Fotografi dan pembelajaran sejarah ? Apa sih hubungannya ? Nah biar tidak bertambah bingung, penulis akan berbagi cerita tentang kelas #Ketemuan yang penulis ikuti hampir 2 bulan. Di sela-sela aktivitas sebagai pengajar penulis memiliki hobi fotografi. Aktivitas yang berhubungan dengan foto ini sudah penulis geluti hampir 6 bulan berjalan. Sementara ini penulis belum menentukan spesialisasi objek foto, jadi ketika ada momen yang asyik untuk di foto, maka penulis akan memotret. Namun diantara sekian banyak objek foto yang penulis ambil adalah foto-foto bertema human interest ( foto yang berhubungan dengan manusia).
Nah untuk menambah skill dalam bidang fotografi, di awal Oktober hingga akhir Nopember, penulis memberanikan diri mengikuti sebuah kelas fotografi. Kelas fotografi ini di beri nama kelas #Ketemuan. Kelas ini diadakan oleh dua orang mentor yang sudah melang melintang di bidang fotografi yaitu Maulana Surya Tri Utama (wartawan foto dari kantor berita Antara) dan Yudi Sastroredjo (praktisi fotografi). Keduanya bertugas di daerah Surakarta dan sekitarnya. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana penulis bisa bergabung di kelas #ketemuan ?
Nah ceritanya ketika penulis searching di internet, ada sebuah iklan yang mengabarkan bahwa akan dibuka kelas fotografi dan semuanya free lho…nah karena free, penulis iseng-iseng mendaftarkan diri secara online. Di iklan itu disebutkan bahwa nantinya peserta akan diberi materi tentang membuat foto story. Apa itu foto story ? Foto story adalah salah satu hasil fotografi yang menitik beratkan pada foto yang bisa bercerita, artinya ketika kita melihat hasil foto story, akan terlihat adanya rangkaian cerita yang tidak putus. Sehingga penonton akan bisa mengambil makna dari foto story yang ditampilkan. Oya kelas #ketemuan diadakan setiap senin malam selepas isya dan bertempat di café Librarie, salah satu café terkenal di kota Surakarta.
Pada saat pertama kali menghadiri kelas #ketemuan, semua peserta yang berjumlah sebanyak 20 orang diminta untuk memperkenalkan diri. Ternyata penulis adalah satu-satunya peserta dari guru. Peserta yang lain ada yang berlatar belakang pelajar, fotografer, hingga mahasiswa. Setelah perkenalan selesai, maka tiba waktunya peserta mendapatkan materi seputar foto story. Menurut mas Maulana (salah satu mentor), karena kelas #ketemuan adalah kelas fotografi maka syarat paling mutlak adalah harus memiliki kamera, bisa kamera digital atau DSLR. Kebetulan penulis telah memiliki kamera yang di syaratkan. Penulis memakai kamera Fujifilm finepix HS-20. Kamera ini juga belum lama penulis miliki. Sebelumnya penulis menggunakan kamera digital.
Dalam pemaparannya mentor menyampaikan bahwa di akhir kelas #ketemuan, masing-masing peserta akan diberi tugas membuat proyek fotografi dan rencananya akan dipamerkan. Penulis semakin tertarik dan bersemangat mengikuti kelas #ketemuan. Bertemu dengan fotografer-fotografer yang sudah banyak di kenal orang merupakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Bagi penulis, pengalaman ini akan menjadi masukan yang positif untuk meningkatkan kemampuan dalam dunia fotografi. Penulis beserta seluruh peserta banyak mendapat ilmu seputar fotografi yang bisa segera diterapkan. Setelah hampir 2 bulan berjalan, tiba saatnya untuk mempresentasikan hasil hunting di depan kelas. Satu persatu peserta mempresentasikan hasil kegiatannya. Tibalah giiliran penulis untuk mempresentasikan hasil foto story.
Penulis mempresentasikan dua karya foto story, yaitu dengan judul “ujian” dan “dhasaran”. “Ujian” penulis ambil ketika siswa/siswi penulis mengadakan ujian tengah semester (UTS). Idenya adalah mengangkat tentang ekspresi siswa ketika menghadapi ujian. Sedangkan “dhasaran” penulis ambil di luar lingkungan sekolah. Penulis memotret tentang 4 perempuan tangguh yang membantu keuangan keluarga dengan membuka “dhasaran” (berjualan ) di pinggir jalan. Yang dijual adalah aneka macam makanan dan minuman beserta snacknya. Setelah presentasi, mentor memberikan masukan demi peningkatan kualitas foto story berikutnya. Masukan dari mentor menjadi bekal yang berharga karena masukan berupa teknik pengambilan gambar (angle), pencahayaan (lighting) hingga artistiknya.
Dari Foto Story hingga Picture Story
Keikutsertaan penulis di kelas #ketemuan, memunculkan ide untuk menerapkan dalam pembelajaran sejarah. Bagaimana caranya ? Apakah siswa juga memotret ? Oooo…tentu tidak. Yang penulis ambil adalah konsepnya kemudian disesuaikan dengan pembelajaran sejarah. Jika di kelas #ketemuan peserta memotret langsung objek maka di pembelajaran sejarah, siswa tinggal mencari gambar-gambar yang sesuai dengan materi sejarah. Setelah mendapat gambar kemudian siswa menyusun menjadi sebuah rangkaian cerita yang berhubungan dengan materi.
Inilah yang kemudian melahirkan Picture Story yaitu gambar yang bisa membentuk cerita. Untuk melaksanakan kegiatan membuat picture story, penulis uji cobakan di kelas XII IPA 6 MAN 1 Surakarta. Materi yang akan dijadikan bahan membuat picture story adalah Reformasi 1998. Bagi penulis materi ini sangat luas dan memerlukan penjelasan yang tuntas. Padahal jam pelajaran sejarah di kelas XII IPA hanya 1 jam, sehingga jika diterangkan semuanya maka waktunya tidak cukup. Padahal masih banyak materi yang juga harus diterangkan. Inilah latar belakang yang mendasari penulis menerapkan membuat picture story di kelas XII IPA 6.
Setelah dirasa cukup menyiapkan konsep kegiatan membuat picture story, langkah berikutnya adalah menyampaikan rencana tersebut kepada siswa. Pada awalnya siswa masih belum paham tentang kegiatan membuat picture story, namun setelah penulis memberikan penjelasan secara detail, barulah mereka memahaminya. Untuk melaksanakan kegiatan ini, penulis membuat kelompok kerja siswa dengan masing-masing kelompok beranggotakan 5 orang. Oya hampir lupa, untuk melaksanakan kegiatan ini, penulis sengaja belum menjelaskan materi Reformasi 1998. Jadi siswalah yang aktif mencari materi kemudian mencari gambar hingga akhirnya menyusun menjadi picture story. Agar bisa melihat proses kerja siswa, maka untuk melaksanakan kegiatan ini dilakukan langsung di kelas dan penulis tinggal mengamati proses.
Di hari yang telah ditentukan siswa bekerja secara berkelompok membuat picture story. Untuk membuat picture story, bahan-bahan yang wajib disiapkan siswa antara lain :
Gambar yang berhubungan Reformasi 1998
Karton ukuran besar
Gunting/cutter
Lem
Spidol
Langkah pertama yang dilakukan siswa adalah membuat konsep foto story, yang berupa menyusun layout, urutan gambar yang telah disiapkan dan naskah narasi. Penulis mengamati proses yang sedang berjalan dan sesekali menanyakan hal-hal penting kepada kelompok. Langkah kedua adalah menempelkan gambar di karton. Di sinilah suasana pembelajaran mulai “hangat”. Mengapa ? karena di setiap kelompok akan muncul diskusi keras seputar urutan gambar yang akan ditempel.
Masing-masing anggota kelompok menyampaikan pendapatnya seputar urutan gambar yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, penulis memberi masukan namun keputusan akhir tetap di tangan siswa. Penulis ingin mendidik siswa bisa bekerja secara mandiri dan memutuskan sendiri apa yang terbaik buat kelompoknya. Selama kegiatan membuat picture story, penulis mempersilahkan siswa menciptakan suasana yang paling nyaman untuk membuat picture story. Karena itulah siswa memilih tempat yang paling enak untuk mengerjakan. Jika kita memberikan keleluasaan pada siswa dalam suatu kegiatan, diharapkan siswa bisa mengerjakan dengan lebih baik. Inilah yang ingin penulis tanamkan kepada siswa. Proses pembuatan picture story tidak dapat diselesaikan dalam satu kali pertemuan. Sehingga untuk menyelesaikan, penulis mempersilahkan masing-masing kelompok menyelesaikan di luar kelas dan pada pertemuan minggu berikutnya siswa presentasi.
Tibalah di hari yang ditentukan. Masing-masing kelompok akan mempresentasikan picture story yang telah dibuat. Penulis membuat undian untuk menentukan kelompok mana yang pertama kali presentasi. Setelah mengambil undian, makan kegiatan presentasi segera dimulai. Masing-masing kelompok menjelaskan seputar Reformasi 1998 dengan menggunakan media picture story. Tanpa menggunakan catatan terlihat siswa bisa menjelaskan seputar Reformasi 1998 dengan lancar. Namun ada juga kelompok yang kurang lancar dalam penjelasannya. Inilah hal-hal yang menjadi pertimbangan penulis dalam menilai tugas masing-masing kelompok. Selain aspek penguasaan materi, aspek lain yang dinilai adalah susunan gambar yang sesuai.
Setelah menyampaikan presentasi, kelompok lain boleh mengajukan pertanyaan untuk mengeksplor materi yang telah disampaikan. Di sinilah menurut penulis, kualitas siswa dalam penguasaan materi akan terlihat. Siswa yang sudah menguasai materi dengan baik, tentu saja dalam menjawab pertanyan juga akan lancar.
Demikian sekilas pengalaman penulis menerapkan pembelajaran dengan membuat picture story. Ide yang berasal dari pengalaman mengikuti kelas #ketemuan, kemudian diaplikasikan dalam pembelajaran di kelas. Sungguh pengalaman hidup yang luar biasa. Siswa bisa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan berharap hasil evaluasi juga mencapai nilai yang maksimal. Maju terus pendidikan Indonesia. Makasih buat #ketemuan yang telah menginspirasiku "menemukan" metode mengajar baru. Salam historia !!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!