[caption caption="Ilustrasi - pamer harta kekayaan (Shutterstock)"][/caption]Sore itu (02/03) , sepulang saya berkeliling mengunjungi para petani binaan, untuk mendinginkan badan dan bersiap untuk mandi sore secara tak sengaja saya menonton sebuah tayangan di salah satu TV swasta nasional. Dalam tayangan itu (yang menurut saya sudah keterlaluan) ditampilkan dua orang host yang sedang (=seolah-olah) menunggu seorang bintang tamu.
Seperti biasa, penonton (biasanya disebut penonton bayaran) membentuk formasi mengelilingi. Dengan guyonan yang memancing kelucuan, suasana terlihat happy. Tawa terdengar ramai dari penonton. Walau terlihat agak diatur (mungkin oleh pengarah lapangan). Tak lama, muncullah sebuah mobil MPV mewah berwarna putih (mobil yang tak dimiliki orang kaya ‘biasa’ karena harganya di atas satu miliar ). Mulailah dua host ini menerka-nerka siapa yang datang. Penonton pun diajak ikut menebak siapa bintang tamu yang datang tersebut.
Dalam adegan ini, penonton di rumah mulai diajak ikut "kepo" siapa orang yang datang mengendarai mobil mewah tersebut. Host terus memprovokasi penonton untuk menebak siapa orang tersebut, walau ada upaya untuk mengarahkan nama seorang artis yang juga host papan atas yang baru pulang liburan dari Eropa. Seorang artis laki laki yang laris jadi host.
Setelah ditunggu beberapa saat, pintu mobil terbuka. Tampak seorang artis wanita, istri seorang musisi yang saat ini menjadi anggota DPR RI. Wanita ini tidak sendiri, tetapi membawa juga sang anak yang masih berusia satu tahun. Tentu ada babysitter yang juga dibawa. Sampai adegan ini mulai terasa tayangan ini memamerkan kekayaan sang artis yang tentu punya penghasilan ratusan hingga miliaran rupiah dalam satu bulan. Belum lagi penghasilan sang suami yang kini menjadi anggota DPR RI.
Sang artis wanita membawa satu tas anak bermotif warna biru. Kembali host yang memang kepo ini mencoba menerka isi tas. Terasa sekali upaya memamerkan barang yang dimiliki si anak artis tersebut. Setelah dibuka, tas tersebut berisi perlengkapan si anak artis. Ada beberapa pasang sepatu anak. Host dengan agak lebay itu memberitahukan penonton bila harga sepasang sepatu anak si artis seharga sebuah sepeda motor baru.
Saya tersenyum kecut, entah apa yang ada dalam pikiran host tersebut. Dengan gaya yang begitu mengagung-agungkan barang milik si bintang tamu. Malah ada frasa menyebut harga barang tersebut seolah-olah, bila artis kaya dengan duit yang luar biasa banyak, tak ada masalah untuk membeli barang dengan harga selangit. Ya, itu kan hak pribadi seseorang. Tapi mengumbar harga barang mewah yang tak mungkin dimiliki orang kebanyakan adalah tindakan tidak wajar, apalagi di sebuah tayangan yang bisa ditonton siapa saja.
Adegan setelah itu berlanjut lagi, sebuah sedan mewah juga berwarna putih memasuki area acara. Suasana berubah gaduh. Semua penonton seperti keranjingan. Host-nya apalagi. Kali ini semua penonton menyebut nama seorang artis yang mereka elu-elukan. Artis ini bersama keluarga besarnya baru saja liburan mengunjungi lima negara Eropa. Tentu penonton dan host acara mengharap oleh-oleh yang dibawa sang artis.
Lagi-lagi host yang lebay ini memberikan kata kata yang tidak bijak. “Lha iyalah mobil orang kaya emang kacanya gelap,“ sambil mengintip kaca mobil. Suasana benar-benar gaduh. Penonton mungkin sudah tidak sabar lagi siapa artis di dalam mobil mewah tersebut. Host pun meminta para penonton untuk melempari si artis ketika nanti keluar dari dalam mobilnya. Tentu adegan ini sudah di-setting. Karena tak beberapa lama, penonton benar-benar melempari sang artis yang keluar dari dalam sedan mewahnya.
Lalu entah sadar atau tidak sang artis dengan entengnya bilang, “Masa gue baru pulang dari Eropa dibeginiin (dikerjai), waduh bisa kotor mobil gue nih,” dengan gestur badan yang menunjukan posisi “angkuh”.
Tayangan Kontras
Apa yang saya saksikan sangat kontras dengan apa yang baru saya dapatkan ketika mengunjungi petani di pelosok Kabupaten Tangerang. Rumah-rumah sederhana, suasana prihatin, kehidupan yang nyaris tenggelam oleh ekonomi yang melambat. Petani yang harus terbakar di tengah terik matahari dan kotor oleh lumpur tanah demi mengais rejeki untuk anak istrinya di rumah. Petani yang hanya menggarap tanah sebuah perusahaan yang kebetulan belum dipakai.
