Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Festival Film Pendek Indonesia Sebuah Langkah Penting Sineas Muda Indonesia Berkiprah

25 Januari 2016   18:51 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:01 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Salah satu adegan Film "Bubar Jalan" | Foto : Rushan Novaly"][/caption]

Adegan perkelahian tangan kosong itu menarik perhatian. Dengan jurus jurus khas film laga Hongkong. Sang Aktor seorang siswa SMK itu menghadapi 5 gerombolan ‘mafia’ kelas teri yang sedang menyandera salah seorang sahabatnya. Perkelahian pun terjadi dengan seru. Jurus jurus yang dimainkan mengingatkan penulis dengan aktor laga Jacky Chan .

Dari ide cerita, Film berjudul “Surya The School Gang” tidak menawarkan cerita yang ‘wah’ . Jalan ceritanya biasa saja. Namun melihat teknik pengambilan gambar, aksi laga dan editing , Film ini patut diacungi jempol.

Aksi laga yang menarik menjadi nilai lebih film yang dibuat siswa siswa SMK Muhammadiyah Temanggung ini. “Aksi laga film Surya The School Gang bahkan bisa mengalahkan aksi laga sinetron yang saat ini tayang di beberapa stasiun TV swasta “ Begitu penilaian Angga Dwi Sasongko Sutradara Film Filosopi Kopi yang menjadi salah satu juri pada ajang Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2015 yang diadakan Kompas TV.

Penulis jadi teringat aksi laga film Holliwood Brush with The Danger yang disutradarai perantauan asal Indonesia Livi Zheng dan adiknya . Film yang menampilkan aksi laga dimana pemainya benar benar mengusai ilmu beladiri . Aksi laga terlihat menarik dan genuine tidak dibuat buat dengan efek yang tak masuk akal.

Maka wajar bila film “Surya The School Gang” diganjar juara pertama kategori Pelajar pada ajang Festival Film Pendek Indonesia 2015 yang diumumkan di Galeri Indonesia Kaya , Grand Indonesia pada Jum’at (22/1) .

Juara dua diraih Film “Coblosan” yang dibuat siswa siswa SMK Kurasari Purbalingga, Jawa Tengah. Dari ide cerita dan pesan moral film “coblosan” patut mendapatkan apresiasi. Ide cerita film ini ilhami pemilihan kepala desa yang sarat dengan politik uang.

Diperankan dua orang warga desa yang ingin dipimpin oleh calon kepala desa yang bersih dan jujur. Diperankan pula seorang calo pendukung pasangan lain yang mencoba membeli suara dengan memberikan uang . Sebagian besar penduduk desa menerima uang ‘suap’ dan memberikan suara kepada calon yang telah banyak memberikan uang. Hasilnya 3 bulan setelah menjabat Kepala desanya tak pernah menunaikan janji kampanye dulu. Tak ada perubahan di desa tersebut.

Film “coblosan” berhasil memotret hal tersebut dengan gaya satir. Dengan durasi film yang hanya beberapa menit. Film “coblosan” berhasil mengungkap sisi negatif dari politik uang yang saat ini masif dilakukan pada era demokrasi ini. Sebuah pesan moral yang patut ditonton para pejabat dan politisi Indonesia.

Untuk juara ketiga kategori pelajar diraih film “ Samin” . Jujur saja penulis agak kurang mengerti jalan film ini. Walau dari pengamatan penulis Film ini berbau kisah nyata tentang keluarga yang berjasa ketika era kemerdekaan Indonesia. Secara teknis flim ini memiliki kekurangan seperti suara yang tidak jernih sehingga percakapan antar pemain menjadi kurang jelas. selain itu pemain film terasa sekali tidak tergarap dengan baik. Pemain terasa kaku dan tidak natural . Namun ide cerita film ini berhasil melawan stigma begitu yang dikatakan Angga Dwi Sasongko dalam menilai film yang dibuat oleh sanggar seni sekar tanjung ini.

Selain tiga difilm ini terdapat dua film lainnya, Film “Kotak pusaka” dan film “Ali Ali Setan”. Dua film ini walau belum beruntung merupakan film yang punya ide cerita menarik. Seperti film “Kotak pusaka” Film ini cukup ciamik dalam pengambilan gambar walau jalan ceritanya agak membingungkan penonton. Sedang film “Ali Ali Setan” yang mengisahkan cerita dua orang siswa SD yang bertengkar karena menganggap cincin batu akik sebagai cincin setan (Ali ali setan). Ketidak senangannya itu ia lampiaskan dengan membuang semua cincin batu akik termasuk cincin milik gurunya sendiri.

Gelaran Festival Film Pendek Indonesia kali ini merupakan kali kedua diselenggarakan. Dibuka sejak 1 Oktober 2015 hingga ditutup pada 18 Desember 2015. Tak kurang ada 200 film pendek yang ikut serta. Ada dua kategori. Kategori umum dan pelajar. Pada tahun 2015 tema yang diangkat ‘Indonesiaku Kebanggaanku’

[caption caption="Para pemenang Kategori Pelajar | Foto : Rushan Novaly"]

[/caption]

Kategori Umum/Mahasiswa yang Didominasi Cerita tentang Anak anak

Ada hal yang unik pada gelaran FFPI 2015 pada kategori umum. Dari lima finalis yang terpilih , tiga film dimainkan oleh anak anak. Film yang dimainkan pada kategori umum/mahasiswa memang terlihat lebih baik secara kualitas.

Adapun lima film tersebut adalah film “Ojo Syok syokan “ . Film ini benar benar pendek karena mengabil hanya satu setting dan satu scene saja. Dengan mengambil setting di dalam sebuah warung angkringan di daerah Yogyakarta. Ide ceritanya tentang keinginan seorang pemuda lokal yang ingin sekali memiliki gadget mahal yang canggih. Keinginannya itu lalu mendapat cemoohan dari sahabat disampingnya yang menyatakan tak pantas .

Dialog keduanya yang menggunakan bahasa jawa ini seringkali mengundang tawa apalagi begitu masuk pemain ketiga seorang wanita yang nampaknya baru turun dari kereta api asal Jakarta . Melihat gadget yang dimiliki si wanita terlihat mahal maka lahirlah adegan percakapan yang ‘syok’ menggunakan bahasa ala anak Jakarta yang terdengar kocak karena logatnya yang tidak pas. Pemuda itu terus saja mengoceh dengan logat anak jakarta yang dijawab dengan pandangan aneh dari siwanita. Walau sudah diperingati sahabat disebelahnya tetap saja pemuda itu bergaya dengan logat yang benar benar menjadi inti cerita.

Ending film ini ringan dan segar . Bagaimana si wanita ternyata mampu berbahasa jawa dengan baik. Akibatnya si pemuda tersebut tersipu malu karena sikapnya yang terlihat ‘syok syokan”. Film ini diganjar juara dua untuk kategori umum/mahasiswa.

Pada film kedua berjudul “Ruwat”. Film yang mengambil setting di pegunungan Dieng ini bercerita tentang kebiasaan adat lokal yang mewajibkan anak dilakukan prosesi “Ruwat” dengan salah satu syarat sang orang tua memenuhi keinginan si anak terlebih dahulu. Masalah timbul karena si anak punya permintaan yang tidak biasa : Jalan jalan ke Hongkong.

Permintaan ini berat dilaksanakan karena keadaan ekonomi sang orang tua yang hanya seorang petani . Namun melihat perkembangan dan umur si anak yang terus bertambah sang orang tua akhirnya bersedia memenuhi keinginan anaknya pergi ke Hongkong dengan satu syarat bila si anak berhasil menjadi juara pada lomba balap karung yang diadakan didesanya.

Tak disangka walau telah di’curangi’ dengan memasukkan katak didalam karung,si anak yang phobia dengan hewan amphibi ini tetap memenangi lomba balap karung. Alhasil sang orang tua harus rela menjual satu ekor sapi kesayangannya untuk ongkos berangkat ke Hongkong.

Ending film ini agak kurang tajam karena si anak akhirnya membatalkan pergi liburan ke Hongkong karena mendapatkan informasi tentang makanan swekie yang bahan bakunya katak. Sang ayah yang sedang bertransaksi menjual sapi langsung saja membatalkan transaksinya begitu si anak berlari pulang ketakutan ke dalam rumah. Walau tak menyabet juara Film “Ruwat” menampilkan setting dan teknik pengambilan gambar yang baik.

Film ketiga berjudul “Nilep”. Masih bercerita didunia anak anak. Film ini menjadikan empat orang anak untuk menjadi pemain utama. Berkisah tentang dua anak yang suka memasang lotre yang berhadiah mainan pada seorang pria penjaja mainan keliling. Ketika dua anak sedang asyik memasang lotre dua anak lainnya ternyata diam diam mengutil (nilep) sebuah mainan berupa gigi drakula.

Mengetahui dua temannya mengutil dua anak lainnya meminta dua temannya ini mengembalikan mainan hasil ‘nilep’ itu kepada sipemiliknya. Terjadilah dialog panjang nan seru antar keempat bocah ini . Dialog khas anak anak yang polos ini menjadi titik terbaik film ini. Kepolosan keempatnya memancing tawa penonton. Walau menggunakan bahasa jawa sebagai pengantar ,film ini berhasil memancing ke-gerr-an yang cukup seru.

[caption caption="Para pemenang Kategori Umum/Mahasiswa | Foto : Rushan Novaly"]

[/caption]

Dialog panjang nan seru itu berakhir dengan tidak beraninya dua anak yang mengutil dan memilih pulang kerumah karena takut di ‘gebuki’ di pemilik mainan. Ending film ini dimulai dengan datangnya seorang tukang pos ke rumah sipenjual mainan yang membawa sebuah paket yang ternyata berisi sebuah ‘gigi drakula’ dengan secarik kertas berisi permintaan maaf karena telah mengutil. Sipenjual mainan hanya tertawa geli membaca surat yang menurutnya lucu.

Film “Nilep” memiliki pesan moral yang baik tentang kejujuran tapi film ini lupa bahwa memasang lotre juga bagian awal dari memulai permainan judi. Walau ada pesan moral karena hadiah lotre berbentuk permen menyerupai rokok (udut) ditentang salah satu anak tentang ketidak sukaannya terhadap rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Dan bisa membiasakan anak terhadap benda berbentuk rokok. Film ini memang belum beruntung pada ajang FFPI 2015 tapi melihat ide cerita dan karakter pemain termasuk  dialog antar pemain yang cukup berhasil , film ini keren untuk ditonton.

Pada film keempat dengan judul “Bubar jalan” . Film ini berkisah tentang upacara siswa sebuah sekolah dasar di hari senin pagi. Sang pemimpin upacara yang sedang sakit perut ini terpaksa menunaikan tugasnya sambil menahan sakit. Banyak kejadian lucu yang terjadi pada saat upacara. Mulai kisah pengerek bendera yang salah menarik ujung kain bendera.

Kejadian yang paling seru adalah ketika sang pemimpin upacara ketiduran ketika sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera telah naik di ujung tiang dan lagu kebangsaan Indonesia Raya telah usai dinyanyikan tetapi sang pemimpin upacara tidak mengucapkan perintah “siap, gerak” . Begitu bangun dari tidurnya ia malah berteriak “Bubar jalan” alhasil upacara pagi itu menjadi kacau balau.

Ending yang sangat sempurna. Dengan mimik yang sangat natural dari para siswa siswi SD tersebut. Sementara para petugas upacara yang merasa bersalah berupaya meminta teman teman yang lain tetap dilapangan upacara. Semua pemain yang terlibat dalam film “Bubar jalan” bermain sesuai skenario dengan mimik wajah yang paling pas.

Pada film kelima dengan judul “Opor operan” . Film ini bercerita tentang kisah kebiasaan saling meng-oper makanan yang telah matang ke para tetangga dekat. Dengan setting di wilayah tatar sunda. Masakan yang menjadi oper operan adalah opor ayam.

Ide ceritanya cukup asyik dengan filosopi yang dalam. Bagaimana orang yang ternyata tidak memasak merasa punya gengsi dengan membagikan (oper) makanan yang ia dapat dari tetangga sebelumnya. Masakan opor ayam ternyata terus saja berputar dari satu pintu rumah ke pintu rumah yang lain. Walau ada juga seorang ibu yang mengabil satu ekor ayam karena ingin menikmati makanan opor ayam.

Ending film ini akhirnya kembalinya opor ayam kepada si pengirim pertama yang memang memasak masakan opor ayam. Dengan wajah sumringah dan bangga kedua ibu menyodorkan masakan opor ayam yang telah dioper oper keliling .

Filosopi film ini adalah ada orang yang tidak pernah berbuat sesuatu tetapi ingin mendapatkan nama baik dan balasan materi tertentu dari apa yang tidak pernah ia kerjakan.Film “Opor operan” diganjar juara kedua .

[caption caption="Direktur Kompas TV memberikan kata sambutan | Foto : Rushan Novaly"]

[/caption]

Menjadi Agenda Rutin Kompas TV

Festival Film Pendek Indonesia 2015 adalah salah satu upaya Kompas Gramedai Grup dalam mengembangkan sineas sineas muda Indonesia untuk berkreasi dalam membuat film pendek. Sebuah upaya menyemarakan perfilman nasional yang baru bangun dari ‘tidur panjang’nya .

Walau hanya film pendek , membangun alur cerita hingga menjadi sebuah cerita film yang memenuhi kriteria bukanlah perkara mudah. Aspek teknis yang meliputinya bukan perkara yang bisa dikerjakan sembarangan orang.

Tak hanya memiliki ide cemerlang saja. Banyak hal lain yang saling terkait. Seperti pemain , perangkat kerja seperti kamera dan perangkat pendukung lainnya hingga tim kerja yang solid.

Rata rata yang ikut serta dalam ajang FFPI 2015 adalah orang daerah yang berada diluar Jakarta. Hanya sekitar dua puluh persen yang berasal dari wilayah sekitaran Jakarta. Uniknya sepuluh finalis yang terpilih berasal dari Jawa tengah , Yogyakarta dan Jawa barat.

Maka tak aneh bila bahasa pengantar yang paling banyak dipakai adalah bahasa jawa. Penggunaan bahasa daerah memang menjadi pertanyaan tersendiri. Karena tema yang dipilih adalah : Indonesiaku, Kebanggaanku. Walau menggunakan teks penerjemah hal ini memang cukup menyulitkan orang yang sama sekali tak mengerti bahasa jawa.

Dalam acara penganugrahan pemenang , Bimo Setiawan, Direktur Kompas TV dalam kata sambutannya “walaupun Kompas TV adalah TV berbasis berita (News) namun tidak menutup kemungkinan FFPI terus dilanjutkan pada tahun tahun berikut “.

Sebagai televisi berjaringan di 118 kota dan kabupaten di Indonesia dengan slogan enlightening People . Kompas TV tetap akan menyajikan hal yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun