Masa Orientasi Sekolah (MOS) adalah salah satu rangkaian kegiatan “wajib” yang mesti dijalani seorang siswa setelah dinyatakan diterima di sekolah idamannya. Sebagai sebuah kegiatan ritual yang selalu hadir, MOS telah menjelma menjadi fenomena yang selalu ada di setiap tahun ajaran baru. Tahun ini pelaksanaan MOS terasa istimewa. Kenapa ? karena ada sebagian sekolah yang melaksanakan MOS pada saat bulan puasa yang telah lalu. Hal ini ternyata tidak menjadi penghalang pelaksanaan MOS di sekolah-sekolah. Sebab MOS memiliki tujuan mulia, yakni sebagai ajang perkenalan awal siswa baru dengan lingkungannya, mengenal dan memahami visi misi sekolah, budaya sekolah, guru serta tata tertibnya.
Bagaimana agar MOS dapat berjalan secara efektif ? Salah satunya adalah dengan menciptakan MOS yang lebih humanis. Ini merupakan salah satu solusi yang perlu digagas oleh panitia pelaksana. Selama ini dalam beberapa momentum, pelaksanaan MOS banyak memunculkan asumsi yang sifatnya negatif. Imej yang muncul di sebagian besar orang, bahwa MOS lekat dengan budaya kekerasan senior kepada yunior. Padahal semestinya MOS adalah media edukasi untuk mengembangkan tradisi diskusi agar siswa baru dapat mengerti dan mengenal sekolah barunya. Pelaksanaan MOS yang ramah bagi siswa baru dapat diaplikasikan dengan membuat lebih banyak format kegiatan diskusi, debat, tukar pikiran dan dialog antar siswa, panitia dan unsur sekolah lainnya.
Tidak kita pungkiri bahwa tidak sedikit pihak sekolah atau panitia sekolah dalam MOS yang memiliki pendapat bahwa MOS harus dengan perpeloncoan, dengan alasan untuk membina mental siswa baru. Boleh jadi, akibat dari praktek MOS semacam itu bukannya menjadikan para calon siswa terpahamkan dan dapat memperoleh well adjustment, namun malah mungkin justru sebaliknya, keruntuhan harga diri dan kerusakan mental yang mereka dapatkan! Tentu saja, hal ini merupakan awal yang buruk bagi kelangsungan belajar siswa ke depannya. Jika merujuk pada pemikiran Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999), praktek orientasi semacam itu sudah menunjukkan ciri-ciri dari sekolah berbahaya (dangerous school).
Oleh karena itu, sudah waktunya perlu dilakukan evaluasi terhadap praktik MOS semacam itu untuk segera digantikan dengan model-model kegiatan MOS yang lebih humanis. Kegiatan MOS bukanlah ajang untuk menunjukkan superioritas senior terhadap yunior, dan bukan pula ajang untuk melampiskan motif-motif destruktif yang terselubung. Tetapi justru merupakan upaya untuk menyambut hangat dan penuh kecintaanterhadap para calon siswa agar mereka merasa betah sekaligus memiliki kebanggaan dan keyakinan bahwa dia benar-benar telah memilih sekolah yang tepat bagi dirinya.
MOS yang Humanis
Lantas, seperti apakah MOS yang humanis itu ? Kegiatan MOS yang humanis setidaknya memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah :
- Memandang calon siswa sebagai sosok manusia utuh dengan segenap potensi kemanusiaan yang dimilikinya, yang patut dihargai dan dihormati keberadaannya. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masa orientasi ini digunakan pula sebagai moment untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki calon siswa untuk dikembangkan lebih lanjut.
- Pembimbingan dilakukan dalam suasana hubungan kemitraan yang sejajar dan penuh keakraban, baik antara calon siswa dengan calon siswa, maupun calon siswa dengan warga sekolah lama, termasuk dengan para guru.
- Reinforcement perilaku yang lebih mengedepankan pemberian ganjaran (reward) dan sedapat mungkin menghindari bentuk hukuman fisik maupun psikis (punishment).
- Metode kegiatan dikemas secara kreatif dalam bentuk dinamika kelompok yang menyenangkan dan lebih mengedepankan pada aktivitas para calon siswa.
Bagaimana melaksanakan MOS yang humanis ?
Ada beberapa kegiatan yang bisa kita jalankan agar MOS lebih humanis. Pertama, rancang kegiatan bersama antara guru dengan siswa. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol kreativitas siswa yang berlebihan yang mengarah pada bentuk perpeloncoan.
Kedua, guru harus senantiasa berada di tengah-tengah peserta, sehingga peserta MOS akan lebih antusias. Terlebih jika guru pendamping juga mau mengikuti kegiatan yang sedang berjalan. Misalnya, ketika acara menyanyi, guru juga ikut menyanyi bersama peserta, sehingga akan menghilangkan jarak antara guru dengan siswa.
Ketiga, pilih kegiatan sederhana namun memiliki makna dalam membangun karakter siswa. Misalnya, membuat kreasi dari barang-barang bekas yang mereka temukan sendiri di lingkungan sekolah.
Penulis ingin berbagi tentang pelaksanaan MOS yang ada di MAN 1 Surakarta khusus siswa program Boarding School. Program Boarding School adalah salah satu program unggulan yang ada di MAN 1 Surakarta yang secara khusus disiapkan untuk membentuk siswa/siswi yang mumpuni di bidang sains. Pada pelaksanaan MOS tahun ini terasa istimewa karena siswa baru mengenakan tampilan yang berbeda dari tahun sebelumnya. Mereka mengenakan jas praktikum selama masa MOS dan mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan dunia sains. Misalnya mengunjungi laboratorium yang ada di lingkungan sekolah, pengenalan alat-alat praktikum, dan lain-lain. Hal ini sebagai langkah awal pengenalan dunia sains. Yang paling mengasyikkan adalah guru beserta pengelola Boarding School semuanya juga mengenakan jas praktikum. Sungguh suasana MOS yang jauh dari kesan yang menakutkan. Siswa selama tiga hari masa MOS mengadakan kegiatan yang bernuansa sains, seperti game sains, diskusi sains hingga seminar motivasi bertema sains.
Memang bukanlah hal yang mudah untuk mengganti model kegiatan MOS ke arah yang lebih humanis, apalagi jika kesalahkaprahan dalam praktek kegiatan MOS sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Akan tetapi kita percaya bahwa dengan komitmen, kesadaran dan kecerdasan dari seluruh warga sekolah kiranya bukan hal yang mustahil untuk dapat mewujudkannya. Selamat memasuki tahun ajaran baru 2015/2016, selamat menjalani MOS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H