Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels Berdaya] Cafe Fingertalk, Menyemai Asa di Dunia Senyap Para Penyandang Tuli

17 April 2016   06:43 Diperbarui: 17 April 2016   09:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ketua Ketapels, Kang Rifki Feriandi bersama Mrs Pinky (kanan) dan Mrs Santi pengurus Inasli (kiri) | Foto : Rushan"]

[/caption]

Sebuah Asa Dari Pamulang

Keadaan berbeda 180 derajat saya saksikan di Cafe Fingertalk. Dari namanya saja orang akan berpikir apa makna dari fingertalk. Adalah kompasianer Gapey Sandy yang mengernalkan Deaf Cafe Fingertalk lewat reportasenya (Artikelnya baca disini) .

Cafe ini didirikan seorang wanita muda bernama Dissa Syakina Ahdanisa. Seorang wanita yang memiliki kepedulian tinggi yang tak banyak dimiliki anak muda seusianya. Dissa sendiri bukanlah penyandang tuli , keluarganya juga tak ada yang menyandang tuli  . Tapi wanita yang telah menyelesaikan strata Masternya di Australia  ini mau berempati dan melakukan hal mulia.

Apa yang dicari seorang Dissa, pencitraankah ?  kepopulerankah ? Rasanya tidak. Kalau cuma pencitraan atau kepopuleran , Dissa adalah orang yang telah memiliki banyak kelebihan karena prestasi akademisnya. Lahir dari keluarga yng cukup baik secara ekonomi. Dissa sendiri telah memiliki karir cemerlang disebuah perusahan keuangan ternama di Singapura. Kalau cuma pencitraan , rasanya Dissa telah memperoleh semua kelimpahan materi dan karir yang bersinar. Dissa pernah bekerja menjadi relawan pada sebuah NGO internasional dan pernah ditempatkan di Jepang, India dan Republik Nikaragua sebagai pengajar bahasa Inggris.

Diawali kecintaannya belajar berbagai bahasa asing . untuk diketahui Dissa memiliki kemampuan 4  bahasa asing  secara aktif (Inggris, Jepang, Arab, Spanyol) . Ketika melakukan kerja sosial  di Republik Nikaragua  sebagai asisten pengajar  bahasa , Dissa bertemu dengan sebuah Cafe yang khusus memperkerjakan para penyandang tuli. Cafe di Nikaragua inilah yang menginspirasi Dissa . Sehingga  Dissa  berkeinginan untuk  juga mewujudkannya di Indonesia.

Sebelum mewujudkan keinginannya, Dissa mulai belajar bahasa isyarat untuk orang tuli . Pucuk dicinta ulam pun tiba, kesempatan itu diperoleh Dissa  ketika  bermukim di Singapura, di negara Singa  yang dibangun Raffles ini Dissa benar benar mewujudkan keinginannya belajar bahasa isyarat  . Buah ketekunannya, Dissa memperoleh sertifikat bahasa isyarat dari lembaga pendidikan Singapura. Jadi selain mengusai 4 bahasa asing , Dissa juga menguasai bahasa isyarat.

[caption caption="Dissa bersama para pelayan Cafe Fingertalk yang siap melayani para pengunjung | Foto : Rushan"]

[/caption]

Menerapkan Ilmu dan Memberdayakan Penyandang Tuli

Begitu pulang ke Indonesia, Dissa melihat keadaan penyandang tuli tidaklah seberuntung  penyandang tuli dinegara lain yang pernah dikunjunginya. Di Indonesia, penyandang tuli benar benar termarjinalkan, bekerja serabutan dengan upah yang jauh dari layak, menjadi peminta minta atau disisihkan keluarga karena menjadi aib dan malu keluarga.

Dissa yang telah mendapat persetujuan sang bunda mulai mencari link penyandang tuli di Indonesia, melalui jasa adik kelasnya yang bertugas  sebagai jurnalis di Jakarta Post , Dissa dikenalkan dengan seorang penerjemah bahasa isyarat untuk penyandang tuli.  Dari sinilah Dissa bertemu dan berkenalan dengan Pat Setyowati  .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun