Mohon tunggu...
Roby Rushandie
Roby Rushandie Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ekonom otodidak dan amatir, Pengamat pasar obligasi, Minat dengan travelling dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Potret Utang Luar Negeri Indonesia

21 Oktober 2014   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:14 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Utang Luar Negeri (ULN) ibarat pedang bermata dua, karena disatu sisi ULN dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun di sisi lain ULN dapat mengguncang stabilitas sistem keuangan Indonesia seperti yang terjadi pada krisis tahun 97/98. Untuk itu bertepatan juga dengan rilisnya statistik ULN Indonesia terbaru oleh Bank Indonesia, penulis akan mencoba untuk mengulas tentang kondisi ULN Indonesia, risiko-risiko yang ada dari kondisi ULN tersebut, dan upaya-upaya untuk mengelola ULN yang sehat. Untuk membahas ULN ini, penulis akan lebih memfokuskan diri pada pembahasan ULN sektor swasta karena seiring dengan meningkat pesatnya ULN swasta dimana kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko pada stabilitas sistem keuangan kita.

Pada blog penulis sebelumnya yang berjudul “Pasar Modal Antara Trading dan Stabilitas Sistem Keuangan”, penulis sempat menyinggung bahwa pasar modal dapat menjadi substitusi bagi ULN. Memang, esensi dari ULN adalah sebagai salah satu sumber pembiayaan alternatif baik bagi pemerintah maupun sektor swasta/korporasi yang didapatkan dari institusi keuangan di negara lain. Alternatif disini maksudnya adalah alternatif dari sumber pembiayaan dalam negeri baik itu dari sektor perbankan maupun pasar modal.

Utang luar negeri sektor swasta berkembang pesat

Akhir pekan lalu, Bank Indonesia merilis statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia untuk bulan Agustus 2014. Berdasarkan rilis tersebut disebutkan bahwa per akhir Agustus 2014 posisi ULN Indonesia naik 11,2% yoy ke level USD290,4miliar dibanding dengan posisi Agustus 2013. Dari angka tersebut, ULN sektor swasta mendominasi yakni sekitar 53,8% dari total ULN atau sebesar USD156,2miliar, sedangkan 46,2% sisanya atau USD134,2miliar merupakan ULN sektor publik/pemerintah. Jika ditelusuri lebih jauh ke beberapa tahun belakang, ULN sektor swasta mulai menunjukkan dominasinya sejak tahun 2012 dan terus meningkat hingga Agustus 2014 seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 1: Posisi ULN dan pertumbuhan ekonomi Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, BPS, diolah

Pertumbuhan ULN sektor swasta menjadi lebih tinggi bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan total ULN itu sendiri. Per akhir Agustus 2014, pertumbuhan ULN sektor swasta sebesar 12,20% sementara pertumbuhan ULN sektor publik/pemerintah dan total ULN masing-masing sebesar 9,90% dan 11,20%. Dan perlu dicermati, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai proxy kontribusi ULN baik sektor swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian, ternyata kondisinya menunjukkan tren yang berlawanan yakni pertumbuhan ULN yang tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi per akhir tahun 2013 tumbuh 5,72% yoy dan hingga kuartal II tahun 2014 terus melambat yakni tumbuh 5,22% yoy pada kuartal I 2014 dan 5,12% yoy pada kuartal II 2014. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa ULN yang ada kurang memacu pertumbuhan sektor riil.

Ketatnya likuiditas domestik dan rendahnya suku bunga global sebagai salah satu faktor utama meningkatnya ULN sektor swasta.

Salah satu faktor pendorong utama dari meningkatnya ULN sektor swasta akhir-akhir ini adalah ketatnya likuiditas perbankan dalam negeri. Seperti yang telah penulis ulas pada blog sebelumnya, ketatnya likuiditas mendorong tingginya suku bunga kredit perbankan, tercatat hingga kuartal III 2014 realisasi suku bunga investasi berada di kisaran 10,42%-16,05% per tahun. Selain itu melambatnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) membuat Loan to Deposit Ratio (LDR) rata-rata perbankan naik yakni per Juli 2014 berada di level 92,19% atau sudah diatas batas atas LDR sesuai aturan Bank Indonesia yang sebesar 92% sehingga membuat perbankan domestik terbatas dalam berekspansi. Sementara di sisi lain, likuiditas global sangat longgar khusunya untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan bahkan Tiongkok. Kondisi tersebut seiring dengan kebijakan moneter longgar dan kucuran stimulus oleh beberapa Bank Sentral di negara-negara tersebut untuk memulihkan kondisi perekonomian akibat krisis yang diderita. Maka itu, sumber-sumber ULN Indonesia mayoritas berasal dari negara-negara yang sedang dalam kondisi moneter yang longgar seperti yang ditunjukkan pada gambar 2 berikut ini:

Gambar 2: Posisi ULN menurut kreditor per Agustus 2014

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Pada gambar 2, terlihat bahwa porsi terbesar ULN kita per Agustus 2014 berasal dari Singapura (19%) disusul kemudian oleh Amerika Serikat (14%) dan Jepang (12%) yang mana negara-negara tersebut memiliki suku bunga acuan yang rendah mendekati 0%. Suku bunga acuan AS di kisaran 0%-0,25%, Singapura di kisaran 0,07% dan Jepang di kisaran 0,30%. Bila dibandingkan dengan suku bunga acuan Indonesia yang di level 7,50%, maka spread-nya menjadi cukup besar. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk memperoleh pinjaman murah.

Sementara ULN menurut sektor ekonomi, sektor keuangan, manufaktur, dan pertambangan merupakan tiga sektor dengan proporsi ULN terbesar, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel 1: Posisi ULN menurut sektor ekonomi

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Ket: *angka pertumbuhan dari Q1-2014 ke Agustus 2014

Terus meningkatnya ULN sektor keuangan dengan industri perbankan dan pembiayaan didalamnya bisa juga dipicu oleh seretnya likuiditas itu tadi. Keringnya likuiditas mendorong mahalnya biaya DPK perbankan, tercatat realisasi suku bunga deposito hingga kuartal III 2014 berada di kisaran 7,20%-13,49% per tahun. Kondisi tersebut dapat mendorong perbankan dan perusahaan pembiayaan untuk mencari alternatif dana selain DPK dengan biaya yang lebih murah yakni dengan pinjaman dari luar negeri. Sementara, ULN sektor manufaktur dan pertambangan masing-masing tumbuh 6,6% dan melambat 1,7%. Perkembangan ULN sektor manufaktur perlu diantisipasi karena sebagian dari hasil produksi di jual untuk keperluan dalam negeri sehingga dapat meningkatkan risiko currency missmatch. Untuk sektor pertambangan, walaupun dari kuartal I 2014 melambat, nilai nominal ULN sektor ini masih menempati peringkat 3 besar. Yang perlu dicermati dari sektor pertambangan ini adalah tren melemahnya harga komoditas pertambangan global seiring dengan perlambatan ekonomi global dan pelarangan ekspor mineral mentah sehingga dapat meningkatkan risiko default dari perusahaan-perusahaan sektor pertambangan tersebut.

Meningkatnya utang luar negeri meningkatkan kerentanan terhadap stabilitas sistem keuangan

Sebenarnya ULN bisa menjadi solusi instan dalam memperbaiki neraca transaksi berjalan kita. Neraca transaksi berjalan merupakan ikhtisar yang menunjukkan segala penerimaan dan pengeluaran pemerintah dan sektor swasta yang diperoleh dari pihak di luar negeri. Jika penerimaan dari pihak luar negeri lebih besar dari pengeluaran maka neraca transaksi berjalan dikatakan surplus, sebaliknya jika pengeluaran lebih besar dari penerimaan luar negeri maka terjadilah defisit transaksi berjalan. Pada saat pinjaman dari luar negeri cair, maka terjadilah aliran dana asing masuk. Maka masuknya aliran dana asing tersebut dapat menjadi penutup defisit transaksi berjalan. Namun tentu dalam jangka menengah dan panjang dapat kembali meningkatkan risiko pelebaran defisit transaksi berjalan yakni pada saat pembayaran cicilan dan pokok ULN tersebut.

