Siapa sangka nama Kompasiana telah ada jauh sebelum era digital berkembang saat ini. Kompasiana telah muncul pada tahun 1965, saat Harian Kompas baru saja dilahirkan. Nama Kompas sendiri adalah pemberian Presiden Soekarno ketika itu.
Adalah Petrus Kanisius Ojong, orang yang menjadi penggagas adanya Kompasiana. Saat itu Kompasiana merupakan rubrik yang ditulis langsung P.K Ojong yang merupakan salah seorang pendiri harian Kompas bersama Jakob Oetama dan beberapa tokoh lainnya.
Bila berkunjung ke Bentara Budaya Jakarta yang ada di Palmerah Barat, di sisi sebelah kiri akan ditemukan sebuah patung setengan badan dengan ukuran yang tidaklah terlalu besar. Patung P.K Ojong  ini menjadi simbol penghargaan atas kiprah pria bernama asli Auw Jong Peng Koen yang lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920 dan meninggal di Jakarta, 31 Mei 1980.
P.K Ojong  sendiri aktif di dunia jurnalistik sejak tahun 1946, memulai karier di Mingguan Star Weekly sebagai kontributor hingga merangkak naik sebagai redaktur pelaksana. Selain Star Weekly, P.K Ojong juga menjadi anggota redaksi surat kabar Keng Po.
Masa kecil P.K Ojong  termasuk berkecukupan, sang ayah (Auw Jong Paw) menjadi seorang juragan tembakau di Payakumbuh. Setelah menyelesaikan pendidikan Hollandsche Chineessche Kweekschool (HCS) atau sekolah guru setingkat SLTA di Meester Cornelis, saat ini Jatinegara. Setelah lulus pada Agustus 1940, Ojong mengajar pada di Holandsch Chineesch Broederscholl St Johannesdi kawasan Pecinan Jakarta Kota. Saat Jepang datang, hampir semua sekolah tutup. Ojong terpaksa menganggur dan banting stir menjadi seorang jurnalis.
Sambil menjadi wartawan, Ojong melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1951 -- dulu bernama Rects Hoge School (RHS).
Gemar Berorganisasi dan Terlibat dalam Diskusi Kebangsaan
P.K Ojong merupakan orang yang berdisiplin, teliti, hemat dan berhati-hati. Dengan sifatnya inilah Ojong tampil sebagai orang yang pandai mengatur segala hal dengan baik. Hal itu terlihat bagaimana ia menakhodai Star Weekly yang terus menanjak secara tiras dan pengaruhnya.
Dengan sikap penuh waspada, Star Weekly melakukan banyak perubahan. Membuka diri dan besikap lebih hati hati. Bila sebelumya Star Weekly hanya masalah membahas tentang tahun baru Imlek maka pada era pertengahan tahun 50-an sudah ada edisi khusus Idul Fitri termasuk edisi kebangkitan bangsa.
Setelah pemilu tahun 1955, pengaruh partai komunis Indonesia semakin luas dan kuat. Surat kabar Keng  Po diberangus pemerintah pada tahun 1957 dengan alasan yang tidak jelas, besar kemungkinan karena Keng Po menyuarakan anti komunis.
P.K Ojong menyadari betul posisi Star Weekly akan bisa bernasib sama. Oleh karena itu semua rubrik diatur kembali. Rubrik yang suka menyentil kebijakan pemerintah diubah, baik nama rubrik maupun isi rubrik. Namun hal itu nampaknya hanya berjalan beberapa tahun karena pada tahun 1961, Star Weekly bernasib sama dengan saudaranya Keng Po, diberedel pada tanggal 7 Oktober 1961.