[caption caption="Jumpa Blogger, Dissa sedang memberikan penjelasan tentang cafe fingertalk | Sumber : Rushan Novaly"][/caption]Laki laki ini biasa dipanggil Abeh. Usianya masih muda , perkiraan saya antara 25-30 tahun. Kulitnya gelap terbakar matahari. Maklum saja laki laki ini setiap hari bekerja mendorong gerobak air. Dengan peluh keringat ia berkeliling mencari orang yang membutuhkan air di kompleks perumahan saya.
Jangan bayangkan , komplek perumahan saya ini memiliki jalan yang rata dan beraspal. Jalan Kompleks perumahan saya berbatu batu . Kontur jalan yang akan menyiksa Abeh ketika mendorong gerobak air yang tidak ringan.
Suaranya parau tak jelas. Untuk berkomunikasi Abeh menggunakan bahasa isyarat yang telah menjadi kebiasaannya saja. Tak ada kode gerakan resmi. Yang penting Abeh mengerti. Walau sering kali terjadi salah pengertian komunikasi, Abeh tetap bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Selain mendorong air, Abeh kadang mendapat pekerjaan kasar serabutan dari beberapa warga perumahan. Kadang memotong rumput, membersihkan saluran air, mengecat rumah atau apa saja yang masih bisa dilakukan Abeh. Bayarannya juga se-ikhlas yang menyuruh, tak ada tarif.
Abeh adalah penyandang Tuli , biasa diberi istilah tuna rungu . istilah Tuna rungu ternyata tak disukai para penyandang Tuli . Dalam acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger Ketapels “ yang diadakan pada tanggal 10 April 2016 di Cafe Fingertalk di kawasan Pamulang timur, Tangerang selatan , baru saya tahu bila sebutan “Tuli” lebih disukai dari pada sebutan “Tunarungu”
Abeh adalah salah satu potret buram tentang penyandang Tuli di Indonesia . Hidupnya pas pasan . Penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari hari. Abeh telah memiliki seorang anak yang normal dari pernikahannya dengan seorang wanita yang juga penyandang tuli.
Penyandang Tuli seperti Abeh memang menjadi kaum minoritas yang terisisih. Apalagi bila terlahir dari orangtua yang berekonomi lemah dengan pendidikan rendah, penyandang tuli biasanya tak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan banyak diantara mereka tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Ironis.
Rata rata penyandang tuli harus bertahan hidup dari belas kasihan orang lain, sebagian menjadi peminta minta, sebagian bekerja kasar serabutan , sebagian malah menjadi korban kekerasan dan tindakan tidak manusiawi dari orang orang normal yang tidak bertanggung jawab.
Saya masih ingat sekali ketika saya remaja, ada seorang penyandang tuli yang selalu jadi bahan bully anak anak normal lainnya. Namanya Tiwi. Karena tidak mendapat pendidikan dan perlakukan yang semestinya Tiwi nampak seperti orang idiot. Kemana mana ia di ledek , dijahili bahkan dihina.
Saya ketika itu cukup marah dengan kelakuan teman teman saya ini. Tapi apalah daya, saya yang hanya seorang diri dan tak mampu menolong keadaan Tiwi . Setiap pulang sekolah saya melihat Tiwi duduk menyendiri dipinggir jalan. Kadang duduk dihalaman rumah orang yang biasanya suka memberi sekedar makanan.
Ibu saya biasanya memberikan pakaian kepada Tiwi, walau bukan pakaian baru tapi masih layak pakai. Kadang juga makanan atau uang. Setelah saya dewasa saya tak tahu kemana Tiwi , ia kabarnya dibawa sanak saudaranya pulang kampung.
[caption caption="Ketua Ketapels, Kang Rifki Feriandi bersama Mrs Pinky (kanan) dan Mrs Santi pengurus Inasli (kiri) | Foto : Rushan"]
Sebuah Asa Dari Pamulang
Keadaan berbeda 180 derajat saya saksikan di Cafe Fingertalk. Dari namanya saja orang akan berpikir apa makna dari fingertalk. Adalah kompasianer Gapey Sandy yang mengernalkan Deaf Cafe Fingertalk lewat reportasenya (Artikelnya baca disini) .
Cafe ini didirikan seorang wanita muda bernama Dissa Syakina Ahdanisa. Seorang wanita yang memiliki kepedulian tinggi yang tak banyak dimiliki anak muda seusianya. Dissa sendiri bukanlah penyandang tuli , keluarganya juga tak ada yang menyandang tuli . Tapi wanita yang telah menyelesaikan strata Masternya di Australia ini mau berempati dan melakukan hal mulia.
Apa yang dicari seorang Dissa, pencitraankah ? kepopulerankah ? Rasanya tidak. Kalau cuma pencitraan atau kepopuleran , Dissa adalah orang yang telah memiliki banyak kelebihan karena prestasi akademisnya. Lahir dari keluarga yng cukup baik secara ekonomi. Dissa sendiri telah memiliki karir cemerlang disebuah perusahan keuangan ternama di Singapura. Kalau cuma pencitraan , rasanya Dissa telah memperoleh semua kelimpahan materi dan karir yang bersinar. Dissa pernah bekerja menjadi relawan pada sebuah NGO internasional dan pernah ditempatkan di Jepang, India dan Republik Nikaragua sebagai pengajar bahasa Inggris.
