Saya masih ingat perkataan seorang lelaki setengah baya yang ikut antri dalam pendaftaran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)  di kantor BPJS Tangerang. Lelaki sederhana ini mendaftarkan empat anggota keluarganya  persis duduk  disamping saya.
Maka, sambil melupakan sejenak antrian yang panjang, ketika itu Program JKN melalui BPJS Kesehatan baru saja dimulai. Baru enam  bulan program JKN diluncurkan. Antrian mbludak luar biasa. Maklum saja pada bulan Juni  2014 semua pendaftaraan JKN seluruh Tangerang Raya masih berpusat dikantor Askes Tangerang yang berada di Cikokol. Untuk mendapatkan nomor antrian dibatasi cuma 350 nomor per hari. Jadi kalau telat sedikit saja nomor antrian tak akan didapat. Itu cerita awal JKN beroperasi, kalau sekarang kantor pendaftaraan dan pelayanan sudah terbagi di beberapa tempat
Lelaki ini ternyata hanyalah seorang pedagang buah keliling, bukan karyawan atau pegawai yang mendapat gaji bulanan. Namun lelaki ini mau menyisihkan uangnya untuk ikut program JKN. Awalnya saya mengira ada salah satu keluarganya  sedang dalam keadaan sakit, tapi dugaan saya meleset (saat itu ditahun 2014, banyak orang yang ikut BPJS Kesehatan karena sedang dalam keadaan sakit atau sedang  dirawat di Rumah Sakit).
Tak ada anggota keluarga yang sakit, semuanya sehat. Lelaki itu membuat saya terhenyak, niatnya ikut JKN untuk bersedekah saja, untuk menolong keluarga orang lain yang sedang sakit. Luar biasa sekali niat lelaki setengah baya ini. Saya sendiri ikut program JKN untuk berjaga jaga bila ada anggota keluarga saya sakit. Saat itu saya baru saja keluar dari pekerjaan di sebuah perusahaan swasta . Otomatis saya tak memiliki asuransi kesehatan yang dulunya selalu di cover perusahaan tempat saya bekerja. Jadi niat saya kalah mulia dengan niat lelaki setengah baya ini. Saya jadi merenung sejenak dan membenarkan niat lelaki ini. Kalau begitu saya juga harus merubah niat.
Pertemuan dengan lelaki setengah baya ini membuat niat saya semakin kuat. Kalau awalnya, ada hitungan untung-rugi bila terus bayar premi tiap bulan padahal kartu BPJS Kesehatan tak terpakai. Â Kemana tuh uang preminya ? Ini yang untung pasti BPJS Kesehatan pikir saya . Dapat uang terus setiap bulan dari rakyat Indonesia.
Pikiran curiga dan negatif saya mulai terhapus begitu melihat semangat lelaki setengah baya yang sederhana ini. Konsep sedekah ?  Ya, uang yang kita keluarkan dipakai orang lain yang membutuhkan. “Coba, memang biaya rumah sakit murah ? Kan mahal , nah kalau orang yang sakit bisa berobat dengan kartu  BPJS  itu sumbernya dari uang urunan kita kita yang sehat ini “ Lelaki itu menerangkan dengan sederhana sekali.  Urunan ?  kata yang sepadan dengan kata patunganatau saling mengumpulkan sejumlah uang/barang untuk digunakan bersama. Cocok dengan pola gotong royong.  Saya jadi teringat biaya rumah sakit ayah saya yang hampir seratus persen di cover BPJS Kesehatan. Kok saya jadi mikir untung rugi segala. Duh, picik sekali pikiran saya ketika itu.
Namanya Eko Rudy (nama sebenarnya) . Seorang sahabat yang tinggal bertetangga desa. Eko (panggilannya) memiliki seorang istri dan dua orang anak. Saya mengenalnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab . Selain seorang pekerja keras yang  tangguh.
Eko bekerja pada sebuah perusahaan industri logam ringan. Pekerjaannya mengelas besi besi untuk dijadikan produk aplikasi yang akan dipasarkan. Pekerjaan yang tidak ringan dan penuh resiko.
Sebagai pekerja, Eko mendapatkan fasilitas asuransi kesehatan melalui program BPJS Kesehatan. Setiap bulan uang gajinya dipotong perusahaan untuk membayar premi .
Cerita duka sahabat saya ini dimulai ketika sang istri terkena penyakit diabetes melitus. Penyakit sang istri ini terus memburuk, selain diabetes sang istri juga terkena komplikasi lanjutan.
Beberapa kali dilarikan kerumah sakit karena penyakit Diabetesnya terus menyerang organ vital lainnya. Â Hingga terjadi gagal ginjal. Sehingga fungsi ginjal yang menyaring darah didalam tubuh tak lagi bisa bekerja. Artinya, aliran darah tak lagi bisa dibersihkan organ ginjal.
Sang istripun diwajibkan untuk cuci darah setiap satu pekan sekali dirumah sakit yang ditunjuk. Biayanya ketika itu menurut cerita Eko , mencapai angka Rp 1,2 Juta sekali cuci darah. Berarti bila sebulan,  Rp 1,2 Juta dikali empat maka uang yang harus dikeluarkan mencapai angka Rp 4,8 juta. Sebuah angka yang sangat besar mengingat uang gaji yang diterima  Eko hanya sekitar Rp 3,8 juta. Jadi ada minus Rp 1 Juta.
Kalau dihitung , tentu biaya kesehatan sang istri sangatlah besar. Beruntung program BPJS Kesehatan meng-cover biaya cuci darah sang istri. Eko tak harus mengeluarkan biaya sebesar itu. Eko masih bisa mengobati sang istri sekaligus masih bisa membiayai sekolah dua anaknya.
Tentu, biaya yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan berasal dari premi yang dibayarkan peserta lainnya. Jadi uang hasil gotong royong itulah yang bisa membantu orang orang yang sakit parah dan membutuhkan biaya besar. Kita yang ikut dalam program JKN telah membantu  istri Eko . Dan juga orang orang lain yang juga membutuhkan biaya kesehatan yang mahal dan kadang tak mungkin terbayar oleh sikeluarga pasien.
Bisa dibayangkan pula, bila Eko tak ikut program BPJS. Atau perusahaannya mangkir tak mengikut sertakan karyawannya pada program BPJS Kesehatan.  Perusahaan swasta tentu ikut pula membayar sebagian premi BPJS  karyawan yang dimilikinya. Persentasenya  biaya yang dikenakan 5% (lima persen) dari gaji atau upah yang diterima. 4% (empat persen) dibayar pihak pemberi kerja sedang sisanya 1% dibayar pekerja.
Dengan begitu, pihak pemberi kerja juga sudah ikut bergotong royong. Keuntungannya, si pemberi kerja ( Perusahan Swasta, BUMN, BUMD) sudah ikut membantu meringankan biaya kesehatan para pekerja dan keluarganya.
Jujur saja, saya agak gemetar menuliskan kisah ini. Sebuah kisah yang saya alami sendiri. Mendampingi ayah hingga wafat pada 7 April 2014. Dua hari menjelang hari pencoblosan pemilu nasional seingat saya.
Ayah saya telah ditinggal wafat ibu saya . Hidup sendirian memang beban berat untuk ayah. Kesehatannya menurun terus. Komplikasi penyakitnya memang mendera hidupnya. Mulai dari penyakit jantung, hernia, pelemahan otot kaki dan tangan hingga didiagnosa terkena kanker prostat.
Saya dan adik harus bergantian mengantarnya  berobat. Bolak balik masuk rumah sakit. Ayah saya adalah pensiunan guru SD di DKI Jakarta. Seorang PNS golongan IV.
Tentu saya agak ringan dalam biaya kesehatan ayah. Kartu Askesnya memang telah berubah menjadi kartu BPJS Kesehatan.
Beruntung ayah saya termasuk  orang yang mau berobat ke rumah sakit. Semangat hidupnya masih tinggi walau sakit terus saja mendera. Ujian ini memang menjadi hal terberat dalam hidup saya ketika itu, disamping harus tetap bekerja mencari penghidupan .saya juga harus mengantar ayah berobat ke rumah sakit. Seluruh jatah cuti tahunan saya habis di rumah sakit . Kadang saya juga harus izin perusahaan agar saya bisa mengantar ayah ke rumah sakit. Kondite saya terlihat jelek bila meihat absen saya merah setiap akhir tahun. Tapi mau apa lagi , saya tak punya pilihan.
Dua adik saya juga bekerja. Satu bekerja sebagai guru SD swasta dan satu di perusahaan swasta. Saya tak tega bila harus membuat karir pekerjaan adik adik saya juga ikut terganggu. Biar saya saja yang mengalami .
Ketika  ayah didiagnosa terkena kanker prostat, saya bersiap untuk banyak mengambil cuti tahunan. Pemeriksaan keganasan kanker dilakukan di RSCM. Saya putuskan juga untuk mengobati kanker di RSCM. Selain memiliki alat dan dokter paling lengkap , RSCM juga menerima BPJS Kesehatan.
Saat itu RSCM menjadi rujukan semua rumah sakit di Indonesia. Jadi harus bersabar karena antrian cukup panjang dan juga melelahkan. Penyakit kanker prostat yang diderita ayah harus diobati dengan dua cara, satu dengan operasi pengangkatan atau penembakan sinar radiasi . Berhubung kondisi ayah saya tak lagi kuat , dengan perhitungan resiko penyakit  jantung yang dimiliki. Akhirnya diputuskan untuk melakukan penyinaran radiasi  penghancur sel kanker selama 40 kali (satu paket).  Dan itu dilakukan setiap hari tanpa boleh ada jeda.
Biaya setiap penyinaran mencapai angka yang tidak sedikit , satu paket biaya penyinaran mencapai angka lebih dari Rp 30 juta. Belum lagi harus cek darah lengkap empat sampai lima kali untuk melihat pengaruh radiasi yang mengenai tubuh.
Beruntung, semua biaya di cover. Hanya ada beberapa biaya yang harus saya bayar namun jumlahnya masih bisa saya penuhi. Biasanya ada beberapa obat yang tidak masuk jaminan.
Pengobatan yang menguras tenaga dan waktu itu berhasil ayah saya lalui. Melalui pemeriksaan akhir kanker prostat ayah saya dinyatakan dokter bisa dilumpuhkan. Â Ayah saya diperkenankan tidak mengikuti program penyinaran lagi.
Saya tentu bersyukur, selain bisa sembuh . Saya tak memiliki masalah keuangan dengan rumah sakit. Karena BPJS Kesehatan sudah membayari seluruh biaya yang ada. Dan itu tentu , adalah uang dari seluruh peserta BPJS Kesehatan diseluruh Indonesia. Hitungan kasar saya, untuk mengobati seluruh biaya kanker prostat dan penunjangnya bisa menghabiskan biaya Rp 50 juta. Itulah buah dari semangat gotong royong seluruh peserta BPJS kesehatan.
Tapi tentu kehendak Tuhan berkata lain, penyakit ayah saya yang lain nampaknya semakin kronis. Karena ketika berobat Kanker Prostat praktis penyakit yang lain dikesampingkan dulu pengobatannya. Ayah saya akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah  tiga hari pulang dari sebuah rumah sakit swasta di Tangerang setelah operasi Hernia. Semangatnya untuk berobat akhirnya terhenti. Tentu Tuhan punya rencana lain yang saya tak ketahui. Saya berdoa, agar ayah saya diterima seluruh amal ibadahnya dan dimaafkan segala dosa dan kesalahannya. Amin.
Dari seluruh perjalanan hidup  yang pernah saya alami dan dari cerita para sahabat yang saya dengar sendiri . Sehat adalah hal terpenting dalam hidup. Kesehatan jauh lebih mahal daripada harta kekayaan yang kita miliki.
Hidup ditengah masyarakat yang belum sepenuhnya paham tentang hidup sehat. Ditengah masyarakat yang masih menyepelekan nilai kesehatan diri sendiri dan orang lain.
Ditengah lingkungan yang belum awarebagaimana mengelola uang untuk kehidupan masadepan .  Menyisihkan uang premi untuk kesehatan . Masih ada anggapan miring tentang  BPJS Kesehatan. Bahkan ada sebagian orang yang masih menganggap memiliki asuransi kesehatan sama saja sedang menyiapkan sakit di masadepan.  Sakit kok di siap-siapkan ? begitu kira kira anggapan segelintir orang yang belum paham.
Padahal siapa yang bisa menjamin kita akan hidup sehat terus ? Siapa yang bisa menjamin kita tak terserang penyakit tertentu ? Atau ada orang yang kebal terhadap virus, parasit, wabah atau polusi dan radikal bebas ? Rasanya tidak ada.
