dikerjakan kakaknya, selain duduk menatap langit langit dengan mata kosong.
Arini mulai beraksi , berdiri dibawah hujan dengan payung terkembang sempurna. Hujan lebat membuat penumpang kereta tertahan, stasiun sudimara nampak penuh. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang mengacuhkan keberadaan Arini.
Wajah wajah penumpang kereta lebih sibuk melihat gadget. Arini mulai menawarkan jasa payungnya , satu per satu penumpang ia tawari. Tak ada yang bergeming. Hanya gelengan kepala tanda penolakan. Arini tak putus asa.
Hujan yang lebat mulai mereda. Butir butir air yang turun dari langit terus menyusut. Langit mulai cerah. Arini belum mendapatkan satupun orang yang menggunakan jasanya. Tak sepeser uang yang ia dapat. Sementara hujan sebentar lagi usai.
“Bu, payungnya, mba , payungnya, kakak, payungnya.” Suara Arini lirih dengan wajah memelas. Bila hujan benar benar reda dan penumpang kereta berhamburan pulang maka sia sialah usahanya. Padahal Arini harus berjalan kaki dari rumahnya yang tidak dekat.
Arini tetap tak berputus asa. Ia teruss berkeliling, mendekati seorang lelaki setengah baya didalam sedan. Arini berdiri disamping pintu mobil. Menawarkan payungnya, lelaki itu terseyum kecil lalu memberi isyarat penolakan. Arini tak patah arang, ia bergerak mendekati seorang wanita tua yang berdiri diujung pelataran parkir, lagi lagi Arini ditolak.
Arini berlari kecil mendekati seorang lelaki yang akan segera melompat ke arah jalan, lagi lagi lelaki itu menolak . tapi ia mengeluarkan selembar uang ke arah Arini.
Arini mundur satu langkah, ia menolak menerima uang. Wajahnya sedikit tegang. “ambillah, ini untuk adik “ laki laki muda kembali mengangsurkan uangnya. Arini tetap menolak.
“Maaf kak, saya hanya menawarkan payung. “ tolah Arini dengan suara datar
“Tapi saya ikhlas, ambillah “ ulangi laki laki itu
“Tidak kak, kalau kakak mau pakai payung saya , baru saya terima uang kakak”
“Baiklah, sini ...”
Arini menyerahkan payung hitamnya . Lalu berjalan mengikuti laki laki muda itu menuju sebuah sedan yang terparkir di ujung stasiun sudimara. Jaraknya tak sampai 30 meter. Pintu sedan terbuka, Laki laki muda itu meyerahkan kembali payung Arini lalu merogoh kantongnya, selembar uang seratus ribu diberikan kepada Arini,
Arini sejenak tertegun, kaget menerima uang sebesar itu, memikirkan uang kembalian. Tak ada uang sepeserpun di kantongnya.
“Uang kecil saja kak , saya tak punya kembalian “
Lai laki muda itu terseyum “ Ambil semuanya, ini jasa payung yang saya bayar, bukan uang kasihan lho.”
Arini langsung mengucapkan terima kasih. Rasanya baru kali ini ia menerima uang sebesar malam ini. Pecahan seratus ribu . Arini tak menunggu lama untuk berlari pulang. Kaki kecilnya berlompatan menghindari genangan air.
Terbayang, Arini bisa memberikan obat batuk ibu, lalu sisanya Arini akan membelikan susu untuk kakaknya. Ah, Arini malam ini sangat bahagia. Senyumnya mengembang. Hingga sebuah sepeda motor menyenggolnya dari arah belakang. Arini limbung, lalu terjatuh.
Uang seratus ribu yang ada digenggamannya terlepas lalu seorang lelaki mengambilnya dan berlari pergi begitu saja .
Arini berteriak minta tolong, tapi lelaki itu menghilang di gang sempit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H