Terbakarnya Lapas Banceuy menambah panjang cerita kelam tentang mismanajemen lapas di Indonesia. Perkelahian massal, perusakan hingga pembakaran lapas seperti susul-menyusul. Belum lupa dengan kasus terbakarnya Lapas Malabero di Bengkulu, sudah ada lagi lapas yang dirusak dan terbakar.
Sabtu (23/4/2016), Lapas Banceuy rusuh, para napi mengamuk dan menyerang petugas lapas. Pemicunya adalah terbunuhnya salah satu napi yang diduga bunuh diri di dalam sel isolasi karena sehari sebelumnya dituduh menerima paket narkoba. Kerusuhan itu menyebabkan kebakaran hebat yang menghanguskan hampir seluruh bangunan lapas.
Kerusuhan dan kebakaran di Lapas Banceuy langsung saja menyita perhatian publik. Bukan saja kerusuhan di lapas terjadi berulang-ulang. Patut diduga lapas menjadi sarang pengedaran narkoba memang bukan cerita baru. Selain tempat yang aman untuk fly, lapas juga dipakai untuk mengendalikan peredaran sindikat narkoba. Keterlibatan petugas lapas (sipir) juga bukan sekedar isapan jempol.
"Kerusuhan dan kebakaran lapas disinyalir buah akumulasi dari sengkarut permasalahan yang sudah ada sejak puluhan tahun. Pola relasi antara petugas lapas dan napi tidak lagi sesuai dengan posisi yang sebenarnya. Pergeseran peran keduanya membuat ada sikap saling menyalahkan dan sikap meremehkan."
Pada hari yang sama Sabtu (23/4/16) Lapas Kerobokan, Bali juga rusuh akibat keributan antarnapi dan sipir. Persoalannya pun sepele karena  salah satu napi kentut dan membuat petugas lapas tersinggung dan marah. Kejadian yang bermula ketika seorang petugas medis sedang memeriksa salah seorang napi yang sakit, seorang napi kentut dengan suara yang cukup keras sehingga menjadi bahan tertawaan.
Rupanya tindakan napi yang tertawa terbahak-bahak ini dinilai mengolok-olok pertugas medis, salah paham pun terjadi sehingga napi yang kentut ditarik keluar dan dihajar seorang petugas lapas. Tindakan inilah yang memancing napi emosi dan melakukan penyerangan terhadap petugas lapas yang  telah memukuli si napi.
Tak urung kejadian ini membuat suasana lapas kerobokan menjadi tak terkendali, beruntung petugas lainnya sigap dan berhasil meredam aksi kemarahan para napi.
Lapas Penuh Masalah dan Tak Pernah Serius Diselesaikan
Lapas sejatinya menjadi tempat membina warga binaan (napi) untuk mengubah pola pikir, pola hidup agar orang yang  terhukum bisa memulai hidup baru kelak setelah selesai menjalani masa hukumannya. Pembinaan yang terjadi malah bertolak belakang karena pada faktanya lapas malah menjadi ‘sekolah’ bagi napi untuk meningkatkan kemampuan kriminalnya kelak ketika keluar lapas.
Di dalam lapas, para napi yang punya duit berlebih bisa mendapatkan sedikit kemewahan lapas dibanding napi melarat. Bukan cerita rahasia, fakta ini telah terungkap ketika sidak dilakukan di Lapas Wanita Pondok Bambu di mana seorang Artalita bisa menyulap selnya menjadi kamar yang dipenuhi barang elektronik mewah.
Praktik ini memang dilakukan dengan kerja sama yang baik antara petugas lapas dan napi. Masih ingat kasus Gayus Tambunan yang malah bisa jalan-jalan dan nonton tenis di Bali? Catatan miring tentang petugas lapas sudah terlampau panjang, mulai dari menjadi pemasok barang haram, penghubung jaringan sindikat, penyetor uang panas hingga malah menjadi tangan kanan para bandar narkoba yang menjadi napi.
Kasus narkoba memang menjadi biang dari semakin kacaunya penanganan lapas, uang yang berlimpah merupakan racun yang membuat para petugas lapas menjadi gelap mata. Memang tak semua petugas lapas terlibat dalam hal negatif. Dalam taraf tertentu, petugas lapas memang menjadikan napi sebagai ladang uang. Napi juga membutuhkan petugas lapas dalam banyak hal.
Tembok tebal yang mengungkung napi dan kebutuhan napi yang harus dipenuhi membuat hubungan napi dan petugas lapas berubah saling memerlukan dan saling membutuhkan. Ada take and give. Keberadaan petugas lapas mau tak mau harus dimanfaatkan napi untuk memperoleh hal yang tak mungkin didapatkan. Sewa-menyewa hingga menjadi pesuruh membeli barang kebutuhan napi menjadi lahan subur bagi petugas lapas.
Perbuatan petugas lapas memang sulit diendus karena lapas adalah wilayah tertutup yang tak mudah ditembus orang biasa. Napi sendiri sangat tergantung terhadap petugas lapas. Sulit dibayangkan bila para petugas lapas tak bisa mereka mintai tolong. Bisa jadi lapas semakin angker saja. Hidup di lapas tentu sangat tidak menyenangkan, keberadaan petugas lapas di satu sisi bisa membuat lapas lebih "nyaman" ditinggali. Tentu dengan sesuatu yang khusus yang hanya bisa dipenuhi oleh peran si petugas lapas.
Peraturan di dalam lapas memang telah dibuat, disosialisasikan dan dipahami para napi dan juga keluarga para napi. Namun sayangnya, selalu saja ada celah yang bisa digunakan untuk menangguk untung, baik dari sisi petugas lapas juga sisi para napi.
Menjadi petugas lapas memang banyak celah untuk mengumpulkan uang, jumlahnya juga lumayan. Bahkan ada petugas lapas yang kaya-raya karena bermain mata dengan para napi kaya, baik bandar narkoba atau  para koruptor yang kini banyak menghuni lapas.
Mengatasi Sengkarut yang Kronis
Kerusuhan dan kebakaran lapas disinyalir buah akumulasi dari sengkarut permasalahan yang sudah ada sejak puluhan tahun. Pola relasi antara petugas lapas dan napi tidak lagi sesuai dengan posisi yang sebenarnya. Pergeseran peran keduanya membuat ada sikap saling menyalahkan dan sikap meremehkan.
Di satu pihak, napi sudah menganggap petugas lapas tak lebih dari kacung yang bisa disuruh-suruh. Seperti pembantu di rumah. Maka ketika, petugas lapas menegakkan disiplin, napi akan menyimpan kedongkolan dan puncaknya ketika petugas lapas berlaku sewenang-wenang, yang timbul adalah keberanian melawan.
Selain itu, di dalam lapas selalu saja terbentuk kekuatan ‘gang’ yang secara informal akan mempengaruhi loyalitas para napi pada sosok-sosok napi yang ditakuti dan disegani. Loyalitas ini bisa terbentuk karena hubungan ‘uang’ yang mengalir. Bahkan ada cerita para bandar narkoba dikelilingi para pengawal yang siap berkorban untuk melawan siapa pun, termasuk petugas lapas alias sipir.
Maka, bila dilihat benang merahnya, kekacauan, kerusuhan di dalam lapas terjadi karena dipicu oleh kesewenangan petugas lapas yang saat ini selalu ditanggapi dengan perlawan berani para napi.
Jadi, upaya Kementerian Hukum dan HAM untuk merotasi para petugas lapas dan para napi sudah benar. Namun, yakinlah kalau hanya itu yang dilakukan, masalah di lapas takkan pernah terurai dan bisa diselesaikan dengan baik. Karena sengkarut ini sudah mengurat hingga jauh ke dalam tubuh, bisa-bisa sengkarut ini hanya diselesaikan pada tataran kulit lalu lupa penyakit kronis tidak pernah sembuh.
Lalu tiba-tiba, kita dikagetkan lagi lapas yang kembali berulah, dan mengepulkan asap tebal. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H