Jangan tanya penghasilannya sebulan, masih kalau jauh dengan harga sepasang sepatu anak si artis. Untuk menyambung hidup, petani ini harus menyambi sebagai tukang bangunan bila ada yang membutuhkan. Sepatu anaknya hanya sepasang, itu pun sudah mulai mengelupas. Kendaraan si petani hanya sebuah sepeda motor butut yang knalpotnya mengeluarkan asap putih tanda mesin sepeda motor mulai mengalami kerusakan. Beda sekali dengan sedan mewah berwarna putih mengkilat yang harganya ribuan kali lipat dari sepeda motor si petani.
Kehidupan bangsa ini belumlah sesejahtera bangsa maju seperti Amerika Serikat. Janganlah aksi pamer mirip artis Hollywood dibawa ke negeri ini, Budaya Red Carpet belum cocok di negara yang secara pendapatan domestik bruto masih kalah jauh dari negara negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau Brunei apalagi dengan negeri Paman Sam.
Tayangan-tayangan pamer kekayaan, jalan-jalan keluar negeri seolah-olah tak ada lagi tujuan wisata yang menarik di dalam negeri sendiri. Padahal saat ini pemerintah sedang menggenjot kunjungan 20 juta wisatawan asing. Eh, malah warga negaranya bangga bila sudah jalan-jalan ke luar negeri, ke mana sikap nasionalis? Ke mana rasa cinta Tanah Air? Omong kosong.
Para pesohor negeri ini malah berlomba-lomba pamer jalan-jalan ke luar negeri. Borong belanjaan dari produk luar negeri. Bangga bila mengenakan merek asing yang harganya selangit. Mana revolusi mental?
Padahal ketika membeli produk dalam negeri, berapa rupiah yang dapat dinikmati saudara sebangsa, berapa rupiah yang dapat menghidupkan perekonomian lokal. Dengan mengunjungi tujuan wisata dalam negeri, berapa uang yang dinikmati anak bangsa sendiri. Dengan uang itu berapa anak yang bisa melanjutkan sekolah, berapa bayi yang akan mendapatkan gizi yang layak.
Jangan menjadi bebal terhadap situasi bangsa sendiri. Masih banyak hal yang harus dibereskan di negeri ini. Belum selayaknya, memamerkan kekayaaan di depan bangsa ini. Untuk motif apa? Memberikan pencerahan? Memotivasi orang? Atau hanya sekedar lucu-lucuan yang tidak jelas?
Tayangan TV yang Membodohi
Anehnya, produser TV yang menghasilkan tayangan di media massa elektonik seperti abai terhadap kualitas konten. Tak peduli apakah tayangan punya manfaat positif bagi penonton, tak peduli apakah tayangan malah bisa membuat perilaku aneh bagi penontonnya. Baru saja KPI mempertegas aturan penayangan peran laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya . Apakah perlu juga aturan untuk mengeliminasi tayangan pamer kekayaan, tayangan glamour artis atau tayangan tidak mendidik lainnya. Bukankah akan terlalu banyak aturan? Gunakan perasaan dan hati nurani.
Media televisi adalah tayangan yang gelombangnya dimiliki secara terbatas dan berizin. Ada aturan, ada kemanfaatan. Sayang rasanya bila gelombang TV hanya berisi tayangan yang membodohi penontonnya. Hanya berisi acara ha ha hi hi yang mengejar rating semata dan slot iklan yang menguntungkan pemilik TV.
Ingat, TV bisa diakses siapa saja. Berbeda dengan internet yang harus memiliki perangkat dan membeli layanan penyedia jaringan. Kontrol tayangan pertama kali harus dari produser TV lalu pihak KPI dan selanjutnya peran aktif orang tua yang mengawasi waktu dan jenis tayangan.
Alangkah bijaknya bila para pemilik TV memiliki kepedulian, empati bagi bangsa ini. Dengan tidak menayangkan konten yang tidak bermanfaat, konten yang membuat penonton terbuai oleh hiburan semata yang akan menumpulkan rasa sosial terhadap masalah sekitarnya. Selain itu, pekerja di sekitaran media TV, seperti host, bintang tamu, koordinator penonton atau apa pun bidang tugasnya seharusnya sadar dampak TV itu kadang tersembunyi dan terakumulasi, baru meledak pada waktu yang akan datang.
Sudah saatnya TV berbenah diri, berempatilah, terutama TV yang saat ini masih saja menayangkan konten yang tidak berguna. Jangan sampai ada yang menyebut perangkat TV sebagai” kotak kebodohan” yang harus disingkirkan dari bagian rumah. Karena sudah ada orang-orang yang alergi terhadap TV.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H