Selain itu risiko-risiko yang dapat timbul dari peningkatan ULN yakni antara lain:

Pertama, ULN yang tidak terserap untuk pemberdayaan sektor riil: peningkatan ULN yang diiringi dengan perlambatan ekonomi mengindikasikan ULN yang ada belum maksimal untuk memacu pertumbuhan sektor riil. Kondisi ini terjadi mungkin memang sebagian ULN tersebut tidak disalurkan ke sektor riil, melainkan hanya diinvestasikan di pasar uang domestik. Spread suku bunga acuan global dengan suku bunga acuan domestik yang begitu lebar bisa menjadi lahan investasi pasif yang menggiurkan. Misalnya saja sebuah perusahaan mendapatkan ULN dengan bunga dibawah 5% lalu ULN tersebut hanya dinvestasikan kembali di pasar uang yang bisa memberikan return hingga 10%, sehingga perusahaan tersebut sudah bisa mendapatkan margin 5% dari ULN tersebut.

Kedua, tingginya ULN meningkatkan risiko pasar: yakni risiko dimana beban bunga pinjaman yang dibayarkan mengalami kenaikan, terlebih lagi seiring dengan adanya normalisasi dan rencana pengetatan kebijakan moneter AS. Seperti yang diproyeksikan bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan menaikan suku bunga acuannya dari level mendekati 0%-0,25% menjadi di kisaran 1% paling cepat pada kuartal II 2015. Pada saat kenaikan suku bunga The Fed terjadi maka beban bunga ULN pun akan naik karena menurut penelitian BI sebagian besar ULN Indonesia dikenakan dengan sistem bunga mengambang.

Ketiga, risiko berkurangnya kemampuan untuk membayar utang: untuk mengukur seberapa besar beban yang ditimbulkan dari ULN digunakan indikator-indikator seperti pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2: Indikator beban ULN Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Debt to service ratio (DSR) merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur beban ULN yang umum digunakan. DSR menunjukkan seberapa besar penerimaan transaksi berjalan yang digunakan untuk membayar cicilan bunga dan pokok ULN. Jika dilihat beberapa tahun kebelakang, angka DSR kita dalam tren yang meningkat bahkan pada kuartal II 2014, DSR mencapai angka 50,33%, ini berarti lebih dari separuh penerimaan transaksi berjalan kita hanya digunakan untuk membayar cicilan ULN. Kondisi ini tentu berimplikasi negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya risiko bagi melebarnya defisit transaksi berjalan yang ujung-ujungnya dapat mengguncang Rupiah sehingga terguncang pula stabilitas sistem keuangan.

Rasio lain yakni Debt to export ratio (DER) yang menunjukkan seberapa besar total ULN dibandingkan dengan penerimaan hasil ekspor. DER kita juga menunjukkan tren yang meningkat, bahkan pada kuartal II 2014 DER mencapai 133,02%, ini berarti total ULN kita melampaui hasil penerimaan ekspornya, sehingga perlu digunakan dari sumber penerimaan transaksi berjalan lainnya untuk menutupi pembayaran ULN. Maka kondisi DER yang terus meningkat tentu dapat menguras cadangan devisa kita, sehingga cadangan devisa yang menipis dapat meningkatkan kerentanan bagi Rupiah kita.