Setiap orang punya potensi untuk hidup sehat juga punya potensi untuk jatuh sakit. Sakalipun sudah menjalani hidup super sehat. Yang namanya penyakit bisa generatif , bisa non generatif. Â Bisa kecelakaan yang membuat penyakit .
Masyarakat sehat memang dambaan. Sambil menunggu masyarakat sehat terwujud. Maka setiap orang wajib berperan serta secara aktif. Setiap komponen bangsa, setiap elemen , institusi hingga setiap kelompok masyarakat harus bergotong royong. Mengarahkan semua kekuatan yang dimiliki untuk berperan dalam usaha bersama menuju Indonesia sehat.
BPJS Kesehatan adalah bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) . BPJS Kesehatan adalah institusi yang dipercaya untuk melakukan program jaminan kesehatan  (UU No.24 Tahun 2011, Pasal 9 Ayat 1) dengan cara mengumpulkan dana premi dari seluruh elemen masyarakat dan institusi  lalu melakukan pengelolaan baik adminstratif ,edukasi, menjalin kerjasama dengan kelompok masyarakat lainnya hingga membuat program jaminan kesehatan berjalan dengan baik sesuai prosedur dan amanat UU.
Kerja BPJS Kesehatan tidaklah ringan, selain mencakup kerja nasional yang ruang lingkupnya begitu luas. Mungkin asuransi kesehatan terbesar didunia saat ini dipegang  BPJS Kesehatan Indonesia. Saat ini data yang diupdate per 20 Mei 2016 ada 166.686.819 peserta BPJS Kesehatan. Dan angka itu terus bergerak dinamis setiap waktu.
Selain itu BPJS Kesehatan juga harus memberikan pembayaran manfaat kepada 9.812 Puskesmas, 3.423 Klinik pratama, 106 Klinik Utama, 713 Klinik TNI, 569 Klinik Polri, 4.437 Dokter praktek , 1140 dokter gigi, 1.762 Rumah sakit, 1.868 Apotek , 925 Optik. Sebuah jumlah yang tidak sedikit.
Keberhasilan BPJS kesehatan tentu juga harus dikerjakan oleh seluruh elemen yang ada.  Mustahil rasanya bila kerja JKN berhasil dengan tuntas tanpa dukungan semua stake holder. Dan inilah sebuah kerja gotong royong  yang sesugguhnya. Maka peran dari :
Pemerintah Pusat , Sebagai pemegang otoritas pengendali secara nasional, pemerintah pusat memiliki kewenagan  untuk :
- menerbitkan UU (bersama pihak legislatif)  Perpu, Perpres, Permen  yang membuat program JKN bisa berjalan sesuai prosedur yang telah ditetapkan UU SJSN . Pemerintah pusatlah yang menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang merupakan bagian dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN (per 20/5/2016 berjumlah 91.625.083 orang yang menerima KIS)
- Pemerintah pusat juga bisa menganggarkan membuat rumah sakit baru atau melakukan penambahan fasilitas kamar dan perlengkapan penunjang  untuk mengatasi overload kunjungan peserta BPJS kesehatan yang semakin sadar akan kesehatan.
- Pemerintah pusat juga bisa menganggarkan tenaga kesehatan yang cukup tersedia disetiap daerah diluar pulau Jawa terutama diwilayah terpencil. Jumlah dokter spesialis saat ini masih minim, sehingga proporsional pelayanan  tidak seimbang. Saya melihat sendiri, dokter spesialis jantung sangatlah sedikit. Padahal peserta yang mengidap penyakit jantung cukup tinggi.Â
- Menyediakan perusahaan farmasi yang dapat memasok obat obatan generik yang terjangkau dengan pola pembayaran BPJS Kesehatan.
- Pemerintah Daerah, sebagai konsekwensi desentralisasi dimana pemerintah daerah bisa berperan, antara lain  :
- Pemerintah Provinsi dan  pemerintah kota/kabupaten memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan pembayaran dana jaminan kesehatan kepada masyarakat yang berhak dan membutuhkan. Ada  Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) , maka PBI ini biayai oleh APBD daerah bersangkutan (saat ini ada 13.518.438 orang yang menerima manfaat PBI APBD- update data per 20/2/2016) .  Â
- Pemerintah daerah juga bisa bergotong royong dengan membangun fasilitas kesehatan seperti Puskemas utama, Puskemas pembantu, Puskesmas Bergerak, Rumah sakit daerah termasuk menyediakan tenaga kesehatan dan alat penunjang medik lainnya.
