Pepatah jawa mengatakan Menang tanpo ngasorake. Namun pepatah tersebut seakan hanya menjadi angin lalu, ketika beberapa pemuka agama justru secara provokatif menghina dan mengajak umatnya untuk menghina secara tidak pantas.
Berakhirnya Pemilu serentak 17 April, diharapkan dapat kembali menyatukan semua perbedaan -- perbedaan yang sempat meruncing selama masa kampanye, rasa persatuan tersebut dapat dimulai dengan mengajak kawan -- kawan untuk ngobrol santai ataupun ngopi bareng tanpa membahas sentimen tentang politik.
Tentu akan lebih bijak apabila bagi pendukung yang kalah memberikan ucapan selamat di sosial media, tanpa mencantumkan tagar yang tidak layak baca, tentu kita wajib tanya pada diri sendiri, pantaskah saya menghina atau merendahkan teman yang jagoannya kalah dalam pilpres.
Karena pada hakikatnya pemilu bukanlah untuk menciptakan perpecahan, Pemilu merupakan wujud dari penerapan nilai ideologi pancasila, dimana dalam penyelenggaraannya tidak boleh melupakan unsur sila ke- 3 yaitu persatuan Indonesia.
Rasa keindonesiaan kita tercermin dalam ideologi negara pancasila, sehingga kampanye dalam Pileg dan Pilpres lima tahun yang akan datang sudah semestinya tak lagi diricuhkan dengan politik identitas yang memecah-belah persatuan, melainkan dimeriahkan oleh adu strategi, adu program dan adu gagasan.
Apabila terdapat perbedaan tentu merupakan hal yang wajar, karena keragaman di Indonesia sudah tertanam sejak dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H