Kemudian untuk mengukur total utang terhadap output perekonomian lazimnya digunakan angka debt to GDP ratio. Rasio ini menunjukkan seberapa besar output dalam ekonomi kita dihasilkan melalui utang baik luar negeri maupun dalam negeri. Angka debt to GDP ratio kita dari tahun 2012 hingga kuartal II 2014 juga menunjukkan peningkatan yakni mencapai 33,86% di kuartal II 2014. Namun, angka debt to GDP tersebut tergolong masih aman jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang dengan debt to GDP ratio sebesar 243%, Amerika Serikat 106%, Malaysia 53,8%, Thailand di kisaran 45%.

Terakhir dalam tren depresiasi Rupiah tentu dapat membuat pembengkakan ULN sektor swasta, sehingga meningkatkan risiko gagal bayar seperti yang terjadi pada krisis 97/98.

Perlunya pembenahan tata kelola ULN

Beberapa waktu lalu ramai dibicarakan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia akan membuat ketentuan yang mengatur ULN sektor swasta dan ketentuan yang mendorong perusahaan melakukan lindung nilai (hedging) jika ingin mencari ULN. Wacana pemerintah untuk megendalikan ULN tersebut merupakan langkah yang tepat untuk mencegah penggunaan ULN yang tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Namun perlu diperhatikan bahwa jangan sampai pengendalian ULN tersebut justru dapat membatasi ruang gerak sektor usaha untuk berekspansi. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu, motif dari sektor swasta meningkatkan porsi ULN-nya akhir-akhir ini, Jika dikaji dari segi kondisi makro, sektor swasta akhir-akhir ini sedang mengalami isu permodalan mengingat ketatnya penyaluran kredit perbankan dalam negeri dan masih belum populernya pasar modal domestik untuk pembiayaan alternatif, sehingga untuk menjaga kesinambungan usahanya, sektor swasta mencari alternatif pembiayaan lain yakni dari ULN.

Ketatnya penyaluran kredit perbankan tersebut sebenarnya merupakan sebagai dampak dari kebijakan moneter ketat yang telah diberlakukan hampir setahun oleh otoritas moneter. Kebijakan moneter ketat tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meredam inflasi sebagai akibat dari dinaikkannya harga BBM bersubsidi pada Juni 2013 lalu dan juga untuk mempersempit defisit transaski berjalan sebagai akibat tingginya impor. Di sisi lain, kebijakan moneter ketat tentu membawa konsekuensi bagi pengetatan kredit perbankan.

Memang selama kondisi kebijakan moneter tetap ketat dan tingginya suku bunga, kebutuhan pendanaan eksternal akan terus meningkat apalagi ditengah likuiditas global yang melimpah dan belum dalamnya pasar modal kita. Maka aksi sektor swasta yang mencari ULN tidak dapat disalahkan terlebih lagi penggunaan ULN untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan usahanya. Penulis sendiri beranggapan, dalam situasi kebijakan moneter ketat maupun longgar, memang sudah sepantasnya dilakukan monitoring dan pengaturan ULN sektor swasta untuk meredam dampak dari risiko-risiko yang dapat mengguncang stabilitas sistem keuangan.

Maka dalam kondisi ini, yang perlu dilakukan oleh regulator adalah pembenahan tata kelola ULN dengan sebijaksana mungkin, agar tata kelola ULN dapat memitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan, dan disisi lain tidak meberatkan sektor swasta. Kemudian dari sektor swasta sendiri perlu mengukur risiko dan kemampuan masing-masing jika ingin mencari ULN. Dan sebisa mungkin untuk melakukan lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko nilai tukar. Dengan baiknya tata kelola ULN, pengawasan yang efektif, dan juga sektor swasta yang turut melakukan hedging diharapkan dapat terkelolanya ULN dengan sehat dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.

Demikian ulasan saya mengenai ULN Indonesia kali ini, semoga bermanfaat.

Referensi:

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Oktober 2014, Bank Indonesia

Newsletter Bank Indonesia Edisi 48 2014, Bank Indonesia

Pasar Modal Antara Trading dan Stabilitas Sistem Keuangan, Roby Rushandie

Harian Bisnis Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun