Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Hari Nelayan: Kisah Ayahku, Seorang Nelayan yang Pindah Profesi

6 April 2016   07:38 Diperbarui: 6 Mei 2017   14:28 3977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kapal Nelayan sedang sandar di pelabuhan | Gambar diambil pada kunjungan ke Pelabuhan Kalbut Situbondo pada Oktober 2014 | Sumber : doc pribadi"][/caption]Hari ini , 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Tak banyak pemberitaan yang membahas hari nelayan, tak ada peringatan gegap gempita, tak banyak pula yang sadar dan mau peduli dengan nasib nelayan di Republik ini.

Walau sudah menancapkan diri sebagai negara poros maritim dunia, Indonesia belum sepenuh hati mengangkat nelayan dari garis kemiskinan. Dengan dominasi nelayan tangkap yang mencapai 95 persen atau diperkirakan mencapai 2,2 juta orang .

Nelayan memang sebuah profesi yang jauh dari mentereng. Dengan kulit gelap terbakar matahari. Dan bau amis karena harus bergumul dengan ikan hasil tangkapan . Jam kerja yang tidak biasa, karena harus pergi melaut hingga berhari hari.

Profesi nelayan memang tak mentereng karena itupula tak banyak diminati oleh anak muda zaman sekarang . Profesi yang disebut sebut hanya pelarian karena tak diterima diprofesi kerja lainnya. Sungguh miris. Karena terbalik dengan sumber daya laut yang begitu melimpah .

Perairan Indonesia mencakup luas hingga 5,8 juta kilometer persegi dengan bentang garis pantai nomor kedua terpanjang setelah Kanada. Tapi apa yang terjadi ? Laut dan segenap kekayaannya digondol para pencuri ikan dari negara lain. Tak kurang dalam catatan ada 1,132 kapal asing yang menyelinap melakukan illegal fishing. Padahal pada kenyataan ada hampir 7.000 kapal asing yang main kucing kucingan dengan aparat keamanan Indonesia (sumber : Tribunnews.com).

Walau Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dibantu aparat keamanan sudah melakukan tindakan keras dengan penenggelaman kapal asing yang terbukti mencuri . namun hal itu belum sepenuhnya membuat kapal asing menjadi jera.  Aksi nakal kapal asing yang melakukan pencurian masih saja marak.

Dengan luas perairan yang begitu luas, aparat penjaga laut belum sepenuhnya bisa meng-cover perairan Indonsia. Teknologi yang dimiliki Indoensia juga kadang kalah canggih dengan kapal asing. Kapal asing masih bisa main kucing kucingan karena teknologi yang mereka miliki kadang diatas kapal penjaga laut Indonesia.

Masih ingat kasus perseteruan kapal di laut Natuna, dimana kapal Cina terbukti berada diwilayah perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) . Kapal penjaga laut Indonesia tak berhasil menangkap kapal Cina yang diduga melakukan pencurian atau kegiatan tanpa izin karena tiba tiba kapal penjaga laut China muncul menghalangi.

Kejadian ini malah bukan pertama kali terjadi, beberapa kali kapal milik Cina melakukan penangkapan ikan di wilayan laut Indonesia.  Namun selalu saja kapal Cina bisa lolos. Selain Cina, kapal asal Taiwan, Filipina, Thailand, Vietnam sering kali masuk mencuri ikan di laut Indonesia.

[caption caption="Kapal Nelayan di Teluk Jakarta yang sedang sandar | Foto : Rushan"]

[/caption]Laut  Kaya, Nelayan Miskin ?

Ironi bukan ? bila melihat apa yang terjadi dengan nelayan Indonesia. Hidup merana, terbelit hutang , rumah tidak layak dan hidup jauh dari sehat. Saya lahir dari seorang ayah yang awalnya berprofesi sebagai nelayan.

Rumah kami terletak disisi pantai. Hanya berjarak  seratus meter dari bibir pantai . Ayahku adalah lelaki laut sejak muda.  Ayah tak memiliki perahu sendiri. Perahu yang digunakan hanyalah perahu tradisional yang disebut jukung . Disisi kiri dan kanan terdapat kayu melintang sebagai penyeimbang perahu .

Ayahku melaut memang tidak sendiri, ada seorang kawannya yang selalu ikut. Mereka berdua memang bersahabat. Berangkat menjelang sore lalu kembali ke pantai setelah fajar merekah. Ayahku walau punya pengalaman melaut yang cukup namun tetap saja tak berimbas pada hasil tangkapan. Kadang hasil tangkapannya membuat uang keluarga kami cukup untuk tiga hari , namun tak jarang malah tak cukup walau hanya membeli dua kilogram beras dengan kualitas sedang.

