Walau aktif di dunia Jurnalistik dan penerbitan, P.K Ojong aktif di beberapa organisasi sosial, baik sebagai anggota Badan Pusat Partai Katolik. Entah karena sifat teliti dan kehati-hatian, posisi bendahara menjadi posisi favorit yang seringkali dipegang Ojong.
Posisi bendahara dipegang Ojong pada pengurus pusat serikat penerbit surat kabar, bendahara pada Yayasan Indonesia yang menerbitkan Majalah kebudayaan Horison, bendahara Lingkar Seni Jakarta. Bahkan ketika Yayasan Bentara Rakyat yang merupakan pendiri Harian Kompas, Ojong juga berposisi pada jabatan bendahara.
P.K Ojong juga aktif pada kelompok study (Study Club) yang mengambil tempat di rumah Maruli Silitonga yang merupakan mantu dari tokoh kemerdekaan dan ekonom senior Margono Djoyohadikusumo (merupakan kakek dari Prabowo Subianto). Rumah yang berada di jalan Taman Matraman nomor 10 menjadi saksi diskusi yang hangat dan cerdas dari tokoh yang sudah memikirkan sebuah pemikiran yang jauh kedepan.
Kelompok study ini membahas tentang masalah modernisasi bangsa. Padahal saat itu tahun 1962, Presiden Soekarno sedang dalam posisi yang sangat kuat. Kelompok study ini diikuti oleh Soe Hok Gie, Onghokham, Peransi, Zakse, Soedjatmoko, Rosihan Anwar dan tentu saja tuan rumah Maruli Silitonga.
P.K Ojong juga aktif pada yayasan sosial Sing Ming Hui (saat ini Candra Naya). Yayasan ini didirikan oleh Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat. Yayasan ini merupakan refleksi dari ketidak puasan terhadap tokoh tokoh Tionghoa senior yang kaya raya. Yayasan Sing Ming Hui inilah yang mengagas berdirinya RS Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara. Jadi, bila melihat sejarah RS Sumber Waras peranan Yayasan Sing Ming Hui sangatlah dominan.
Pada tahun 1960, P.K Ojong berkenalan dengan Jakob Oetama. Sebagai sesama pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Keduanya lalu bersepakat mendirikan Intisari. Intisari lahir pada tanggal 17 Agustus 1963 dengan 10.000 eksemplar pada edisi perdana. Intisari memang dibangun mirip dengan Star Weekly. P.K Ojong yang memiliki pergaulan luas meminta bantuan banyak ahli untuk ikut menulis di Intisari. Nama nama seperti Prof Widjojo Nitisastro, Drs Sanjoto Sastromihardjo, Nugroho Notosusanto, Gunawan Muhamad, Arief Budiman hingga Soe Hok Gie.
Dua tahun kemudian, setelah Intisari berkembang. P.K Ojong, Jakob Oetama dan beberapa tokoh Katolik seperti I.J Kasimo, Frans Seda, F.C Palaunsuka mendirikan harian Kompas. Kelahiran Kompas disiapkan dengan matang dan cermat. Dengan bermodal uang Rp 100.000 dari Intisari , Harian Kompas mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965. Setelah selama tiga hari berlabel percobaan, Harian Kompas resmi terbit .
P.K Ojong dalam masa awal inilah mengisi rubrik Kompasiana, yang kelak setelah 43 tahun kemudian berdirilah sebuah blog keroyokan bernama Kompasiana yang awalnya hanya untuk kalangan sendiri (wartawan kompas) yang tidak mendapat space pada halaman Harian Kompas.
Kompasiana lalu bermetamorfosa menjadi media warga (online) dan terbuka untuk semua kalangan. Jadi, kompasiana telah ada jauh sebelum internet ditemukan dan dunia digital mewabah seperti saat ini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H