Saya bersama rombongan melalui jalur Ciboleger. Dari Rangkasbitung dibutuhkan dua jam perjalanan untuk sampai di Ciboleger. Jalurnya menanjak dan berkelok-kelok. Siapkan kantung plastik bagi yang tak terbiasa, perut akan dikocok-kocok selama perjalanan.
Saya sampai di Ciboleger sekitar jam 12 siang. Pemandangann pertama yang saya lihat adalah adanya sebuah tugu selamat datang yang digambarkan dua orang dewasa dan dua orang anak. Suasana Ciboleger lebih nampak seperti sebuah tempat transisi bagi saya. Disinilah gerbang yang akan memisahkan modernisasi dengan dunia baduy yang ‘senyap’.
Di Ciboleger dapat ditemukan banyak tempat penjual cinderamata khas Baduy. Baik dari pakaian, kain, tas, hiasan, gantungan kunci, madu hingga replika rumah Baduy. Selain itu ada beberapa rumah makan sederhana. Karena akan melakukan perjalanan jalan kaki selama 5 jam maka saya mengisi perut dengan makanan berkalori.
Nah, sebelum memulai perjalanan, Kami semua berfoto bersama didepan Tugu Selamat Datang Ciboleger. Bergaya sebelum memulai perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan.
Tralala... perjalanan dimulai. Beberapa teman menggunakan jasa porter orang Baduy Dalam yang bergerombol di Ciboleger ternyata sedang mencari pekerjaan sebagai porter. Mereka akan menawarkan jasa dengan bahasa yang sangat halus. Tak ada paksaan. Mereka hanya mendekati para tamu yang datang. Berdiri dan memandang dengan tatapan polos.
Memang seperti itulah orang Baduy. Membuat orang akan berempati. Mereka bahkan tak menetapkan tarif untuk jasa yang mereka berikan. “Terserah saja” itu jawaban mereka ketika ditanya berapa yang harus dibayar untuk jasa porter.
Setelah semua siap, perjalanan pun dimulai. Jalan berbatu lalu berubah menjadi jalan tanah, hanya memiliki lebar tak lebih dari 1,5 meter. Perlahan tapi pasti, perjalanan semakin berat karena jalan mulai berlumpur pekat. Sepatu yang saya kenakan terpaksa harus dilepas. Bertelanjang kaki seperti orang Baduy.
Sementara orang Baduy yang menjadi ranger dan porter berjalan dengan ‘gagah’. Tak terlihat keringat dan napas tersengal sengal. Kaki telanjang mereka tak terlihat kesulitan ketika harus melalui jalanan licin berlumpur. Saya saja harus jatuh bangun karena terpeleset di jalan menurun yang licin.
Setelah berjalan dua jam, barulah saya dan teman teman melewati batas baduy luar. Di titik ini seluruh alat elektronik seperti hp harus dimatikan. Kamera DSLR yang saya bawa pun harus disimpan dan tak diperkenankan lagi mengambil gambar. Di titik ini semua modernisasi dan kecanggihan harus dilepas.
Seperti akan memasuki sebuah kawasan antah berantah, di mana zaman berbalik arah. Beruntung cuaca cukup cerah sehingga saya dan teman teman melakukan satu aksi Manequin Chalange sebagai persembahan massal. Sebuah aksi, sebelum kamera dimatikan selama berada di dalam kawasan Baduy Dalam. Aksi Manequin Chalange juga diikuti juga teman-teman Baduy.