- DPR Pusat dan DPR Daerah. Memiliki  peran legislatif yang ikut menentukan Undang Undang dan mensahkan anggaran yang diajukan pihak eksekutif , termasuk menentukan angka premi yang pantas sehingga pelayanan BPJS Kesehatan bisa maksimal dan tidak terjadi minus antara biaya premi yang diterima dan biaya manfaat yang harus dibayarkan.
- Â Pihak Swasta, BUMN, BUMD , Peran serta dalam upaya gotong royong bisa dilakukan pihak swasta dalam berbagai bentuk antara lain :
- Ikut mendaftarkan diri sebagai perusahaan yang ikut program BPJS Kesehatan. Sehingga seluruh karyawannya bisa menjadi peserta .
- Untuk perusahaan swasta/BUMN Â bonafid dan memiliki dana CSR yang besar, bisa ikut menyediakan fasilitas kesehatan berupa klinik pratama atau mungkin rumah sakit yang bisa digunakan untuk peserta BPJS Kesehatan. Atau memberikan bantuan iuran kepada masyarakat tidak mampu disekitar perusahaan.
- Perguruan Tinggi/Akademisi/ Peneliti, bisa memberikan sumbangan ide, konsep dan hasil penelitian  untuk terus memperbaiki sistem JKN yang masih terus disempurnakan. Melihat hal yang belum  sempurna sehingga kinerja BPJS Kesehatan semakin maju dan berkembang. Selain itu pihak Perguruan tinggi bisa aktif untuk menyelenggarakan pendidikan kedokteran yang  murah (menggunakan subsidi silang / beasiswa/ ikatan dinas sehingga tenaga dokter akan mencukupi kebutuhan peserta)  terutama dokter dokter spesialis.
- Pihak penyelenggara Asuransi Swasta, meminta setiap peserta asuransi swasta juga ikut serta dalam kepersertaan BPJS Kesehatan. Karena amanat UU, setiap warga negara harus ikut serta sebagai peserta BPJS Kesehatan. Saat ini sedang disempurnakan sistem Cost On Benefit (COB) antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan. Â Sehingga orang orang kaya juga ikut berpartisipasi dalam program JKN , bukan hanya membeli asuransi swasta tapi juga ikut bergotong royong.
- Masyarakat Seluruh Indonesia, Hal inilah yang paling penting karena masyarakatlah yang akan menjadi peserta aktif sekaligus sebagai penerima manfaat. Â Dengan membayar premi secara teratur setiap bulan dan memahami peraturan yang berlaku. Maka akan lahir masyarakat yang dengan sukarela membayar premi sebagai upaya gotong royong untuk peserta lainnya.
Program JKN yang diamanatkan Undang undang sebenarnya sudah mulai dicetuskan sejak Indonesia merdeka. Saat itu Prof G.W Siwabessy yang menjabat sebagai menteri kesehatan sudah memikirkan untuk membuat jaminan  kesehatan semesta (healt insurance).
Maka, lahirnya UU tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) pada tahun 2011 membuka jalan untuk menyiapkan langkah langkah jaminan kesehatan semesta. Maka sejak tahun 2012  dimulailah  menyingkronkan data kepersertaan JPK Jamsostek, Jamkesmas , Askes PNS/sosial, termasuk peserta Jamkesda dan PJKMU. Dan Pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan resmi beroperasi dan mulai  melakukan perluasan kepersertaan bagi pekerja bukan penerima upah dan masyarakat umum lainnya.
Harus diakui apa yang sedang berjalan saat ini masih belum sempurna. Berbagai masalah dilapangan masih banyak yang harus dibenahi. Penyempurnaan masih terus berjalan. Tingkat kepuasan pelayanan masih harus terus ditingkatkan, jumlah peserta yang belum seratus persen yang ditargetkan akan rampung 100% pada tahun 2019.
Saat ini , jumlah peserta yang telah mencapai angka 166 juta lebih. Bila berpatokan pada tahun 2015 dimana angka pemanfaatan di Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang telah menyentuh angka 100,6 juta peserta , untuk peserta Yang menggunakan poliklinik rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan tingkat kedua yang mencapai angka 39,8 juta peserta. Dan ada 6.3 juta peserta yang melakukan rawat inap. Bila ditotal ada 146,7 juta peserta yang mengambil manfaat kesehatan. Padahal saat itu tahun 2015 jumlah peserta mencapai angka 156,79 juta orang.
Artinya, angka pemanfaatan kesehatan  sangatlah tinggi. Bila diambil sisi positif, kesempatan untuk berobat peserta BPJS Kesehatan terbuka lebar. Tingkat pemanfaatan ini membuktikan BPJS Kesehatan dipercaya masyarakat Indonesia sebagai upaya hidup lebih sehat.
Namun , angka yang tinggi ini pula yang membuat terjadnya i antrian yang luar biasa. Faskes satu kebanjiran pasien, Faskes dua overload, Rumah sakit selalu penuh bahkan bila sedang terjadi musim penyakit tertentu (misal : DBD) maka rumah sakit stagnan. Bahkan beberapa rumah sakit harus menolak pasien karena jumlah kamar terbatas.
Rasio jumlah peserta dengan tingkat daya tampung fasilitas kesehatan belum seimbang. Banyak dari sisi jumlah fisik (kamar, laboratorim, fasilitas penunjang medik) maupun dari  sisi jumlah tenaga kesehatan seperti dokter spesialis . Rasio yang tidak seimbang ini tentu  merembet pada kepuasan layanan. Komplain peserta sering kali terjadi.
Sistem pelayanan yang harus berurut dari faskes satu (kecuali keadaan gawat darurat) Â lalu lanjut ke faskes dua kadang membuat peserta kesulitan. Bayangkan bila peserta tinggal diwilayah terpencil dengan infrastruktur yang sulit , menuju faskes satu saja sudah perjuangan yang luar biasa belum lagi harus kembali ke faskes dua yang jaraknya lebih jauh lagi. Memang perlu pembenahan. Perlu edukasi agar peserta mengerti cara menggunakan layanan kesehatan.
Masalah masalah ini akan mudah diselesaikan bila seluruh stake holder mau ikut bergotong royong mengatasinya. Ada sinergi yang solid , baik kebijakan, sistem dan pelayanan yang mumpuni. Bukan cuma pihak BPJS Kesehatan saja. Pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus juga ikut serta membantu menyelesaikan permasalahan yang ada.
Bila jumlah fasilitas kesehatan seperti  jumlah kamar, alat penunjang medis yang kurang maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah berinisiatif untuk membangun rumah sakit atau meningkatkan peran puskesmas menjadi puskesmas rawat inap yang memiliki fasilitas UGD 24 jam. Sehingga jumlah pasien di rumah sakit bisa ditangani di puskesmas saja. Sebagian hal ini memang sudah mulai dijalankan pemerintah daerah yang peduli. Â
Pihak kementrian kesehatan juga bisa memainkan peran aktif dengan memberi stimulan dengan menyiapkan tenaga dokter spesialis di wilayah wilayah luar pulau jawa. Memang sudah ada usaha kearah sana namun terasa belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Seminggu yang lalu saya bertemu dengan seorang ibu yang menderita kanker payudara. Ibu ini tinggal di kabupaten lebak. Dengan wajah pucat , ibu ini bercerita harus bolak baik naik  kereta ke Jakarta untuk melakukan pengobatan kemotrapi. Karena rumah sakit di kabupaten Lebak tak memiliki fasilitas kemotrapi . Berbekal kartu BPJS kesehatan ia harus menempuh perjalanan 3-4 jam dari rumah ke rumah sakit di Jakarta. Padahal ibu ini telah masuk pada stadium IV yang merupakan stadium akhir .
Seharusnya fasilitas rumah sakit didaerah sudah harus ditingkatkan. Beruntung ibu ini tinggal di pulau jawa. Masih ada kereta api. Bayangkan bila ini  terjadi di daerah Sulewesi ,Kalimantan atau Papua. Bisa jadi pasien kanker hanya bisa meratapi nasib karena tak ada fasilitas kesehatan yang memadai.
Inilah esensi gotong royong. Semua pihak mau membantu mengurai benang masalah. Bersama sama bekerja demi Indonesia Sehat. Apasaja yang bisa dilakukan , kerjakan. Karena revolusi mental adalah sebuah revolusi tentang sebuah perubahan. Ayo berubah, ayo bergotong royong. jangan berpangku tangan. Singsingkan lengan baju. Kerja, kerja dan kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H