Abad 21 memang telah menggeser banyak hal. Teknologi berkembang begitu cepat mengiringi kebutuhan manusia yang tak pernah berhenti. Ditengah derasnya teknologi tinggi yang terlahir, secara nyata telah mendorong kebutuhan yang besar akan sumber daya energi .
Teknologi yang ditemukan sejak awal abad ke-20 memang meroket cepat. Apalagi setelah internet menjadi penemuan terbesar pada abad 20 berhasil membuka sekat dunia. Konsep “borderless” memicu terciptanya warga dunia baru. Begitupun setelah teknologi transportasi menghubungkan setiap jengkal bumi. Kebutuhan akan sumber daya energi berupa minyak bumi dan gas turut melonjak naik.
Kebutuhan yang terus melonjak harus diimbangi oleh ketersedian sumber daya energi yang ada. Padahal sumber daya energi terbesar yang masih dibutuhkan masih berasal dari sumber fosil. Harus diakui sumber energi dari fosil adalah energi tak terbarukan alias energi yang akan habis.
Ladang migas yang sudah ditemukan dan sudah melakukan eksploitasi lambat laun akan habis. Ladang migas yang masih beroperasi sudah dalam kategori ladang tua. Yang kandungan migasnya sudah jauh menipis. Ladang migas yang sudah berumur tentu lebih banyak meminta cost (biaya) yang lebih besar. Karena kandungan air jauh lebih banyak sehingga ada biaya tambahan sehingga harga produksi menjadi tidak efisien.
Industri hulu migas adalah industri yang lekat dengan teknologi tinggi. Meminta investasi yang tidak kecil. Dengan tingkat kegagalan yang tinggi (dry hole). Melakukan investasi hulu migas seperti berjudi. Dengan biaya yang tidak kecil namun memilki tingkat kegagalan yang sangat tinggi.
Oleh karena faktor itulah, negara tidak akan mengambil langkah spekulatif dengan mempertaruhkan uang negara khususnya uang APBN untuk melakukan proses eksplorasi dan eksploitasi. Ditambah lagi saat ini Indonesia mengalami defisit dimana jumlah pendapatan tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Pemerintah Indonesia akan menarik Investor yang mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah Indonesia.
Industri migas Indonesia memang pernah mengalami booming pada tahun 1977 dan bertahan hingga tahun 1995, setelah itu mulai mengalami penurunan rata rata 10-12% pertahun.
Pada tahun 1977 Indonesia berhasil melakukan produksi hingga 1,6 juta BPH (barrel per hari) sedang saat ini Indonesia hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 834 BPH. Sedangkan kebutuhan minyak dalam negeri menyentuh angka 1,6 juta BPH.
Cadangan minyak bumi Indonesia (potensial) diperkirakan masih menyimpan 43,7 milyar barrel. Secara aktifitas , berdasarkan laporan tahunan yang dikeluarkan SKK Migas , jumlah berdasarkan area yang terealisasi adalah 12.016 Km2 untuk seismik 2D dan untuk seismik 3D mencapai luasan 13.723 Km2.
Wilayah kerja (WK) per Juni 2016 tercatat ada 289 WK dengan 85 WK dalam taraf Eksploitasi . Dari 83 WK eksploitasi , 67 WK produksi dan 18 WK pengembangan. Sisanya 204 WK masih dalam taraf eksplorasi. Didalam industri hulu migas, taraf eksplorasi menuju taraf eksploitasi hingga produksi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kadang bisa lebih dari 10 tahun. Namun ada juga yang hanya membutuhkan waktu selama 4 tahun saja. Dengan hanya mengandalkan 67 WK yang berusia tua, target lifting nasional tentu akan berat dicapai bila tak ada penambahan WK baru , paling tidak 18 WK pengembangan bisa cepat berproduksi.