Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bacalah Dulu, Baru Berkomentar

18 Februari 2016   08:53 Diperbarui: 18 Februari 2016   10:20 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber:Pribadi"][/caption]

Seringkali saya melihat sebuah “perkelahian” komentar yang begitu seru baik di status FB hingga di ruang komentar Kompasiana. Perseteruan itu kadang terlihat aneh bin ajaib karena orang yang saling berseteru ternyata berbeda arah alias berbeda maksud dari isi tulisan (tautan).

Atau ramai-ramai memberi komentar miring bin negatif terhadap satu tulisan (tautan) yang sebenarnya juga kalau disimak dari isi dan maksud tulisan tidak seperti yang dituduhkan para pengomentar.

Hal seperti ini sering kali saya baca dari beberapa komentar. Dengan enteng orang memberi komentar yang sudah kemana mana padahal isi tulisan juga tidak kemana-mana. Ya, jadi tidak nyambung. Yang kasihan si penulisnya yang dibully oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ia tulis.

Bila disimak ternyata sumber kegaduhan tersebut karena si pengomentar tidak membaca dengan teliti isi tulisan. Malah kadang tidak membaca sama sekali hanya melihat judul tulisan. Sudah begitu judulnya bombastis dengan kata kata sensitif yang memancing orang untuk berkomentar.

Kemalasan orang membaca tulisan (tautan) membuat orang asal berkomentar saja. Kalau cuma tidak nyambung masih tidak terlalu parah, yang berbahaya bila komentar sudah men-judge dan memberi kesimpulan yang sesat pikir.

Sebenarnya mudah sekali melihat sebuah komentar yang asal saja. Asal sipenulis senang, asal menumpahkan kekesalan, asal berbeda, asal jadi pusat perhatian, asal ikut kemana angin berhembus, asal terlihat kebencian dan asal asal lainnya. Ke-asalan tersebut salah satunya karena si pengomentar sebenarnya tidak membaca tulisan (tautan).

Mengenai hal ini saya punya pengalaman lucu. Didalam status FB saya sering menautkan berita tentang kemenangan saya dalam sebuah lomba blog. Maksud men-share berita kemenangan ini agar menjadi motivasi bagi orang lain. Kan berita baik sewajarnya dibagikan kepada orang lain dengan semangat ”berbagi kebahagian”.

Nah, ada seorang teman yang memberi komentar “selamat, sukses ya“. Kebetulan teman ini tetangga rumah satu kompleks. Ketika bertemu muka teman ini juga kembali memberi selamat. Saya menyambut dengan senang hati namun uniknya ia tidak tahu apa yang membuat saya diberikan kata “selamat “ oleh banyak teman di FB. Sayapun jadi tergelitik, lho memang tidak baca tautannya. Jawaban teman saya ini ia tidak membaca. Kok bisa memberi kata “selamat, sukses ya” di ruang komentar. Jawabannya ajaib, teman saya hanya ikut ikutan yang lain saja. “Yang lain kasih selamat ya saya juga kasih selamat lah”. Saya pun hanya tersenyum kecut. Bagaimana bila kebalikannya, saya sedang dihujat apakah yang lain juga ikut ikutan menghujat tanpa tahu apa kesalahan saya. Yang penting ikut yang lain saja.

[caption caption="Sumber : Shutterstock"]

[/caption]

Membaca Masih Menjadi Momok

Dugaan saya karena kegiatan membaca masih menjadi momok. Kemalasan, keengganan, ribet baca tulisan, bikin bete, bikin ngantuk, ga kenal sama nama penulis, tidak ada waktu dan bermacam alasan lainnya.

Seorang blogger, penulis atau orang yang ngaku ngaku dilingkar literasi kadang juga dijangkiti penyakit ini. Egoisme, rasa tinggi hati, meremehkan tulisan penulis lain menjadi alasan seorang yang berada dilingkar dunia literasi malas membaca tulisan orang lain.

Malah ada seorang penulis yang menolak membaca tulisan orang lain karena alasan takut tulisannya terpengaruh gaya penulis lain. Tidak asli lagi karena kena pengaruh penulis lain. Aneh dan tidak masuk akal. Nanti kalau sipenulis ini menerbitkan tulisannya dan tidak ada seorangpun mau membaca dengan alasan yang sama, takut ketularan gaya tulisannya. Jadi gimana?

Proses menulis dimulai dari proses membaca. Sederhana saja , konten menulis didapat dari membaca, melihat kejadian langsung (reportase), mendengarkan penuturan orang lain (wawancara) atau meramu bahan tulisan dengan bahan dari kejadian langsung yang ada di sekeliling.

