Keberadaan busana keraton Solo tidak bisa dilepaskan dari penandatanganan perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang mengakibatkan Keraton mataram Islam dibagi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.Â
Surakarta dipimpin Paku Buwono (PB )III dan Yogyakarta dipimpin Hamengku Buwana I (HB I). Semua isi keraton dibagi dua, khusus busana diminta oleh HB I dan digunakan sebagai busana Keraton Yogyakarta sampai sekarang. Saat itu pula PB III membuat dan mengembangkan sendiri digunakan hingga sekarang.Â
Ada dua jenis busana yaitu busana untuk putra dan busana untuk putri. Busana untuk putra dapat dikatakan  sebagai pengagemen kejawen Surakarta atau juga disebut busana Jawi Jangkep.Â
Berdasarkan keperluaannya, busana Jawi Jangkep dibedakan menjadi dua yaitu  Pakaian harian (padintenan) warna bukan hitam dan pakaian bukan harian (sanes padintenan) yaitu pakaian untuk upacara dan warnanya selalu hitam.Mengenai busana ini, Ingkang Sinuhun Paku Buwono IX pernah berkata :
"Nyandang nganggo iku dadya sarana hamengku mangusa jaba jero. Marmane pantese panganggonira. Trep pangentraping panganggon, cundhukna kalawan kahaning badanira apadene pangatira"
Artinya : Berbusana itu menjadi sarana menjaga manusia luar dan dalam. Sesuai pengetrapan busana, cocokkan dengan keadaan dan pangkat.
Dari pernyataan di atas jelas bahwa busana di lingkungan keraton Surakarta dapat mencerminkan keadaan dan pangkat bagi yang memakainya. Sebagai contoh, Abdi Dalem yang belum berpangkat Bupati Sepuh tidak diperkenankan memakai Sikepan.
Menurut K.R.A. Budayaningrat, kelengkapan busana untuk laki-laki terdiri atas Destar dan Kuluk, Rasukan krowok, Sabuk, Epek, dan Nyamping.
Busana Jawi Jangkep yang merupakan tradisi Jawa ini mencerminkan adanya suatu pandangan bahwa: Ajining raga ana busana yang berarti "harga diri seseorang dapat tercerminkan pada busana". Hal yang demikian diperhatikan dalam lingkungan karaton. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masalah busana juga termasuk dalam tatakrama.
berikut video reportasenya...