Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana Sebenarnya Telah Ada Pada Tahun 1965

26 Juni 2016   15:27 Diperbarui: 26 Juni 2016   19:04 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
P.K Ojong (sumber : www.biografiku.com)

Siapa sangka nama Kompasiana telah ada jauh sebelum era digital berkembang saat ini. Kompasiana telah muncul pada tahun 1965, saat Harian Kompas baru saja dilahirkan. Nama Kompas sendiri adalah pemberian Presiden Soekarno ketika itu.

Adalah Petrus Kanisius Ojong, orang yang menjadi penggagas adanya Kompasiana. Saat itu Kompasiana merupakan rubrik yang ditulis langsung P.K Ojong yang merupakan salah seorang pendiri harian Kompas bersama Jakob Oetama dan beberapa tokoh lainnya.

Bila berkunjung ke Bentara Budaya Jakarta yang ada di Palmerah Barat, di sisi sebelah kiri akan ditemukan sebuah patung setengan badan dengan ukuran yang tidaklah terlalu besar. Patung P.K Ojong  ini menjadi simbol penghargaan atas kiprah pria bernama asli Auw Jong Peng Koen yang lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920 dan meninggal di Jakarta, 31 Mei 1980.

P.K Ojong  sendiri aktif di dunia jurnalistik sejak tahun 1946, memulai karier di Mingguan Star Weekly sebagai kontributor hingga merangkak naik sebagai redaktur pelaksana. Selain Star Weekly, P.K Ojong juga menjadi anggota redaksi surat kabar Keng Po.

Masa kecil P.K Ojong  termasuk berkecukupan, sang ayah (Auw Jong Paw) menjadi seorang juragan tembakau di Payakumbuh. Setelah menyelesaikan pendidikan Hollandsche Chineessche Kweekschool (HCS) atau sekolah guru setingkat SLTA di Meester Cornelis, saat ini Jatinegara. Setelah lulus pada Agustus 1940, Ojong mengajar pada di Holandsch Chineesch Broederscholl St Johannesdi kawasan Pecinan Jakarta Kota. Saat Jepang datang, hampir semua sekolah tutup. Ojong terpaksa menganggur dan banting stir menjadi seorang jurnalis.

Sambil menjadi wartawan, Ojong melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1951 -- dulu bernama Rects Hoge School (RHS).

Gemar Berorganisasi dan Terlibat dalam Diskusi Kebangsaan

P.K Ojong merupakan orang yang berdisiplin, teliti, hemat dan berhati-hati. Dengan sifatnya inilah Ojong tampil sebagai orang yang pandai mengatur segala hal dengan baik. Hal itu terlihat bagaimana ia menakhodai Star Weekly yang terus menanjak secara tiras dan pengaruhnya.

Dengan sikap penuh waspada, Star Weekly melakukan banyak perubahan. Membuka diri dan besikap lebih hati hati. Bila sebelumya Star Weekly hanya masalah membahas tentang tahun baru Imlek maka pada era pertengahan tahun 50-an sudah ada edisi khusus Idul Fitri termasuk edisi kebangkitan bangsa.

Setelah pemilu tahun 1955, pengaruh partai komunis Indonesia semakin luas dan kuat. Surat kabar Keng  Po diberangus pemerintah pada tahun 1957 dengan alasan yang tidak jelas, besar kemungkinan karena Keng Po menyuarakan anti komunis.

P.K Ojong menyadari betul posisi Star Weekly akan bisa bernasib sama. Oleh karena itu semua rubrik diatur kembali. Rubrik yang suka menyentil kebijakan pemerintah diubah, baik nama rubrik maupun isi rubrik. Namun hal itu nampaknya hanya berjalan beberapa tahun karena pada tahun 1961, Star Weekly bernasib sama dengan saudaranya Keng Po, diberedel pada tanggal 7 Oktober 1961.

Walau aktif di dunia Jurnalistik dan penerbitan, P.K Ojong aktif di beberapa organisasi sosial, baik sebagai anggota Badan Pusat Partai Katolik. Entah karena sifat teliti dan kehati-hatian, posisi bendahara menjadi posisi favorit yang seringkali dipegang Ojong.

Posisi bendahara dipegang Ojong pada pengurus pusat serikat penerbit surat kabar, bendahara pada Yayasan Indonesia yang menerbitkan Majalah kebudayaan Horison, bendahara Lingkar Seni Jakarta. Bahkan ketika Yayasan Bentara Rakyat yang merupakan pendiri Harian Kompas, Ojong juga berposisi pada jabatan bendahara.

P.K Ojong juga aktif pada kelompok study (Study Club) yang mengambil tempat di rumah Maruli Silitonga yang merupakan mantu dari tokoh kemerdekaan dan ekonom senior Margono Djoyohadikusumo (merupakan kakek dari Prabowo Subianto). Rumah yang berada di jalan Taman Matraman nomor 10 menjadi saksi diskusi yang hangat dan cerdas dari tokoh yang sudah memikirkan sebuah pemikiran yang jauh kedepan.

Kelompok study ini membahas tentang masalah modernisasi bangsa. Padahal saat itu tahun 1962, Presiden Soekarno sedang dalam posisi yang sangat kuat. Kelompok study ini diikuti oleh Soe Hok Gie, Onghokham, Peransi, Zakse, Soedjatmoko, Rosihan Anwar dan tentu saja tuan rumah Maruli Silitonga.

P.K Ojong juga aktif pada yayasan sosial Sing Ming Hui (saat ini Candra Naya). Yayasan ini didirikan oleh Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat. Yayasan ini merupakan refleksi dari ketidak puasan terhadap tokoh tokoh Tionghoa senior yang kaya raya. Yayasan Sing Ming Hui inilah yang mengagas berdirinya RS Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara. Jadi, bila melihat sejarah RS Sumber Waras peranan Yayasan Sing Ming Hui sangatlah dominan.

Pada tahun 1960, P.K Ojong berkenalan dengan Jakob Oetama. Sebagai sesama pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Keduanya lalu bersepakat mendirikan Intisari. Intisari lahir pada tanggal 17 Agustus 1963 dengan 10.000 eksemplar pada edisi perdana. Intisari memang dibangun mirip dengan Star Weekly. P.K Ojong yang memiliki pergaulan luas meminta bantuan banyak ahli untuk ikut menulis di Intisari. Nama nama seperti Prof Widjojo Nitisastro, Drs Sanjoto Sastromihardjo, Nugroho Notosusanto, Gunawan Muhamad, Arief Budiman hingga Soe Hok Gie.

Dua tahun kemudian, setelah Intisari berkembang. P.K Ojong, Jakob Oetama dan beberapa tokoh Katolik seperti I.J Kasimo, Frans Seda, F.C Palaunsuka mendirikan harian Kompas. Kelahiran Kompas disiapkan dengan matang dan cermat. Dengan bermodal uang Rp 100.000 dari Intisari , Harian Kompas mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965. Setelah selama tiga hari berlabel percobaan, Harian Kompas resmi terbit .

P.K Ojong dalam masa awal inilah mengisi rubrik Kompasiana, yang kelak setelah 43 tahun kemudian berdirilah sebuah blog keroyokan bernama Kompasiana yang awalnya hanya untuk kalangan sendiri (wartawan kompas) yang tidak mendapat space pada halaman Harian Kompas.

Kompasiana lalu bermetamorfosa menjadi media warga (online) dan terbuka untuk semua kalangan. Jadi, kompasiana telah ada jauh sebelum internet ditemukan dan dunia digital mewabah seperti saat ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun