Oleh
Hamdi Akhsan
I
Inilah syair  tentang hardiknas,
jangan dibaca hati yang panas,
untuk pengingat supaya awas,
bukannya  pujian supaya puas.
Sekarang dunia sangatlah maju.
janganlah  sampai kita  tertipu,
kualitas rendah  dibanding lalu,
tak pernah bergerak dititik itu.
Pendidikan sudah dibuat pilar,
agar menjadi bangsa nan besar,
tapi masalahnya tak kelar-kelar,
bak benang kusut berpusar-pusar.
II
Dahulu kita bangsa yang hebat,
guru dikirim ke negeri hang jebat,
kini faktanya sudah terjulat,
yang kesana orang melarat.
Belumlah lagi kualitas orangnya,
dipakai diluar cuma tenaganya,
menjadi buruh kebun sawitnya,
atas pembantu rumahtangganya.
TKI menjadi buruh bangunan,
otak tak perlu yang penting tangan,
bekerja berat mikirnya ringan,
itulah harga hasil pendidikan.
III
Hai...hai, anggaran pendidikan,
katanya kini telah ditingkatkan,
segala fasilitas telah dibangunkan,
segala program telah diluncurkan,
Bermacam pula itu namanya,
sekolah gratis amat disukanya,
bagaikan obral tentu mutunya,
tetapi senang orang padanya.
Belumlah lagi yang kebarat-baratan,
Bahasa inggeris yang diutamakan,
laboratoriumnya dianaktirikan,
latihan kerasnya kini ditinggalkan.
IV
Guru sekarang memakai dasi,
duitnya banyak dari sertifikasi,
bahkan ada bermercedes classi,
penuh pula kantong berisi.
Cara mengajar kini telah keren,
dibantu dengan alat moderen,
sambil dudukpun ia bisa eksen,
mengajar murid dengan telaten.
Muridpun sudah semakin maju,
bermacam model memakai baju,
kalaupun marah tak boleh ninju,
karena bisa dipenjara si guru.
V
Cara di barat kini ditiru,
dipakai banyak model yang baru,
membuat pusing pak dan bu guru,
hasilnya tetap yang itu-itu.
Sabaaaar!itu semua proyek besar,
supaya bangsa bertambah pintar,
dievaluasi terus tak kelar-kelar,
belumlah tuntas sudah dibubar.
Dibuat lagi proyek yang lain,
dana yang besar mengucur yakin,
padahal cuma negara miskin,
tapi memangnya mereka pikirin?
VI
Ujian nasional juga dibuat,
target nilai pun harus sepakat,
maka guru pun bikin mufakat,
supaya "suksesnya" bisa terlihat.
Murid-muridpun banyak yang tenang,
karena tim sukses telah dirancang,
saat ujian serentak diserang,
kertas kecil pun melayang-layang.
Selain itu pensilnya tipis,
bisa dihapus atau dilapis,
atau dibantu barang segaris,
membuat kita menjadi miris.
VII
Kalau cara begitu hina,
Tuhan pun sudah tak diindahkannya,
wajar ijazah tiada berguna,
tak berkat pula yang diajarkannya.
Betapa sayang kalau terlibat,
karena guru bukan penjahat,
bukanlah pula ia pejabat,
tapi mengajar yang perlu hebat.
Rusaknya jiwa jangan dibuat,
terhadap moral diri diikat,
beri teladan dari yang dekat,
setelah mati tidak melarat.
VIII
Astaghfirullah, semua kini telah bertukar,
anak guru pun banyak tak pintar,
miskin teladan kini menyebar,
semoga bangsa segera sadar.
Di rumah guru miskin teladan,
anak belajar tak diiringkan,
ibu ayahnya sibuk tontonan,
di televisi yang melenakan.
Tradisi membaca jauh berkurang,
apalah lagi guru mengarang,
di kantor sibuk nyeritain orang,
sungguh yang baik semakin jarang.
IX
Jadilah kita pendidik yang bangga,
karena berhasil membentuk jiwa,
bekerja keras tidak terpaksa,
buat yang sulit menjadi bisa.
Tak ada yang hebat mudah didapat,
haruslah belajar keras dan kuat,
makanan dijaga supaya sehat,
ikhlas mengajar menjadi syarat.
Kepada siswa kita ajarkan,
ilmu yang berkah kan diberikan,
benar dan baik mari berikan,
dunia akherat dapat ganjaran.
X
Marilah kita banyak merenung,
masalah bangsa sebesar gunung,
dunia pendidikan membuat bingung,
semoga kelak kita beruntung.
Berhenti kita selalu berbohong,
nampak berisi padahal kosong,
kelak kita jadi bangsa tong,
bunyinya kuat isi melompong.
Segeralah semua menjadi sadar,
supaya petunjuk-Nya akan terpancar,
Menjadi kita bangsa yang besar,
ke segala penjuru harum menyebar.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H