Maka aneh bila ada orang yang mau menulis dengan baik tapi menolak untuk membaca tulisan orang lain. Malas menambah konten dari tulisan lainnya. Kaya konten harus dibedakan dengan kegiatan plagiat yang mencuri ide orang lain dengan kegiatan copy paste.

Komentar Punya Pengaruh

Berkomentar yang nampaknya sepele sejatinya punya pengaruh yang kuat bagi si penulis dan nasib tulisannya. Lewat ruang komentar seseorang bisa ikut memberikan penilaian, koreksi hingga menanggapi bila tulisannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Tulisan juga bernapas opini pribadi yang kadang punya angle yang berbeda dengan orang lain. Perbedaan cara pandang dalam sebuah masalah memungkinkan perbedaaan dalam menilai. Nah, bila sudah begini perlu kebijaksanaan perlu kedewasaan bukan otot ototan yang tidak jelas arahnya.

Di Kompasiana sendiri, kadang komentar seseorang jauh lebih seru ketimbang tulisannya sendiri. Bahasa yang digunakan juga jauh lebih ‘progresif’ dengan nada ‘ekspresif’. Sejatinya ruang komentar di dibuat agar setiap kompasianer punya kesempatan yang adil untuk menyeruakan opininya. Baik setuju maupun menentang.

Tapi sayang ada sebagian kompasianer tidak detil membaca isi tulisan. Baik yang tersirat dan tersurat. Sehingga ketidakdetilannya malah mengundang masalah tersendiri. Timbulnya tuduhan terhadap penulis tak terelakan. Bila sudah begitu yang terjadi saling bantah yang ujung ujungnya perdebatan pak kusir yang mau jalan jalan keliling kota pada hari minggu.

Ruang komentar juga kadang diisi dengan komentar yang tidak jelas juntrungannya. Sebagian diisi oleh akun ‘tuyul’ agar terlihat tulisan banyak dikomentari. Halah....ada ada aja.

Admin yang punya hak veto memang punya kewenangan menghapus komentar yang dinilai berbahaya karena melanggar SARA, berisi promosi , menghina secara keji pihak lain, bahasa yang tidak pantas karena menggunakan kata kata kotor.

Bijak Berkomentar, Cerdas Berargumentasi

Komentar adalah ruang ekspresi dan beropini. Ruang yang bebas dipakai untuk setuju atau tidak setuju. Ruang ini kadang malah sering kali diisi dengan bully yang ‘menyakitkan’ orang yang membacanya.

Ruang yang seharusnya diisi dengan argumentasi cerdas yang ciamik sehingga akan menambah cara pandang yang berbeda. Tak ada yang salah dari penulis yang beropini selagi bisa membuktikan opininya benar dan didukung fakta dan bukti yang valid.

Yang terjadi kadang opini yang asal semaunya saja. Hanya mengikuti kebencian yang sudah tertanam sebelumnya. Ketidaksukaan terhadap tokoh, institusi lembaga, partai hingga budaya tertentu. Kalau sudah begitu tak ada lagi yang positif bagi yang membacanya. Semuanya serba hitam pekat. Semuanya serba salah.

Orang yang berkomentar harusnya sadar, apa yang telah ditulis dalam ruang komentar akan terekam dengan baik . Akan diingat dengan baik . Jejaknya akan dicatat dengan baik. Seperti halnya tulisan, berkomentar juga dibutuhkan sifat bijak dan cerdas.

Jangan asal berkomentar padahal tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya ingin terlihat berbeda dan terlihat melawan mainstream. Atau sebaliknya asal ikut pendapat mainstream tanpa membaca apa yang sesungguhnya ditulis .

Sebelum Men-share tautan, Bacalah Terlebih Dahulu

Satu lagi, banyak orang sangat senang men-share tautan. Hal yang sah sah saja. Apalagi men-share tautan yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan begitu banyak kebaikan yang dapat dibaca orang lain.

Namun sayangnya banyak pula orang yang tidak membaca secara baik apa tautan yang akan dibagikan. Apakah berisi hal yang benar. Karena kadang yang dibagikan adalah berita hoax. Berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Baik karena konten isi ataupun jelang waktu alias invalid date.

Kalau sudah begitu, berita yang salah akan terus menyebar dan akan membentuk opini yang juga salah.

Maka membaca dengan teliti apa yang akan dikomentari atau akan di-share menjadi sebuah keharusan. Jangan pernah menjadi orang yang gagal paham karena malas membaca.

Semoga bermanfaat. Salam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun