[caption caption="Ilustrasi | Foto: Kompas - Agus Susanto"]
[/caption]Jalur kereta Rangkasbitung – Tanah abang telah ada sejak zaman Belanda. Jalur ini menjadi jalur yang menghubungkan Jakarta menuju wilayah Banten selatan. Keberadaan jalur ini sangatlah strategis karena bukan saja menghubungkan Jakarta dengan kota Rangkasbitung tapi jalur ini juga menghubungkan pelabuhan Merak. Jalur ini terintegrasi dengan moda penyebarangan laut.
Di era tahun 70 hingga awal 80 an. PJKA (Perusahan Jasa Kereta Api) –ketika itu , juga menyediakan fasilitas kapal penyeberangan menuju pulau Sumatra. Cerita ini saya dapatkan langsung dari almarhum ayah saya. Walau akhirnya peran jalur kereta api Jakarta-Merak ini kalah pamor ketika jalan bebas hambatan Jakarta-Merak mulai beroperasi.
Saat ini walaupun masih ada kereta yang menuju Merak tapi tak lagi menjadi pilihan utama. Karena jadwal keberangkatan menuju dan ke Jakarta tidak tersedia setiap saat. Jadwal keberangkatan yang berselang cukup jauh membuat penumpang lebih memilih moda darat lainnya seperti bus.
Jalur Perjuangan
Namun tak banyak yang tahu bila jalur kereta ini menjadi jalur pertempuran yang cukup menentukan ketika zaman perang kemerdekaan. Jalur ini malah pernah menjadi jalur penghambat bagi pergerakan pasukan sekutu yang terus bergerak menuju arah Banten.
Pertempuran yang terjadi di Serpong menjadi saksi sejarah bagaimana para pejuang kemerdekaan dengan semangat berani mati itu menyerang pertahanan Sekutu yang memiliki persenjataan modern dan lengkap.
Pertempuran Serpong terjadi pasca jatuhnya Jakarta ke tangan Sekutu, pihak Nica yang membonceng pasukan sekutu mulai melakukan aksi penguasaan terhadap wilayah Tangerang . Kekuatan sekutu yang dikomandani pasukan inggris terus bergerak hingga perbatasan Serpong.
Pada tanggal 16 Mei 1946 , pasukan Inggris memberikan ultimatum kepada seluruh kekuatan militer Indonesia untuk mundur hingga 4 Km dari sungai Cisadane. Ultimatum ini diberikan melalui pamflet yang disebarkan melalui udara agar dibaca seluruh tentara dan laskar Indonesia.
Pihak pemerintah pusat ketika itu meminta agar tentara dan pejuang kemerdekaan Indonesia mengikuti ultimatum pasukan Inggris tersebut. Karena Perdana Menteri Syahril ketika itu lebih memilih jalur diplomasi ketimbang menggunakan kekuatan senjata yang tentunya sangat tidak berimbang. Selain menghindari jatuhnya korban yang terlalu banyak di pihak pejuang kemerdekaan.
Keputusan itu memang diterima dengan dua pendapat berbeda. Sebagian pejuang yang bergabung pada laskar laskar perjuangan tetap bersikukuh untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan sedang pihak Tentara Rakyat Indonesia (TRI)-kini TNI- yang terikat dengan hirarki kemiliteran tentu harus mematuhi keputusan atasan yang memutuskan untuk bergerak mundur.
Maka dilakukan rapat gabungan yang melibatkan pihak TRI, kepolisian dan wakil wakil rakyat yang dilakukan pihak pemerintahan kabupaten Tangerang yang ketika itu dipimpin Patih R. Akhyad Penna. Rapat itu memutuskan, pasukan TRI akan mundur mengikuti perintah pemerintah pusat tapi para laskar dan rakyat Banten khususnya rakyat Tangerang memilih akan melakukan perlawanan. Walaupun memilih mundur TRI tetap memberikan bantuan persenjataan, berupa beberapa granat dan beberapa bahan bahan peledak untuk membantu perlawanan rakyat.
TRI yang mundur sambil mengamankan dan melakukan evakuasi terhadap pemerintahan sipil kabupaten Tangerang. Untuk sementara pusat pemerintah kabupaten Tangerang dipindahkan ke Balaraja. TRI juga membangun pertahanan di wilayah Jatiuwung yang berada 5 Km dari sungai Cisadane.
Satu hari setelah ultimatum , pada tanggal 17 Mei 1946 tentara sekutu bergerak lebih dulu dan langsung memasuki wilayah Tangerang. Serangan ini memicu perlawanan sporadis dari rakyat yang dikomandoi para laskar pejuang. Gugur pada peristiwa ini Akhmad Dimyati, kepala laskar rakyat pasar baru. Di sektor perlawanan Cipondoh gugur H. Ali berikut 21 orang anak buahnya.
Perlawanan yang tidak seimbang ini tentu dimenangkan pihak sekutu pada tanggal 22 Mei 1946. Kantor pemerintah kabupaten
Tangerang berhasil diduduki selain itu pihak Nica menurunkan bendara merah putih dan mengibarkan bendera Belanda. Tindakan demonstrtif ini tentu mengundang kemarahan rakyat Banten secara keseluruhan.
Jatuhnya Tangerang membuat terjadinya gelombang pengungsian rakyat menuju arah pedalaman Banten. Ketakutan rakyat akan kebengisan tentara Nica yang bertindak kejam ini akhirnya menimbulkan perlawanan sengit dari laskar yang masih tersisa.
Jalur kereta antara Serpong-Parung Panjang hingga Maja menjadi jalur perlawanan. Mendengar Tangerang berhasil diduduki membuat pasukan laskar yang berada diperbatasan Tangerang-Banten melakukan penghimpunan kekuatan. Maka sepanjang jalur kereta api dari Maja hingga Serpong menjadi medan pertempuran.
Pada tanggal 23 Mei 1946, seorang ulama K.H Ibrahim asal desa Sampureun , Maja yang termasuk wilayah Kabupaten Lebak mengumumkan perlawanan . Tak kurang 400 orang bersedia ikut serta untuk menyerang pasukan sekutu yang berada di Serpong. Maka berangkatlah KH Ibrahim bersama 400 orang pengikutnya bersenjatakan golok, pedang , bambu runcing . Ketika rombongan sampai di Tenjo maka bergabung pula Abuya Tenjo yang dipimpin oleh K.H Harun bersama 300 orang pengikutnya. Rombongan ini terus bergerak melalui jalur kereta api menuju arah utara .
Pada tanggal 24 Mei, rombongan pejuang rakyat ini tiba di Parung Panjang dan beristirahat semalam untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya . Perjalanan pejuang rakyat ini menunjukan rasa patriotisme yang luar biasa dari masyarakat Banten untuk mempertahankan kemerdekaan . Kecintaan rakyat Banten ini mungkin tak tercatat dalam sejarah emas perjuangan kemerdekaan nasional Indoensia. Sepanjang perjalanan yang tidak pendek itu semakin banyak rakyat yang ikut bergabung untuk menyerang kedudukan pasukan Nica yang berada di Serpong.
Pada tanggal 25 Mei 1946 sampailah rombongan pejuang rakyat ini di wilayah Serpong. Rombongan besar ini terus bergelora untuk segera menyerang pertahan pasukan Nica. Dalam suasana penuh semangat yang luar biasa. Dua pemimpin laskar, K.H Ibrahim dan K.H Harun mengatur siasat. Dua rombongan besar ini bersiasat untuk memecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang dari arah belakang dan satu kelompok menyerang dari arah depan.
Maka disepakati esok hari tanggal 26 Mei sebagai hari H penyerangan. Untuk sementara waktu dua pasukan mengambil posisi masing masing. K.H Ibrahim beserta pengikutnya akan menyerang langsung dari arah depan melalui jalan raya Serpong. Sedang K.H Harun beserta pengikutnya menyerang dari arah belakang.
Pertempuran yang Tidak Seimbang
Pagi hari sekali, para laskar rakyat itu dengan gagah berani seraya mengumandangkan seruan Allahu Akbar terus merangsek maju. Seorang jaro asal kampung Sengkol bernama Tiking dengan gagah berani membawa panji yang tak lain bendera merah putih. Para laskar yang tak takut mati itu terus merangsek walau ratusan peluru dimuntahkan dari dalam markas. Senjata modern yang dimiliki pasukan Nica memang bukan tandingan golok, klewang, tombak dan bambu runcing. Satu per satu para laskar gugur sebagai pahlawan. Tindakan berani ini bukan saja menunjukan rasa patriotisme tapi rasa kebanggaan gugur dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dalam peristiwa ini lebih dari 189 laskar pejuang gugur termasuk, K.H Ibrohim asal Maja dan Jaro Tiking sang pembawa panji. Penyerangan ini menjadi momentum sejarah. Korban yang jatuh mungkin lebih dari 200 orang tapi semangat perjuangan ini akan selalu dikenang sebagai pengorbanan sejati dari rakyat Banten.
Usai penyerangan. Walau tidak mendapatkan kemenangan. Pertempuran ini menjadi tonggak bersejarah dengan dijadikannya Taman Makam Pahlawan Seribu yang letaknya berada di Serpong.Dimana seluruh jasad pejuang yang gugur dikuburkan sebagai pahlawan kemerdekaan.
Gagalnya penyerangan di Serpong ternyata tak membuat ciut nyali para pejuang.Perlawanan terus dilakukan. Walau akhirnya para pejuang mundur hingga Parung panjang. Front Parung Panjang menjadi medan pertempuran penting dalam menyumbat pergerakan pasukan Nica agar tidak terus maju ke arah selatan Banten.
Hampir setiap hari terjadi baku tembak yang sengit antara pasukan laskar pejuang dengan pasukan Nica. Jalur kereta api Parung panjang ke arah Rangkas Bitung dikuasai para pejuang Indonesia sedang Cisauk hingga Sepong dikuasai pasukan Nica.
Gerbong Kesehatan
Pertempuran yang terjadi di front Parungpanjang sering kali meminta korban. Entah karena tertembak pihak musuh atau kecelakaan ketika menggunakan bahan peledak seperti granat atau bahan peledak lainnya. Maklum saja pejuang kemerdekaan ketika itu tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahan peledak. Pernah ketika akan meledakkan jalur kereta api para pejuang tak memasang detonator . Alhasil bahan peledak itu tak berfungsi sama sekali dan membuat komandan pertempuran geleng geleng kepala sambil marah marah.
Bila ada korban jatuh dipihak pejuang maka korban akan segera dilarikan menggunakan sebuah lori menuju sebuah gerbong kesehatan yang berada di stasiun Tenjo. Didalam gerbong itu beberapa tenaga kesehatan akan berusaha mengobati semua korban luka akibat pertempuran. Bahkan upaya operasi juga dilakukan didalam gerbong yang telah disulap secara khusus menjadi rumah sakit bergerak. Walau peralatan medis yang dimiliki terbatas namun usaha penyelamatan korban perang tetap dilakukan . Selain korban perang di Stasiun Tenjo juga sudah dibuka sebuah klinik untuk masyarakat umum yang membutuhkan pengobatan. Tidak adanya fasilitas kesehatan membuat klinik ini menjadi tumpuan masyarakat sekitar.
Gerbong kesehatan ini berada dijalur rel paling luar. Stasiun kecil ini menjadi sangat penting dalam memberikan dukungan logistik dan kesehatan pasukan. Di halaman stasiun terdapat beberapa rumah yang difungsikan sebagai dapur umum dan ruang kesehatan. Saat ini masih dapat dilihat sisa sisa bangunan yang sudah tidak terawat lagi.
Maka ketika terjadi agresi militer Belanda pertama pada Juli 1947. Front Parungpanjang menjadi sangat penting. Sebagai komandan saat itu Mayor Sachra. Dengan kekuatan dua kompi pasukan. Kompi Toni dan Kompi Adjat Sudrajat. Tugas pasukan adalah menghambat laju pasukan Belanda. Maka taktik bumi hangus dan peledakan jalur kereta Serpong-Parungpanjang menjadi siasat pasukan. Rusaknya jalur kereta api antara serpong dan Parungpanjang membuat pasukan Belanda tidak bisa memasuki wilayah Banten selatan.
Saat itu Rangkasbitung sudah memiliki sebuah rumah sakit yang bisa dihandalkan.Korban pertempuran yang terjadi di front Jasinga bogor juga akan dilarikan ke rumah sakit di Rangkasbitung. Sebenarnya di wilayah Cigudeg sudah ada sebuah rumah sakit kecil. Namun sayang rumah sakit tersebut hancur diserang pihak Belanda.
Peran rumah sakit Rangkas bitung sangat penting selain membantu front Parungpanjang juga membantu front Jasinga, Bogor. Jadi bila pengobatan atau tindakan operasi tidak bisa dilakukan di Gerbong kesehatan Tenjo sang korban akan segera dilarikan ke rumah sakit Rangkasbitung. Begitu pula pos kesehatan yang berada di Cikande yang juga tergantung dengan rumah sakit Rangkasbitung. Selama masa perang kemerdekaan rumah sakit Rangkasbitung memiliki peran penting bagi dukungan kesehatan para pejuang kemerdekaan. Saat inipun bila ada orang Tangerang sakit keras akan teringat rumah sakit Rangkasbitung. Apalagi masyarakat yang tinggal di perbatasan Tangerang –Lebak. Entah karena nostalgia masalalu atau karena faktor lain.
Tetap Beroperasi
Walau dalam keadaan perang berkecamuk pihak Djawatan Kereta Api (DKA) –saat itu- masih mengoperasikan kereta api Rangkasbitung-Parungpanjang. Hanya saja berhubung jalur Parungpanjang-Serpong dirusak oleh pihak pejuang sebagai upaya siasat pertempuran. Maka para penumpang akan berjalankaki hingga stasiun Serpong guna melanjutkan perjalanan kereta api menuju Tanah abang. Hal ini memang nampak menyulitkan masyarat Banten tapi demi sebuah perjuangan tak ada orang yang protes atas tindakan para pejuang merusak jalur kereta api.
Ketika sedang pecah pertempuran , penumpang harus bertahan terlebih dahulu di stasiun parungpanjang atau stasiun Serpong hingga pertepuran berhenti. Geliat ekonomi memang harus tetap berjalan. Perang tetap berjalan namun usaha tak boleh berhenti. Maka bila diperhatikan pasar pasar di Jakarta seperti pasar Palmerah, pasar Kebayoran hingga pasar Tanah abang sangat dipengaruhi oleh orang orang Banten khususnya orang Rangkas. Banyak barang dan hasil bumi dari wilayah Banten selatan yang dijual di Jakarta. Begitu juga sebaliknya.
Sarana tranportasi kereta api Tanah abang –Rangkasbitung menjadi urat nadi perekonomian yang penting . Sejak zaman Belanda, Jepang hingga zaman sekarang. Sayangnya , kereta api zaman sekarang sudah lebih tertib sehingga barang barang hasil bumi tak boleh lagi dinaikkan ke dalam gerbong kereta api. Sebagian besar merasa senang karena lebih bersih dan nyaman namun sebagian pedagang menjadi sulit memasarkan barang dagangannya.
Fatmawati Masuk Jakarta
Pada tahun 1942 ketika Jepang baru saja menduduki Indonesia dan mengalahkan sekutu pada perang Asia Raya. Bung Karno ketika itu baru saja mempersunting gadis belia asal Bengkulu, Fatmawati. Keadaan yang genting tak menyurutkan niat Bung Karno untuk meminta Fatmawati datang ke Jakarta untuk menemani dirinya sebagai salah satu tokoh pergerakan yang diterima pihak Jepang. Bung Karno ketika itu baru diangkat sebagai ketua PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat).
Dari Bengkulu Fatmawati diantar menggunakan mobil ke pelabuhan Panjang di dekat kota Bandarlampung. Di pelabuhan Panjang Fatmawati menginap semalam sambil menunggu kapal yang akan menuju pelabuhan Merak di pulau Jawa. Keesokan hari dengan menumpang kapal dagang Fatmawati menuju pelabuhan Merak, Banten.Â
Setibanya di pelabuhan Merak, Fatmawati dibawa ke kota Rangkasbitung dan bermalam di rumah seorang camat Rangkasbitung sahabat baik Bung Karno. Sambil menunggu kereta api menuju Tanah Abang keesokan harinya.
Fatmawati masuk ke Jakarta pertama kali menggunakan jalur kereta api Rangkasbitung-Tanah Abang. Kedatangan Fatmawati ke Jakarta sebagai istri baru setelah Bung Karno bercerai dengan istri sebelumnya, Inggit Ganarsih. Fatmawati kelak menjadi saksi sejarah bagaimana Republik ini diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Dan setelah Bung Karno terpilih sebagai Presiden RI maka Fatmawati menjadi Ibu negara pertama kali. Melalui tangannyalah bendera pusaka merah putih dijahit.
[caption caption="sumber gambar: www.antaranews.com"]
Sebuah Refleksi Jalur KA Rangkasbitung-Tanah Abang
Jalur kereta api Rangkasbitung-Tanah Abang sudah beroperasi sejak zaman Belanda, artinya jalur ini sudah sangat lama. Tapi melihat perkembangannya sangatlah lamban. Setelah Indonesia Merdeka 70 tahun jalur ini baru berkembang hingga stasiun Maja.Itupun dari parungpanjang menuju Maja masih single rel . walau kenyataan sudah dibangun double track , pengoperasiannya seperti mangkrak belum dioperasikan. Padahal jalur ganda itu sudah selesai ketika pemerintahan SBY-Boediono. Dari stasiun Maja menuju Rangkasbitung hingga ke pelabuhan Merak masih satu jalur.
Padahal bila jalur ini dibangun dengan baik maka beban kemacetan di jalan Tol Merak-Jakarta bisa dikurangi. Artinya orang maupun barang yang akan menuju pulau Sumatra bisa menggunakan jalur kereta api. Bila memungkinkan jalur Kereta api ini bisa ditingkatkan menggunakan kereta super cepat Jakarta-Merak.
Jalur kereta api Rangkasbitung-Tanah Abang penuh dengan kenangan. Pertempuran kemerdekaan yang terjadi dari 1946 hingga 1949 menjadi saksi sejarah. Lalu terngianglah ucapan Bung Karno "Jangan pernah melupakan sejarah ".
---
Sumber bacaan:
Madjiah Matia, Dokter Gerilya, Balai Pustaka 1993.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H