Diawali kecintaannya belajar berbagai bahasa asing . untuk diketahui Dissa memiliki kemampuan 4 bahasa asing secara aktif (Inggris, Jepang, Arab, Spanyol) . Ketika melakukan kerja sosial di Republik Nikaragua sebagai asisten pengajar bahasa , Dissa bertemu dengan sebuah Cafe yang khusus memperkerjakan para penyandang tuli. Cafe di Nikaragua inilah yang menginspirasi Dissa . Sehingga Dissa berkeinginan untuk juga mewujudkannya di Indonesia.
Sebelum mewujudkan keinginannya, Dissa mulai belajar bahasa isyarat untuk orang tuli . Pucuk dicinta ulam pun tiba, kesempatan itu diperoleh Dissa ketika bermukim di Singapura, di negara Singa yang dibangun Raffles ini Dissa benar benar mewujudkan keinginannya belajar bahasa isyarat . Buah ketekunannya, Dissa memperoleh sertifikat bahasa isyarat dari lembaga pendidikan Singapura. Jadi selain mengusai 4 bahasa asing , Dissa juga menguasai bahasa isyarat.
[caption caption="Dissa bersama para pelayan Cafe Fingertalk yang siap melayani para pengunjung | Foto : Rushan"]
Menerapkan Ilmu dan Memberdayakan Penyandang Tuli
Begitu pulang ke Indonesia, Dissa melihat keadaan penyandang tuli tidaklah seberuntung penyandang tuli dinegara lain yang pernah dikunjunginya. Di Indonesia, penyandang tuli benar benar termarjinalkan, bekerja serabutan dengan upah yang jauh dari layak, menjadi peminta minta atau disisihkan keluarga karena menjadi aib dan malu keluarga.
Dissa yang telah mendapat persetujuan sang bunda mulai mencari link penyandang tuli di Indonesia, melalui jasa adik kelasnya yang bertugas sebagai jurnalis di Jakarta Post , Dissa dikenalkan dengan seorang penerjemah bahasa isyarat untuk penyandang tuli. Dari sinilah Dissa bertemu dan berkenalan dengan Pat Setyowati .
Membangun Cafe Fingertalk bukanlah perkara mudah. Tudingan miring dan tuduhan memanfaatkan para penyandang tuli sempat pula diarahkan kepada Dissa. Namun semua halangan dan tuduhan miring yang tidak benar itu tak lantas membuat wanita yang lahir pada 26 Februari 1990 surut kebelakang.
Adalah Pat Setyowati (66) , mantan ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) . Wanita penyandang tuli yang menjadi partner Dissa dalam mewujudkan impiannya membuka cafe yang khusus memperkerjakan para penyandang tuli. Pat adalah wanita yang punya kisah hidup menarik sebagai penyandang tuli.
Di cafe fingertalk selain menjadi cafe pada umumnya juga menjadi workshop untuk kegiatan ketrampilan menjahit, menyulam dan ketrampilan lainnya. Didalam cafe , pengunjung akan merasakan sesuatu yang lain. Selain dapat belajar bahasa isyarat , pengunjung dapat merasakan suasana pemberdayaan yang baru saja disemai . Para pekerja yang seluruhnya penyandang tuli mampu melakukan tugasnya dengan sempurna sama baiknya dengan orang normal.
Bahkan pelayanan cafe fingertalk jauh lebih ramah dan manusiawi, dimana gerakan tangan yang eksotis akan menggantikan suara verbal yang selama ini biasa kita lakukan. Dalam senyap ada semangat yang menyala. Saya dapat melihatnya ketika senyum para pelayanan cafe mengembang.
[caption caption="Dissa menunjukan hasil karya para penyandang tuli yang juga dijual | Foto : Rushan "]
Nilai Mulia Itu dimulai dari Rumah
Beruntung ketika acara berlangsung, saya duduk tepat disamping seorang pria yang ternyata adalah salah seorang guru yang pernah mengajar Dissa di SMP Al Izzhar Pondok Labu. Sang guru ini bercerita cukup banyak tentang Dissa ketika bersekolah.
Dissa memang murid yang berbakat dan cerdas. Ketika bersekolah, Dissa telah menunjukan sikap yang bertanggung jawab dan memiliki sikap empati. Namun yang menarik, sikap Dissa saat ini adalah buah dari didikan sang bunda.
Saya memang sempat berbincang dengan sang bunda yang bernama lengkap Lisma D Oktafoma. Wanita berhijab dengan wajah teduh ini memiliki puluhan Rumah Tahfizh yang tersebar dibeberapa kota di Indonesia.
Sang bundalah yang menurut saya punya peran penting dari sikap Dissa. Mendengar penuturan sang guru yang cukup banyak mengenal keluarga Dissa ini , saya memang jadi teringat peran penting seorang ibu dalam perkembangan dan kesuksesan anak. Dan saya yakin, Dissa adalah produk dari rumah yang berhasil membangun pribadi anak dengan semangat intelektual dan semangat sosial.
Dari didikan seorang ibu yang mampu memberikan contoh bagaimana berbagi adalah sebuah sikap yang harus dibiasakan dalam kehidupan keseharian. Tak berlebihan, bila cafe fingertalk adalah tempat menyemai asa dari para penyandang tuli untuk berbagi . Sebuah pemberdayaan mulia yang ditangkap para Kompasiner Tangerang Selatan Plus (KETAPELS) untuk dibagikan kepada banyak orang. Untuk satu tujuan : Biasakanlah berbagi , Karena berbagi , kita tak akan pernah rugi. Mulailah pagi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H