Bauksit memang menyita perhatian saat ini. Adalah Permen ESDM No.1 Tahun 2014 yang memangkas ijin ekspor bijih bauksit dalam keadaan mentah. Padahal lahirnya permen ini mengacu pada Permen ESDMÂ no.7 Tahun 2012. Uniknya Permen No. 7 ini juga mengacu pada Peraturan pemerintah (PP) No.23 Tahun 2010. Semua peraturan itu disebutkan derivasi hukum dari UUÂ No.4 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sumber permasalahan ini adalah sumber hukum yang dikeluarkan pemerintah tentunya melalui Kemen ESDM .
Bila melihat kepentingan dari pelarangan ekspor bijih Bauksit ada pro dan kontra. Pada sisi lain pelarangan ini ingin menaikkan taraf nilai dari bijih bauksit . Ini terkait added Value dari Bauksit yang merupakan bahan dasar bagi pembuatan Alumina. Sebelum bergeser lebih lanjut ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya bauksit ini.
Bauksit pertama kali ditemukan di muka bumi ini pada tahun 1821 di les baux. Tak heran nama les baux menjadi nama bijih yang menjadi bahan utama alumunium . Bauksit terdiri hidrous aluminium oksida dan alumunuim hidroksida yaitu mineral dengan kode kimia (Al2O3H20).
Untuk menjadi Alumunium , Bauksit harus melalui dua tahap proses 'bayer' dan proses 'hall heroult'. Di Indonesia bauksit ditemukan pertama kali di pulau Bintan Kepulauan Riau. Bijih Bauksit ternyata ditemukan di pulau Kalimantan dan juga kepulauan Halmahera di Maluku. Juga dalam jumlah yang besar.
Indonesia patut bersyukur karena dikaruniai bijih bauksit melimpah ruah. Ada 250 juta ton bijih bauksit . Tak kurang setiap tahun 40 juta ton dihasilkan perusahan penambang Indonesia. Kebutuhan nasional hanya 10 juta ton, selebihnya 30 juta ton dilempar di pasaran Internasional terutama di ekspor ke Tiongkok.
Zaman keemasan ekspor bijih bauksit terhenti sejak awal tahun 2014. Pelarangan ekspor bijih bauksit memang mengundang keprihatinan dan membuat kerugian di kalangan pengusaha penambang bijih bauksit. Akibatnya tentu PHK , hilangnya pendapatan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada usaha bijih bauksit. Diperkirakan ada 40 ribu pekerja tambang terpaksa dirumahkan.
Pemerintah juga kehilangan pendapatan dari devisa sebesar Rp 17,6 Trilyun per Tahun, penerimaan pajak hingga Rp 4,09 Trilyun dan merugi dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp 595 Milyar. Belum lagi potensi gagal bayar yang akan disandang para pengusaha bijih bauksit terhadap kredit di sejumlah Bank nasional.
Seminar Nasional Tentang Kondisi Terkini , Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Alumina Indonesia yang diadakan di Hotel Peninsula , Senin (25/5/2015) dan dipandu Cindy Sistyarany. Pada seminar ini hadir Mantan Dirjen Minerba yang saat ini menjadi pengamat MInerba, Ir Simon F Sembiring. Selain itu juga hadir Pakar Metalurgi dari UI , Prof DR Ing Bambang Suharno. Hadir pula Mantan ketua tim tata kelola dan reformasi Migas dan juga pakar ekonomi. Faisal Basri. Disamping itu hadir dari wakil pemerintah Kepala seksi Usaha Operasi Produksi Mineral ESDM, Andri Budhiman Firmanto. Terakhir hadir pula ketua asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia, Erry Sopyan.
Dalam seminar pagi itu tergali beberapa masalah yang krusial yang dihadapi pengusaha bauksit Indonesia. Ir Simon Sembiring dengan nada menahan emosi menggambarkan kerancuan dalam pengambilan keputusan yang menyebabkan kekisruhan dalam industri nasional. Menurut Simon, UU Minerba No, 4Â yang lahir tahun 2009 tidak menjelaskan pelarangan ekspor mineral. Tak ada satu butir maupun kata yang secara eksplisit melarang kegiatan ekspor bijih bauksit. Yang ada pemerintah memiliki hak untuk mengontrol ekspor itupun dengan persetujuan parlemen. Dari sisi hukum pemerintah seharusnya tidak mengambil keputusan yang merugikan beberapa pihak. Dijelaskan pula pemerintah juga dinilai tidak adil karena beberapa produk lain dibolehkan diekspor dalam keadaan mentah seperti CPO. Simon Sembiring mengharapkan pemerintah Jokowi bisa meluruskan kekisruhan beberapa peraturan yang ada.
Narasumber selanjutnya adalah Prof Bambang Suharno yang lebih menyoroti adanya satu supply chain yang hilang pada industri bauksit. Menurut pakar Metalurgi UI tersebut satu proses 'Alumina Plant' seperti terlupakan. Proses Bijih Bauksit menuju Alumunium melalui satu langkah yang dinamakan smelter Alumina. Menurut Prof Bambang Suharno , Proses inilah yang tidak ada di Indonesia. Salah satu perusahaan pembuat aluminium di Indonesia , PT Inalum saat ini mengimpor alumina dari Australia dengan biaya yang lebih rendah dari biaya produk serupa dalam negeri. Kapasitas Inalum masih berkisar 250 ribu ton. Jumlah permintaan dalam negeri akan mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2025. Perlu disiapkan sebuah road map agar kapasitas produksi alumina dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apa dan Bagaimana proses Alumina ?