Tak hanya keluarga kami yang hidup terbatas, hampir seluruh nelayan hidup dalam keprihatinan. Memang ada beberapa nelayan yang mampu hidup diatas rata rata, biasanya mereka memiliki beberapa perahu atau kapal. Mereka biasanya akan berubah menjadi pengepul hasil tangkapan para nelayan. Tentu mereka memiliki modal uang yang cukup.

Ayahku tak memiliki modal uang, hidup pas pasan. Menyambung hidup dengan terus melaut. Mengadu nasib ditengah laut seperti berjudi yang tak jelas akan hasil akhirnya. Ayahku akhirnya merubah hidupnya, beralih profesi dengan menjajal menjadi seorang guru sekolah dasar.

Walau saat itu juga hasil menjadi guru taklah lebih baik. Kadang kalau dihitung kalah dengan hasil seorang nelayan. Kadang, ayahku juga masih melaut di waktu waktu senggangnya. Untuk menambal uang keluarga yang sering tak cukup.

Nelayan akan benar benar merana ketika laut tak bersahabat. Ayah menyebutnya musim angin barat. Ombak tinggi seperti mengaduk aduk laut hingga tak ada nelayan yang berani melaut. Kalau sudah begitu, nelayan harus mencari profesi lain sementara waktu. Atau memperbaiki jaring yang rusak dan memperbaiki perahu .

Kehidupan kami yang tak berubah membuat ayah memberanikan diri merantau ke Jakarta. Dengan bekal ijazah guru yang dimilikinya dan koneksi seorang keluarga dekat yang lebih dulu menjadi guru di Jakarta. Ayah mendapat pekerjaan sebagai guru sekolah dasar dibilangan Tanah tinggi , Jakarta pusat.

Awalnya tenaga honorer, namun nasib baik menghampiri keluarga kami. Ayah diangkat menjadi PNS. Kamipun memberanikan diri pindah ke Jakarta. Inilah awal kami menjadi warga Jakarta. Menempati rumah kontrakan di wialayah Kemayoran  yang luasnya 3 X 7 meter.

Ayahku lalu menabung untuk membeli sebidang tanah dan membangunnya menjadi istana mungil dengan ukuran 3 X 9 meter. Kamipun melupakan laut, melupakan pantai yang menjadi sandaran perahu kami, melupakan ikan ikan yang biasa kami gantung di dapur kami .

Profesi nelayan tak lagi disandang ayahku namun kami tak akan pernah lupa pernah menjadi keluarga nelayan di pesisir barat laut Lampung. Sebuah kenangan yang tak akan kami lupakan.

[caption caption="Hasil tangkapan nelayan yang sudah masuk restoran berharga tinggi | Foto : Rushan"]

[/caption]Meradang ketika Makan Ikan laut begitu Mahal

Pada suatu kesempatan, aku mendapat undangan dari sebuah restoran seafood di bilangan BSD. Berbagai hidangan laut dapat aku saksikan dari lembar yang disediakan pelayanan restoran. Sejenak aku terbayang akan laut dan ikan yang menjadi keseharian ayahku.

Lalu , dengan wajah takjub aku saksikan harga yang tertera begitu mahal . Membayangkan hasil tangkapan ayah yang hanya dihargai tak lebih dari lima puluh ribu rupiah.

Walau aku harus realistis, ikan yang disajikan tentu punya kualitas yang baik. Dibawa dari laut yang cukup jauh. Dibekukan dengan teknik khusus untuk menjaga kesegaran dan  ke-sterilan . Tentu semuanya punya biaya tersendiri.

Aku hanya membayangkan , bila harga ikan yang mahal itu bisa membuat nelayan  sejahtera . Harga yang layak diberikan untuk para nelayan yang telah bergadang hingga larut malam untuk mendapatkan ikan segar.

Sayang, harga ikan laut yang mahal tak berkolerasi dengan uang yang diterima para nelayan di pesisir pantai. Nelayan tak juga keluar dari garis kemiskinan. Padahal negara seperti Cina malah berhasil membuat nelayan tradisional hidup sejahtera. Pemerintah Cina sangat peduli dan membantu nelayan hingga dapat memenuhi kehidupannya sehari hari.

Lalu, bagaimana dengan Republik Indonesia? Bangsa besar yang mengaku bernenek moyang seorang pelaut . Adakah bangsa yang kita cintai ini mencintai para nelayannya ?

Aku hanya kembali terkenang melihat ayah bersusah payah mengikat tali perahu lalu mengeluarkan hasil tangkapan ikan yang membuat aku tersenyum bahagia. Ayah pulang selamat, ayah pulang ke rumah dengan selamat, Itu saja yang ada dalam pikiranku saat itu. Selamat Hari Nelayan, kalian luar biasa....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun