Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Lima Jam Jalan Kaki ke Kampung Baduy Dalam

23 Desember 2016   06:02 Diperbarui: 23 Desember 2016   10:15 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Kaki dengan medan berlumpur, menanjak dan menurun dengan kemiringan hingga 45⁰. Terjal dan licin. Begitulah yang saya alami ketika melakukan trip menuju kampung Cibeo, salah satu dari tiga kampung Baduy Dalam.

Perjalanan adventure ini saya lakukan bersama teman teman yang semuanya 100% baru saya kenal. Lewat perkenalan di grup WA, sebagian besar dari mereka adalah teman CL (Commuterline) Mania. Berasal dari beragam lintas profesi. Lintas umur dan lintas latar belakang pastinya.

Dari sisi umur saja, ada peserta trip yang sudah di atas 50 tahun. Ternyata trip dengan medan berat yang lebih mirip perjalanan adventure ekstrem tak membatasi umur. Saya salut dengan beberapa peserta yang tetap bersemangat menyelesaikan trip walau harus bersusah payah.

Untuk mengenang perjalanan dan pertemanan inilah, maka saya wajib menulis artikel perjalanan ini. Sebuah cerita nyata tentang perjalanan penuh perjuangan untuk menembus sebuah kampung di kaki Gunung Kendeng. Di hulu sungai Ciujung. Sebuah kampung yang terisolir dari dunia modern.

Tak ada listrik, tak ada TV, tak ada jaringan internet, penghuninya adalah suku yang memang menerapkan aturan ‘keras’ yang memagari tradisi leluhur sejak ratusan tahun yang lalu. Selalu bertelanjang kaki kemanapun pergi, mengharamkan alat transportasi apapun bentuknya. Hanya memakai baju khas dengan dua pilhan warna saja, putih dan hitam. 

Tidak itu saja, suku ini melarang pendidikan formal seperti sekolah, sarana kesehatan modern hingga alat bantu pekerjaan rumah tangga. Sabun, pasta gigi, paku, kompor, kasur bahkan senter adalah barang yang tak boleh mereka gunakan.

Rasanya seperti melemparkan diri ke zaman pra sejarah. Tak mengenal baca tulis karena tak mengenyam pendidikan walau akhirnya sebagian ada juga yang bisa membaca dan menulis karena pergaulan dengan dunia luar.

Berjalan diantara rumah orang Baduy Luar/NovalyRushan
Berjalan diantara rumah orang Baduy Luar/NovalyRushan
Kencangkan Sabuk Pengaman, It’s Time to ‘Fly’

Nah, sekarang saya akan memulai perjalanan ini. Dimulai dari stasiun Tanah Abang. Bila ingin ke arah Baduy kita harus menggunakan kereta diesel. Dari stasiun Tanah Abang hanya ada dua kereta yang bisa digunakan KA Rangkas Jaya dan KA Kalimaya. Perhatikan jadwalnya, karena kedua kereta ini melayani rute Jakarta-Rangkasbitung dalam jadwal terbatas.

Jadwal paling pagi untuk KA Rangkas Jaya di stasiun Tanah Abang  jam 07:45 dan akan sampai ke stasiun Rangkasbitung sekitar jam 09:30. Sesampainya di stasiun Rangkasbitung, saya beserta teman yang berjumlah 18 peserta dan dua orang tour leader beristirahat sejenak untuk mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan.

Tak jauh dari stasiun ada satu terminal tempat mobil sewaan yang rata-rata akan mengarah ke Baduy. Ada dua rute yang ditawarkan, Ciboleger dan Cijahe. Dua titik ini tentu punya perbedaan. Bila melalu Ciboleger jarak yang akan ditempuh lebih jauh (+/- 14 Km). Namun bila melalui Cijahe jarak yang ditempuh hanya 1,5 Km menuju kampung Cibeo. Namun bila ingin merasakan sensasi yang paling seru dan bisa melihat perkampungan baduy luar maka pilihlah jalur Ciboleger.

Saya bersama rombongan melalui jalur Ciboleger. Dari Rangkasbitung dibutuhkan dua jam perjalanan untuk sampai di Ciboleger. Jalurnya menanjak dan berkelok-kelok. Siapkan kantung plastik bagi yang tak terbiasa, perut akan dikocok-kocok selama perjalanan.

Saya sampai di Ciboleger sekitar jam 12 siang. Pemandangann pertama yang saya lihat adalah adanya sebuah tugu selamat datang yang digambarkan dua orang dewasa dan dua orang anak. Suasana Ciboleger lebih nampak seperti sebuah tempat transisi bagi saya. Disinilah gerbang yang akan memisahkan modernisasi dengan dunia baduy yang ‘senyap’.

Di Ciboleger dapat ditemukan banyak tempat penjual cinderamata khas Baduy. Baik dari pakaian, kain, tas, hiasan, gantungan kunci, madu hingga replika rumah Baduy. Selain itu ada beberapa rumah makan sederhana. Karena akan melakukan perjalanan jalan kaki selama 5 jam maka saya mengisi perut dengan makanan berkalori.

Nah, sebelum memulai perjalanan, Kami semua berfoto bersama didepan Tugu Selamat Datang Ciboleger. Bergaya sebelum memulai perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan.

Wajah wajah cerah ketika menembus jalan berlumpur / NovalyRushan
Wajah wajah cerah ketika menembus jalan berlumpur / NovalyRushan
Jalan Mendaki dan Menurun, Melihat Daya Tahan Orang Baduy

Tralala... perjalanan dimulai. Beberapa teman menggunakan jasa porter orang Baduy Dalam yang bergerombol di Ciboleger ternyata sedang mencari pekerjaan sebagai porter. Mereka akan menawarkan jasa dengan bahasa yang sangat halus. Tak ada paksaan. Mereka hanya mendekati para tamu yang datang. Berdiri dan memandang dengan tatapan polos.

Memang seperti itulah orang Baduy. Membuat orang akan berempati. Mereka bahkan tak menetapkan tarif untuk jasa yang mereka berikan. “Terserah saja” itu jawaban mereka ketika ditanya berapa yang harus dibayar untuk jasa porter.

Setelah semua siap, perjalanan pun dimulai. Jalan berbatu lalu berubah menjadi jalan tanah, hanya memiliki lebar tak lebih dari 1,5 meter. Perlahan tapi pasti, perjalanan semakin berat karena jalan mulai berlumpur pekat. Sepatu yang saya kenakan terpaksa harus dilepas. Bertelanjang kaki seperti orang Baduy.

Sementara orang Baduy yang menjadi ranger dan porter berjalan dengan ‘gagah’. Tak terlihat keringat dan napas tersengal sengal. Kaki telanjang mereka tak terlihat kesulitan ketika harus melalui jalanan licin berlumpur. Saya saja harus jatuh bangun karena terpeleset di jalan menurun yang licin.

Setelah berjalan dua jam, barulah saya dan teman teman melewati batas baduy luar. Di titik ini seluruh alat elektronik seperti hp harus dimatikan. Kamera DSLR yang saya bawa pun harus disimpan dan tak diperkenankan lagi mengambil gambar. Di titik ini semua modernisasi dan kecanggihan harus dilepas.

Seperti akan memasuki sebuah kawasan antah berantah, di mana zaman berbalik arah. Beruntung cuaca cukup cerah sehingga saya dan teman teman melakukan satu aksi Manequin Chalange sebagai persembahan massal. Sebuah aksi, sebelum kamera dimatikan selama berada di dalam kawasan Baduy Dalam. Aksi Manequin Chalange juga diikuti juga teman-teman Baduy.

Sebenarnya, tak ada perbedaan mencolok antara Baduy luar dan Baduy Dalam. Alamnya sama, tanaman yang ditanam juga sama, hanya cara berpakaian yang sedikit berbeda. Rumah orang Baduy luar memang lebih rapih karena sudah menggunakan paku dan dikerjakan dengan alat yang lebih lengkap. Berbeda dengan rumah orang Baduy Dalam yang menggunakan pasak dan tali pengikat. Penyangga kayu utamanya saja diletakkan seadanya saja di atas sebuah batu besar.

Saya sempat bertanya, berapa waktu yang dihabiskan untuk membangun satu rumah Baduy Dalam. Jawabanya hanya dua jam saja. Luar biasa. Tak terbayang bagaimana cepat dan tangguhnya orang Baduy Dalam .

Setelah lima jam, sore mulai berganti malam, cahaya Matahari pun berangsur hilang. Namun perjalanan masih menyisakan jarak yang harus diselesaikan. Saya menyaksikan beberapa orang Baduy kembali dari ladang. Sambil menentang kayu dan bawaan yang cukup berat mereka melenggang tanpa kesulitan. Saya harus angkat jempol dengan kekuatan tungkai kaki orang Baduy.

Aktivitas menenun seorang Wanita Baduy di depan rumahnya / NovalyRushan
Aktivitas menenun seorang Wanita Baduy di depan rumahnya / NovalyRushan
Sebuah Kampung Masa Lalu

Sekarang sampailah saya dan teman-teman di perkampungan Baduy Dalam. Di kampung Cibeo yang saya kunjungi terdapat 140 KK. Rumah rumah kayu orang Baduy menghadap Utara dan selatan. Berbeda dengan pu’un sebutan kepala suku di Baduy, yang menghadap arah Timur.

Di kampung Cibeo, rumah dibangun tak jauh dari aliran sungai. Kebutuhan air membuat kampung berada disisi sungai. Air yang berasal dari atas pegunungan mengalir deras. Suasana sungai nampak sangat alami. Akar akar pohon mengular membentuk hiasan alam yang eksotik. Rumah rumah yang berjajar rapih membentuk barisan. Jalan di tengah kampung dilapisi batuan sungai.

Bila siang, kampung Baduy sangatlah sepi karena hampir semua penduduknya berangkat ke ladang dan beristirahat di saung disekitar ladang mereka masing-masing. Maka, bila siang hari ada yang ditugasi untuk meronda kampung.

Berbeda bila malam tiba, penduduk kembali dari ladang. Suasana akan menjadi ramai karena antar penduduk Baduy akan saling bercakap-cakap dengan istilah Ngewangkong. Sekadar bertukar informasi dan saling menghibur diri karena suasana gelap tanpa ada hiburan.

Sebagian orang Baduy bisa menggunakan alat musik kecapi dan karinding sebagai alat hiburan di kala malam hari. Dengan menggunakan cahaya dari lampu minyak kelapa, suasana cukup syahdu. Saya jadi teringat kampung halaman di masa lalu, di mana listrik belum masuk, hp dan internet belum ada. Memori itu kembali teringat ketika saya masih kanak-kanak.  

Di dalam rumah orang Baduy Dalam, tak ada sekat. Dengan bangunan panggung yang alasnya terbuat dari kulit pohon bambu. Saya menikmati kesahajaan malam itu dengan terus bersyukur, Alangkah nikmat apa yang telah saya peroleh selama ini. Bayangkan bila saya harus hidup di dalam kampung Baduy Dalam, niscaya artikel ini tak akan pernah ada.

Orang Baduy Dalam sangat terikat oleh banyak aturan tradisi leluhur, kepercayaan yang mereka anut adalah kepercayaan animisme. Percaya terhadap roh.

Menggunakan bahasa Sunda Wiwitan yang punya perbedaan dengan bahasa Sunda. Tabu memakan daging kambing dan tak diperbolehkan memerihara jenis hewan ini. Selain itu tabu menanam pohon pepaya, cengkeh dan kopi.

Malam itu saya dan teman teman bermalam disalah satu rumah Baduy. Konstruksi rumah Baduy Dalam terbuat dari kayu keras. Dinding dan lantai terbuat dari bilah bilah bambu. Rata rata tinggi rumah Baduy dari permukaan tanah sekitar 50 cm. Saya memperkirakan ukuran rumah 6 x 7 meter dengan tinggi atap mencapai 3,5 meter. Di dalamnya tak ada barang apapun kecuali beberapa perlengkapan rumah tangga sederhana yang terbuat dari bambu. Walau begitu, ketika saya bermalam, alat makan yang disajikan sudah menggunakan sendok, garpu yang terbuat dari logam. Dan mangkuk keramik. Memang tak ada piring dan gelas keramik. Gelas yang mereka gunakan terbuat dari batang bambu.

Untuk menampung air bersih, orang Baduy Dalam juga menggunakan batang bambu yang dilubangi bagian atasnya. Setiap rumah biasanya bisa memiliki 7 hingga 10 bambu penyimpan air. Tak ada ember plastik apalagi gayung. Semua kearifan lokal masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Untuk menjaga tradisi leluhur, orang Baduy memiliki makanisme sistem pengawasan internal yang ketat. Secara periodik, selalu ada razia atau sidak dari pemangku adat. Rumah digeledah seluruhnya untuk memastikan tak ada ‘barang terlarang’ yang dimiliki masyarakat Baduy.

Fungsi pu’un sangat sentralistik dengan kewenangan penuh. Pu’un tidak dipilih secara demokratis, namun dipilih berdasarkan keturunan dan kemampuan. Rumah pu’un juga terpisah dengan masyarakat lainnya. Tak sembarang orang bisa bertemu pu’un.

Pemandangan Indah selama perjalanan / NovalyRushan
Pemandangan Indah selama perjalanan / NovalyRushan
Anomali Tradisi Baduy Dalam

Aturan yang diterapkan dalam tradisi Baduy Dalam dan Baduy Luar memang punya perbedaan. Baduy Dalam memang masih memegang transisi leluhur dengan ketat. Ada kepercayaan ‘bala’ yang akan menimpa seseorang pelanggar. Kepercayaan ini menjadi sugesti bagi orang Baduy untuk tetap patuh terhadap semua aturan yang berlaku.

Hanya saja, saya melihat ada beberapa anomali tradisi. Saya tak bermaksud mengomentari namun hanya menuliskan fakta yang saya lihat dan dengar dari teman teman Baduy yang saya temui dalam perjalanan dan kunjungan ke Kampung Cibeo.

  • Melarang sabun, pasta gigi, shampo karena bisa mengganggu lingkungan namun tidak melarang rokok. Padahal asap rokok jelas mengganggu lingkungan dan kesehatan. Maka saya menemui orang Baduy Dalam sedang asyik merokok. Oh, ya bila sedang berada di luar wilayah Baduy Dalam seperti di Ciboleger. Orang Baduy Dalam ternyata juga mandi dengan sabun dan mencuci dengan deterjen lho.
  • Tak Melarang Makanan Modern. Orang Baduy makan apa saja, saya melihat langsung bagaimana anak-anak Baduy sangat menggemari chiki, makan mie instant, makanan kemasan, makanan kaleng. Bahkan ketika sedang dalam perjalanan ke kota, orang Baduy juga biasa makan makanan cepat saji modern.
  • Nonton TV dan Menikmati Bioskop di Kota. Fakta ini saya dapatkan, ternyata anak muda Baduy Dalam juga haus akan hiburan. Kalau ingin nonton TV mereka akan pergi ke Ciboleger. Dan bila akan menonton film, biasanya mereka dapatkan di Jakarta, Depok atau Bekasi. Seperti yang disampaikan langsung seorang pemuda Baduy kepada saya bahwa mereka pernah masuk dan nonton bioskop (biasanya ada teman Jakarta yang men-traktir). Mereka bahkan hafal nama-nama mal yang ada di Jabotabek. Keren...

Sebuah fakta yang juga saya dapatkan setiap tahun selalu saja ada anak muda Baduy Dalam yang meminta keluar menjadi Baduy Luar yang lebih longgar aturannya. Tahun 2016 ini ada 17 orang Baduy Dalam yang meminta keluar. saya, tak bisa menyimpulkan apakah perjalanan ke luar kota (Jabodetabek) punya pengaruh terhadap pola pikir anak anak Baduy Dalam.

Perkampungan Baduy Luar terlihat sepi /NovalyRushan
Perkampungan Baduy Luar terlihat sepi /NovalyRushan
Kecantol Cinta, Membuat Gadis Baduy Terlempar dari Peradaban Leluhur

Sebuah fakta menarik yang saya dapatkan. Melihat langsung, bahwa banyak gadis gadis Baduy memiliki kecantikan yang cukup menarik. Dengan postur seimbang dan kulit putih bersih. Tak ayal, banyak orang luar (non-Baduy) menyukai gadis Baduy. Juga, sebaliknya Pemuda Baduy yang tampan sering jadi incaran orang luar yang berkunjung ke Baduy. Tapi untuk lebih jelasnya, saya akan tuliskan di kanal fiksi saja.

Mengenai kecantikan gadis Baduy bukan isapan jempol. Di beberapa kampung Baduy Luar bahkan dikenal sebagai gudangnya gadis cantik yang tak kalah dengan artis ibukota (versi : seorang  supir angkot yang saya wawancarai). Memang hal ini saya lihat langsung ketika dalam perjalanan pulang. Empat orang gadis belia yang sangat menarik. Saya hanya bisa memandang saja, karena kamera tak bisa saya ambil di dalam tas.

Nah, menyunting gadis Baduy juga bukan perkara mudah. Karena begitu si gadis mau dipersunting maka jangan pernah menyia-nyiakan gadis Baduy. Karena begitu gadis itu keluar dari tradisi Baduy, ia tak akan pernah bisa kembali lagi. Orang Baduy tak akan pernah mau memasukkan kembali orang yang telah keluar dari tradisi leluhur apapun alasannya. Sebagai tambahan, orang Baduy adalah orang yang setia terhadap satu pasangan. Tak berpoligami dan hanya sekali menikah hingga maut menjemput.

Gimana?, tertarik ke Baduy. Yuk rasakan pengalaman tak terlupakan. Datanglah bersama teman teman anda.

Salam Bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun