Analisa Perilaku Kecurangan Pada Akademik Mahasiswa Terhadap Pengaruh GONE THEORY
Apa Hubungan Antara GONE Theory Pada Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
      Jack Bologne sebagai pemrakarsa teori GONE menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.
      Dalam teori tersebut, korupsi pada dasarnya terjadi karena adanya greeds yaitu sikap yang selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Dalam konteks korupsi, greed dikaitkan dengan materialism.
      Teori korupsi menurut Jack Bologne, sering disebut sebagai GONE Theory. Dikatakan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose).
GONE = GREED + OPPORTUNITY + NEED + EXPOSE
a. Corruption by Greed (keserakahan)
      Hal ini berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang berpotensi ada pada setiap orang. Motif korupsi/kecurangan terletak pada keserakahan dan keserakahan sang pelaku, ia tidak pernah puas dengan keadaannya. Sekalipun dia memiliki setumpuk emas, keinginannya selalu untuk memiliki setumpuk emas lainnya. Alasan dia melakukan korupsi/kecurangan adalah karena dia memiliki dorongan, niat. Seseorang yang melakukan korupsi/kecurangan ini mungkin memiliki penghasilan yang cukup tinggi, bahkan termasuk kebutuhan hidup, tetapi selalu berusaha untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan. Dalam hal itu, faktor yang membuatnya terjerumus ke dalam kerusakan adalah yang dari dalam dirinya, sifat-sifat keserakahan, kesombongan, ketamakan, ketamakan, dan kesombongan yang sebenarnya ada dalam dirinya.
      Keserakahan dikaitkan dengan moralitasnya. setiap orang memiliki kapasitas untuk menjadi serakah karena pada umumnya orang tidak pernah puas. Jadi perselingkuhan terjadi karena keserakahan dalam diri seseorang.
b. Corruption by Opportunity (kesempatan)
      berkaitan dengan status suatu organisasi, instansi atau perusahaan sedemikian rupa sehingga menimbulkan peluang bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Motif korupsi/kecurangan adalah sistem yang memberikan celah atau peluang terjadinya korupsi. Sistem kontrol yang berantakan memungkinkan seseorang untuk bekerja sembarangan, orang dengan mudah memanipulasi angka untuk memudahkan perilaku curang dan menyesatkan, dan sistem pengawasan yang lemah menciptakan peluang besar untuk korupsi.
      kesempatan adalah sebuah situasi yang memungkinkan seseorang untuk dapat melakukan kecurangan dan menghindari risiko tertangkapnya seseorang tersebut akibat melakukan kecurangan. Seseorang akan melakukan tindakan fraud ketika mereka memiliki kesempatan. Kesempatan ini bisa berupa sistem pengendalian yang lemah. Ketika suatu organisasi memiliki pengendalian yang lemah, pelaku fraud akan memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan kecurangan.
c. Corruption by Need (kebutuhan)
      berkaitan dengan unsur-unsur yang dibutuhkan individu untuk menjalani kehidupan yang wajar. Motif keterasingan adalah sikap mental tidak pernah merasa cukup, selalu dipenuhi kebutuhan yang tidak ada habisnya. Bagi orang-orang dengan sikap mental seperti itu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup baik bagi diri sendiri, keluarga maupun kelompoknya. Penyebab lainnya adalah korupsi karena pendapatan PNS tidak cukup, di sisi lain harus membiayai semua kebutuhan hidup dan keluarga, sehingga ketika tiba waktunya tidak ada solusi lain. keadaan yang sangat mendesak memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan menyimpang tersebut.
      Kebutuhan biasanya terjadi apabila adanya suatu desakan yang mengharuskan seorang mahasiswa mendapatkan nilai sempurna. Desakan ini dapat berasal dari lingkungan keluarga ataupun dari lingkungan kampus. Menurut Maslow  (1943), menyatakan bahwa "manusia di motivasi untuk memenuhi sejumlah kebutuhan yang melekat pada diri setiap manusia yang cenderung bersifat bawaan".
d. Corruption by Exposes (pengungkapan)
      berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi penipu jika mereka diketahui terlibat dalam penipuan. Motif suap adalah hukuman bagi pelakunya ringan, sehingga pemberi suap dan masyarakat melihat bahwa hukuman bagi orang yang melakukan suap sangat rendah dan tidak sebanding dengan perilaku korupsi yang dilakukannya. Oleh karena itu, kemungkinan akan mengarahkan orang yang tidak korup atau koruptor kecil untuk mencoba perilaku korup atau terlibat dalam perilaku korup yang lebih besar.
      Menurut Bologna (1993) menyatakan bahwa pengungkapan adalah faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban tindakan kecurangan. Pengungkapan ini tidak dapat menjamin tidak terulangnya kecurangan oleh pelaku kecurangan yang sama atau pelaku lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.     Â
      Sedangkan Unsur Keserakahan dan Kebutuhan menyangkut individu (agen) koruptor, yaitu individu atau kelompok baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan tindakan korupsi yang merugikan korban. Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure berhubungan dengan korban korupsi (victims), yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Fraud Akademik
      Penipuan akademik adalah berbagai praktik yang melibatkan tindakan curang yang disengaja yang berasal dari tindakan tidak jujur, sehingga mengakibatkan perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap sesuatu. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecurangan akademik merupakan perbuatan tidak jujur yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai keberhasilan.
      Kecurangan berasal dari kata "curang" yang dalam Kamus Besar  Bahasa Indonesia, curang memiliki arti berlaku tidak jujur. Kecurangan  adalah perbuatan yang curang, (Depdiknas, 2008: 281). Jadi, kecurangan  menurut Depdiknas adalah perbuatan yang dilakukan dengan tidak jujur. Menurut W. Steve Albrecht, dkk., (2012: 6), kecurangan adalah istilah  umum yang mencakup semua cara dimana kelicikan digunakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan keuntungan lebih  dari yang lain dari penilaian yang salah.
      Menurut Tuanakotta (2007), ada ungkapan yang secara mudah menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud. Ungkapan itu adalah: fraud by need, by greed, and by opportunity. Namun ada makna dari ungkapan itu. Kalau ingin mencegah fraud, hilangkan atau  tekan sedapat mungkin penyebab. Menghilangkan atau menekan need dan greed yang mengawali terjadinya fraud dilakukan sejak menerima seseorang (recruitment process). Sedangkan unsure by opportunity dalam ungkapan tersebut biasanya ditekan melalui pengendalian intern.
Mengapa Kecurangan Akademik Mahasiswa Terhadap GONE Theory
      Universitas juga diharapkan untuk melatih staf profesional yang berkualitas di bidang sains, etika dan etika profesi. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu merumuskan pendapat mahasiswa dengan berorientasi pada proses, bukan hanya berorientasi pada hasil. mengingat masih banyak siswa yang melakukan berbagai perilaku menyontek untuk mencapai hasil yang maksimal, maka perilaku tersebut kemudian dikenal dengan istilah kecurangan akademik.
      Kemampuan yang dimiliki pelaku kecurangan, seperti: menekan rasa bersalah atau bahkan tidak merasa bersalah setelah melakukan kecurangan akademik, memiliki rasa percaya diri saat melakukan kecurangan, dan dapat dengan mudah mengajak teman untuk ikut dalam melakukan perilaku kecurangan tersebut.
      Siswa yang depresi cenderung melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka, bahkan jika mereka melakukannya dengan tidak jujur. Tekanan diyakini mempengaruhi perilaku mencontek siswa karena siswa kurang memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya dengan jujur, yang menyebabkan siswa tersebut melakukan praktik mencontek akademik.
      Selain Fraud Triangle terdapat teori yang menjelaskan seseorang melakukan kecurangan yaitu GONE Theory. Teori ini dikenalkan oleh Jack Bologne dalam buku Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques (1993) dan dalam Buku Panduan Fraud Auditing yang dikeluarkan oleh BPKP (2008). Elemen yang terdapat pada Teori GONE yaitu keserakahan (greeds), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), pengungkapan (exposures). Apabila salah satu dari empat elemen diatas, dapat diminimalisir, maka tingkat terjadinya kecurangan akan semakin rendah.Â
      Mahasiswa yang terbiasa melakukan kecurangan akademik semasa kuliah, maka akan ada kecenderungan untuk melakukan perilaku yang serupa pada saat terjun di dunia kerja. Perilaku kecurangan akademik mahasiswa terjadi karena adanya pengaruh dari beberapa faktor seperti: tekanan, kesempatan, rasionalisasi, dan kemampuan (fraud diamond) serta keserakahan, kebutuhan dan pengungkapan (gone theory). Kecurangan akademik menjadi suatu perbuatan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menipu, mengaburkan atau mengecoh dosen sehingga dosen berpikir bahwa pekerjaan akademik yang dikumpulkan adalah hasil pekerjaan mahasiswa sendiri.
      Akan ada orang yang melakukan penipuan karena sifat manusia yang tamak, tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya dan tidak puas dengan apa yang diterimanya. Siswa menyontek berdasarkan perasaan ketidakpuasan terhadap hasil yang mereka peroleh, yang mendorong mereka untuk melakukan kecurangan akademik. Jika keserakahan siswa tinggi maka perilaku menyontek siswa juga akan tinggi.
Bagaimana Hubungan Antara GONE Theory Pada Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
Hubungan Antara Greed dan Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
      Ada hubungan positif antara keserakahan dan tingkat kecurangan siswa. Hal ini menunjukkan keserakahan yang ada pada siswa memiliki hubungan dengan perilaku menyontek siswa.
      Hal ini sesuai dengan teori GONE bahwa keserakahan atau ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki dapat menyebabkan seseorang melakukan penipuan. Sifat serakah yang ada pada manusia akan mendorong seseorang melakukan berbagai cara untuk memuaskan ketidakpuasannya.
      bahwa setiap orang serakah dan tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, sehingga menyebabkan seseorang melakukan penipuan. Untuk memuaskan ketidakpuasan, orang mengubah keserakahan menjadi bentuk biasa untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
      Sifat serakah yang ada pada diri seseorang jika dibiarkan akan merugikan orang tersebut. Ketika siswa merasa tidak puas atau menginginkan hasil lebih dari apa yang telah dicapai, maka siswa akan melakukan berbagai cara untuk menanggapi ketidakpuasan tersebut. Hal ini disebabkan adanya tuntunan dari orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan nilai baik, mahasiswa memiliki keinginan untuk lulus dengan cepat, dan adanya tekanan dari lingkungan/teman untuk bersaing mendapatkan nilai yang tinggi. Indikator yang paling berpengaruh adalah adanya rasa takut akan persaingan yang menunjukkan bahwa pada era sekarang skor merupakan tolok ukur kecerdasan seseorang, membuat siswa yang tamak akan mencapai skor yang ingin dicapai meskipun harus. menggunakan cara yang tidak jujur.
      Bahwa keserakahan (greed) mempunyai hubungan yang positif untuk melakukan tindak kecurangan akademik. menambahkan bahwa semakin tinggi keserakahan semakin tinggi pula tingkat kecurangan akademik yang dilakukan oleh siswa.
Hubungan Antara Opportunity dan Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa.
      Elemen kedua dari GONE Theory yaitu kesempatan. Peluang atau kesempatan (opportunity) merupakan suatu situasi ketika seseorang merasa memiliki kombinasi situasi dan kondisi yang memungkinkan dalam melakukan kecurangan dan kecurangan tidak terdeteksi (Albrecht, 2003). McCabe dan Trevino (1997) menyebutkan bahwa seseorang merasa mereka mendapatkan keuntungan yang berasal dari sumber lain, dan itulah yang disebut dengan peluang. Ada hubungan positif antara peluang dan tingkat kecurangan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan adanya hubungan dengan kecurangan siswa.
      Hal ini sesuai dengan teori GONE bahwa peluang buruk merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan. Penipuan juga dapat terjadi jika pelaku menganggap situasinya menguntungkan atau aman untuk melakukan tindakan penipuan.
      Peluang untuk melakukan kecurangan akademik dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti pengawasan yang buruk, kondisi kelas yang buruk, dan kurangnya kontrol dari pengawas atau sekolah untuk mengurangi kecurangan siswa. Perkembangan teknologi dan fasilitas internet dapat menambah kesempatan siswa untuk berbuat kecurangan. Hal ini diperkuat oleh Albrecht, et al (2011) bahwa semakin tinggi kesempatan yang diperoleh semakin besar kemungkinan perilaku kecurangan dapat terjadi.
      Kesempatan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peluang untuk melakukan kecurangan akademik. Jenis Kesempatan seperti pengawasan yang buruk terhadap pekerjaan rumah atau ujian, ketidakpedulian guru terhadap siswa, dan kontrol yang buruk untuk menyontek. Jika siswa menemukan kesempatan untuk melakukan kecurangan, mereka lebih cenderung melakukannya. Tentu hal ini akan merugikan banyak pihak. Indikator yang paling berpengaruh adalah kurangnya kedisiplinan pelaku menyontek, artinya guru atau sekolah kurang memahami menyontek di sekolah dan metode yang digunakan kurang efektif untuk menekan siswa menyontek di sekolah. Karena itu.
      bahwa kesempatan mempunyai hubungan yang positif untuk melakukan tindak kecurangan akademik.
Hubungan Antara Need dan Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
      Elemen ketiga dari GONE Theory yaitu Need (kebutuhan). Bologna (1993) menyatakan bahwa kebutuhan merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku yang ada pada diri seseorang. Kebutuhan biasanya terjadi apabila adanya suatu desakan yang mengharuskan seorang mahasiswa mendapatkan nilai sempurna. Desakan ini dapat berasal dari lingkungan keluarga ataupun dari lingkungan kampus  Â
      Ada hubungan positif antara kebutuhan dan tingkat kecurangan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan memiliki hubungan dengan kecurangan siswa. Hal ini sesuai dengan Teori GONE yang menyatakan bahwa salah satu alasan seseorang melakukan kecurangan adalah kebutuhan untuk mendapatkan nilai yang baik. Tingkah laku seseorang pada umumnya berawal dari adanya suatu kebutuhan, dari situ timbul keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
      Setiap orang pasti memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi. Kebutuhan bisa terjadi akibat adanya dorongan orang tua yang menginginkan anaknya mendapat nilai sebagus mungkin tanpa melihat kemampuan dari anak tersebut maupun kebutuhan dari diri sendiri. Dengan banyaknya kebutuhan tersebut mahasiswa akan melakukan kecurangan akademik, agar kebutuhannya terpenuhi. sehingga dari perilaku dapat dilihat seberapa tinggi moral dan etika seseorang. Perilaku seseorang biasanya diawali dengan adanya suatu kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya akan menimbulkan sebuah dorongan sehingga individu tersebut akan melakukan suatu perilaku baik maupun perilaku buruk
      Kebutuhan dapat mempengaruhi kecurangan akademik individu jika individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk secara jujur mencapai tujuannya dan menganggap nilai yang tinggi sebagai persyaratan yang harus dipenuhi.
      Berbagai jenis kebutuhan yang dirasakan oleh siswa adalah kebutuhan untuk mendapatkan nilai yang baik karena ingin mencapai yang terbaik atau karena tekanan dari orang tua yang melihat kemampuan siswa hanya dari nilai yang dicapai. Dalam penelitian ini, indikator yang paling berpengaruh adalah kurangnya penguasaan mata pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan penguasaan materi yang kurang baik menyebabkan siswa membutuhkan nilai yang tinggi untuk menutupi kekurangannya dalam penguasaan materi sehingga siswa tidak perlu mengoreksi materi itu sendiri.
      Bahwa kebutuhan terdapat hubungan yang positif dengan kecurangan akademik yang dilakukan oleh seseorang.
Hubungan Antara Exposure dan Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
      Elemen keempat dari GONE Theory yaitu Pengungkapan. Menurut Bologna (1993) pengungkapan adalah hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku tetapi tidak memberikan efek jera. Pengungkapan suatu kecurangan bukan jaminan tidak terulangnya kecurangan tersebut baik dilakukan oleh orang yang sama maupun dilakukan orang lain.
      Ada hubungan negatif antara Pengungkapan dan tingkat kecurangan akademik siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pengungkapan memiliki hubungan dengan kecurangan akademik mahasiswa. pengungkapan tersebut berdampak positif terhadap kecurangan akademik siswa. Dengan kata lain, semakin banyak sekolah mengungkapkan, semakin banyak siswa yang mencontek. Hal ini dimungkinkan karena siswa yang mencontek tidak dikenakan tindakan atau hukuman yang berat, sehingga siswa yang lain tidak takut untuk melakukan hal yang sama.
      Hal ini sesuai dengan GONE Theory yang menyatakan bahwa salah satu alasan seseorang melakukan kecurangan adalah keterbukaan informasi. Pengungkapan merupakan faktor eksternal yang dapat dipengaruhi dengan tidak adanya sanksi yang berat terhadap pelaku kecurangan akademik. Bisa juga terjadi saat ujian, pengawas di ruang ujian mengetahui ada calon yang menyontek tetapi tidak ditegur atau dihukum, sehingga kecurangan dalam pembelajaran tetap dilakukan oleh calon. Setiap pelaku kecurangan harus dihukum atas tindakannya, karena sanksi atau pengungkapan perilaku curang tidak menjamin bahwa kecurangan tersebut tidak akan terjadi lagi.
      Jika tidak ada pengungkapan atas kecurangan akademik maka kecurangan akademik tersebut akan berulang dan sering terjadi. Pengungkapan merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kecurangan siswa. Artinya, jika guru atau sekolah berperan aktif dalam mendeteksi dan menghukum berat pelaku kecurangan, maka siswa tidak akan melakukan kecurangan akademik. Indikator yang paling berpengaruh adalah tidak adanya sanksi yang berat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika guru atau sekolah mendeteksi kecurangan dalam pembelajaran, maka pelaku kecurangan tidak dihukum sehingga menimbulkan efek jera yang menyebabkan siswa mengulangi pelanggaran tersebut bahkan setelah diberikan sanksi.
      Menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengungkapan dengan tingkat kecurangan akademik. Semakin tinggi pengungkapan sanksi akibat dari perilaku kecurangan akademik maka perilaku kecurangan akademik akan semakin rendah.
Hubungan Greed, Opportunity, Need dan Exposure Dengan Tingkat Kecurangan Akademik Mahasiswa
      Terdapat hubungan greed, opportunity, need dan exposure secara bersama-sama dengan tingkat kecurangan akademik siswa. Tingkat keeratan hubungan berada dilevel kuat.
      Hal ini sesuai dengan GONE Theory yang menyatakan bahwa keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan dapat menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Jika seseorang serakah untuk menjadi yang terbaik, membutuhkan nilai yang baik, didukung oleh kemampuan mencontek akademik untuk mencapai tujuannya, dan kurang terbuka, hal ini akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku mencontek akademik.
      Tingkat kecurangan akademik mahasiswa pada pengaruh terbesar adalah ketakutan akan persaingan, kurangnya kedisiplinan pelaku, kurangnya penguasaan materi, dan tidak adanya sanksi yang tegas. Jika ada orang dalam yang takut ditentang, merasa kurang menguasai materi, ditambah dengan ketidakmampuan guru dalam mendisiplinkan siswa dan tidak adanya hukuman yang berat bagi pelaku menyontek, maka hal tersebut mungkin saja dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan curang. kecurangan akademik.
      Menyebutkan bahwa secara bersamaan keserakahan (greed), kesempatan (opportuntiy), kebutuhan (need) dan pengungkapan (exposure) mempunyai hubungan dengan tingkat kecurangan akademik.
Kesimpulan:
- Pertana, menyimpulkan bahwa keserakahan berpengaruh positif terhadap kecurangan akademik mahasiswa. Individu yang memiliki rasa tidak puas dalam diri cenderung melakukan kecurangan akademik. Keserakahan  berpengaruh  positif  dan signifikan terhadap   kecurangan akademik . Semakin serakah untuk mendpatkan nilai yang bagus dalam pendidikan maka kecuranag akademik semakin meningkat akan semakin meningkat
- Kedua, menyimpulkan bahwa kesempatan berpengaruh positif terhadap kecurangan akademik mahasiswa. Kondisi dan situasi yang mendukung mahasiswa untuk berbuat curang dalam penelitian ini berupa semakin berkembangnya teknologi internet, kondisi kelas, dan pengawas ujian. Kesempatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap  kecurangan akademik. Semakin terbuka kesempatan untuk melakukan kecurangan maka  kecurangan akademik akan semakin meningkat
- Ketiga, menunjukkan bahwa kebutuhan berpengaruh positif terhadap kecurangan akademik mahasiswa. Nilai yang bagus merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi mahasiswa, dengan mendapatkan nilai tersebut mahasiswa cenderung melakukan segala cara termasuk berbuat kecurangan. Â Kebutuhan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kecurangan akademik. Semakin kebutuhan untuk mendapat pengakuan sebagai anak yang pintar oleh orang tua dan lingkungan, maka akan semakin meningkat kecurangan akademik
- Keempat, bahwa pengungkapan berpengaruh positif terhadap kecurangan akademik mahasiswa. Pengungkapan berhubungan dengan hukuman yang akan diterima oleh pelaku kecurangan. Dalam penelitian ini, hukuman yang diterima pelaku tidak memberikan efek jera, dan bahkan ada mahasiswa yang berbuat curang tidak mendapat tindakan tegas. Pengungkapan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kecurangan akademik. Â Â Semakin lemah dan ringan hukum yang diberikan pada pelaku kecurangan, maka akan semakin meningkat kecurangan akademik.
Pengenalan Pendidikan Anti Korupsi Terhadap Mahasiswa Pada Akademik Mahasiswa dan Generasi Z Â Menggunakan CDMA THEORY
Apa Itu Korupsi Menurut CDMA THEORY Robert Klitgaard
      Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
      Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya. Bila kita merujuk kepada UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:
- Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
- Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3)
- Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11)
- Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10)
- Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
- Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
- Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C)
      Model pergaulan masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kejujuran dan keramahannya telah dirusak oleh perilaku menyimpang dari sebagian orang atau orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jika ini terus berlanjut, Indonesia tidak bisa menjadi negara maju dari segi hukum, moral, pendidikan, ekonomi, dll. Dampak yang paling penting dari kasus korupsi adalah: (1) kemiskinan meningkat, (2) perampasan hak asasi manusia, (3) biaya pelayanan publik pemerintah menjadi lebih mahal. Beberapa survei di atas menunjukkan bagaimana langkah-langkah yang harus diambil untuk memberantas dan menangani kasus-kasus korupsi, khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Menurut teori Robert Klitgaard (2005:29), tindak pidana korupsi merupakan sebagai berikut:
Corruption = Directionary + Monopoly - Accountability (CDMA)
      Salah satu teori yang cukup tersohor menjelaskan tentang penyebab mengapa sebuah Korupsi Terjadi, Teori ini disebut dengan Teori CDMA. Menurut teori ini, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas. Teori ini diperkenalkan oleh Robert Klitgaard, menurut teori ini penyebab sebuah korupsi terjadi karena adanya Faktor C=D+M-A yang artinya Corruption = Directionary+Monopoly-Accountability (CDMA).
      Model untuk menganalisis korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar antikorupsi, salah satunya Robert E. Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi tingkat diskresi (D), monopoli (M), dan accountabilty (A). Karena korupsi mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor nilai-nilai memegang peranan penting. Berbagai riset terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam CPI tersebut.
1. Discretionary (diskresi)
      Discretionary (diskresioner) adalah tingkat otoritas yang dimiliki seorang pemimpin untuk membuat keputusan. Semakin tinggi kedudukan pemimpin maka semakin tinggi pula otonominya, dalam arti pengambilan keputusan harus didasarkan pada kreativitas, penalaran dan pemahaman pemimpin; Semakin besar otonomi, semakin besar kemungkinan korupsi.
      Kepemimpinan otoriter adalah contoh kesewenang-wenangan mutlak, di mana semua hukum dan birokrasi tunduk pada kehendak penguasa, sehingga korupsi adalah fenomena yang hampir pasti akan kita temui. Hal ini karena garis antara kepentingan individu penguasa dan kepentingan negara menjadi kabur, sehingga mengaburkan batas antara kekayaan individu penguasa dan kekayaan air negara.
      Upaya untuk mengurangi kesewenang-wenangan dapat dilakukan dengan menerbitkan uraian tugas yang jelas kepada pejabat atau pegawai lain, diikuti dengan proses persetujuan yang sistematis sebelum keputusan diambil, dan diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi yang komprehensif.
2. Monopoly (monopoli)
      Monopoli atas suatu produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di hadapan pelanggan atau konsumen. Dalam ranah ekonomi, pelaku monopoli dapat memanfaatkan posisi tawar ini untuk memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga untuk menjual produk. Di pasar monopolistik, konsumen tidak punya pilihan, sehingga kenaikan harga tidak berkorelasi kuat dengan volume barang dan jasa yang dijual.
      Dengan logika yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB dan izin usaha, di mana organisasi pemerintah memiliki monopoli, pegawai pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan kewenangannya tanpa mereka atur. Penyalahgunaan mereka bisa mengurangi kuantitas, mengurangi kualitas, bahkan tidak memberikan layanan saya sekali pun. Singkatnya, layanan hanya akan diberikan kepada mereka yang memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh jumlah suap yang diterima; Itu adalah tindakan korupsi.
      Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan mengubah monopoli menjadi kompetisi. Misalnya, dalam kasus kantor layanan publik, salah satu solusi yang mungkin adalah menyediakan sejumlah kantor layanan publik untuk dipilih oleh masyarakat. Hal ini akan mengurangi posisi tawar PNS di mata publik, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat korupsi.
3. Accountability (akuntabilitas)
      Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki seorang individu." Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus di- berikan diskresi terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya. Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel di hadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat dan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik melalui wakilnya mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka mengkritisi pejabat bersangkutan.
      Dari teori tersebut kita melihat dengan jelas bagaimana suatu proses korupsi dapat dan dapat dilakukan, menurut pendekatan teori ini menjelaskan bahwa peristiwa korupsi terjadi dari adanya suatu otoritas atau otoritas, secara umum dapat dikatakan bahwa itu adalah suatu bentuk kekuasaan. yang ada karena berasal dari posisi atau dari hukum.
      Misalnya kewenangan kepolisian yang berwenang melakukan interogasi dan penyidikan perkara pidana diatur dalam KUHAP dan KUHAP. Sebaliknya PNS juga punya hak, baik guru, dosen, dokter, tenaga medis dan lain-lain punya hak karena berasal dari jabatan dan peraturan.
      Dalam Teori CDMA dijelaskan bahwa Kewenangan atau wewenang memiliki potensi untuk memuat terjadinya korupsi jika kemudian kewenangan tersebut ditambah dengan Monopoly, dalam artian kewenangan Tersebut mutlak berada dalam dirinya karena jabatan yang dia miliki maupun kewenangan yang diamanatkan Peraturan perundang- undangan, seperti yang dikatakan oleh Loarc Acton bahwa "power tends to corrupt, and Absolut Power Corrupts Absolutely", menurutnya kekuasaan cenderung untuk korupsi, karena itu kekuasaan absolut maka kemungkinan korupsinya juga absolut.
      Ketika monopoli ini kemudian minus akuntabilitas, kurang jelas proses pertanggungjawabannya, atau tidak ada proses pertanggungjawabannya maka disinilah potensi Korupsi terjadi berdasarkan teori CDMA, demikianlah gambaran korupsi dan potensi sebuah korupsi bisa terjadi.
      Namun tentunya kita menyadari semuanya kembali ke jati diri masing- masing orang yang menduduki sebuah jabatan dan memiliki kewenangan, jika orang tersebut memiliki integritas yang kuat maka yakinlah kewenangan tersebut akan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebaliknya jika yang menduduki jabatan tersebut tidak memiliki integritas maka yakinlah potensi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan akan terjadi, jabatan semuanya adalah baik tergantung orang yang menduduki jabatan tersebut.
      Transparansi yang diterapkan oleh sekolah sejalan dengan teori Robert Klitgaard yang menganjurkan tanggung jawab orang tua agar tidak terjadi pelanggaran tata tertib mengenai kepentingan pribadi dalam pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja, dan sekolah. Biaya (APBS) yang nantinya akan dimaksimalkan oleh sekolah dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Mengapa Korupsi Terjadi Menurut Robert Klitgaard dan Korupsi Sulit Diberantas
      Teori CDMA (Robert Klitgaard) Korupsi dapat terjadi karena unsur kekuasaan (kepemimpinan) dan monopoli (monopoli) tidak disertai dengan akuntabilitas. Kekuasaan dan monopoli yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab pada akhirnya akan menimbulkan keserakahan. Dengan kekuatan, dia bisa memonopoli apapun dan tidak peduli dengan kualitas pekerjaannya. Baginya, semua yang dia lakukan didasarkan pada kekuatan. Pria yang membantunya sering memanggil pemimpin dengan tangan besi rakus. Namun, bawahan yang dekat justru memungkinkan mereka menekan segala bidang untuk memenuhi hasrat kepemimpinannya, sekaligus memuaskan hasratnya dan juga menikmati aji dalam prosesnya. Teori ini mengeksplorasi para penguasa atau penguasa yang memiliki kepribadian seorang diktator dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan.
      Kombinasi dari ketiga faktor ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk korupsi. Jika kita ingin mengurangi korupsi, Klitgaard menekankan pentingnya mengubah satu atau lebih faktor dalam persamaan korupsi. Hal itu dapat dilakukan dengan pembenahan sistem pemerintahan, peningkatan transparansi, penguatan penegakan hukum, dan penguatan integritas pribadi dan kelembagaan.
      Meski upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.
      Sejarah mencatat, banyak pemimpin yang dipilih rakyat karena menjadikan pemberantasan korupsi sebagai tema sentral kampanye pemilu mereka. Namun paradoksnya, apakah mereka sungguh-sungguh memerangi korupsi dan awalnya berusaha membasmi korupsi, atau sekadar memanfaatkan masalah korupsi untuk merebut hati massa, banyak dari mereka yang jatuh ke dalam perangkap kasus korupsi susulan. Di Indonesia, misalnya, pada awal masa jabatannya, Presiden Soeharto melakukan upaya serius pemberantasan korupsi melalui pembentukan banyak lembaga, namun upaya dangkal tersebut gagal dan masalah korupsi bahkan membuatnya dipecat pada tahun 1998. Di Filipina, Presiden Estrada terpilih dalam pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan tema antikorupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan dan bahkan dihukum karena terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Perdana Menteri Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari Nigeria hanyalah sebagian kecil dari barisan panjang pemimpin dunia yang bernasib sama. Michael Natch mengatakan bahwa tingkat korupsi yang tinggi adalah parameter yang valid untuk prediksi tumbangnya suatu pemerintahan.
      Korupsi merupakan tindak pidana yang sulit diungkap karena perbuatan suap melibatkan dua pihak, yaitu penyuap dan klien, yang keduanya berusaha menyembunyikan fakta, dengan mempertimbangkan besarnya kepentingan kedua belah pihak. risiko sosial jika tindakan mereka terungkap. Dalam kasus korupsi, ketika klien dan pejabat koruptor diuntungkan, mereka akan menyembunyikan perilakunya agar kepentingan mereka terlindungi. Sementara itu, dalam kasus korupsi yang salah satu pihak menjadi korban, korban cenderung tidak melaporkan kejadian tersebut, karena dalam banyak kasus korban dapat dipersalahkan ketika terungkapnya kasus korupsi dengan berbagai alasan, termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain buku ini memberikan contoh yang baik untuk menjelaskan fenomena ini.
      Seperti kasus penggunaan narkoba atau perkosaan, kasus korupsi ditutup-tutupi oleh pihak-pihak yang terlibat, termasuk korban, sehingga data yang terekspos hanya mewakili sebagian kecil dari kasus yang terungkap sebenarnya. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es yang sebagian besar kasusnya tidak muncul ke permukaan.
Bagaimana Kasus Penyebab Korupsi di Indonesia
      Banyak penyebab korupsi di Indonesia, dari mulai persoalan budaya, integritras, dan gaya hidup. Di Indonesia tindak pidana korupsi seakan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan terutama dikalangan pejabat. Para pejabat seakan tidak mempunyai rasa malu untuk melakukan tindakan yang merugikan negara ini. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah penyebab terjadinya korupsi di Indonesia. Menurut penasihat KPK, Abdullah Hehamahua seperti yang tertulis di buku yang berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK, setidaknya ada 8 penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
- Sistem penyelenggaraan negara yang keliru : Sebagai negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun, mulai orde lama, orde baru, hingga reformasi, pembangunan hanya difokuskan di bidang ekonomi. padahal setiap negara yang baru merdeka, masih terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan teknologi. Sehingga konsekuensinya semua didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi.
- Kompensasi PNS yang rendah : Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya. Apalagi Indonesia yang lebih memprioritaskan bidang ekonomi membuat secara fisik dan kultural menmbulkan pola konsumerisme, sehingga 90% PNS melakukan KKN.
- Pejabat yang serakah : Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Hal ini menyebabkan lahirnya sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, seperti melakukan mark up proyek-proyek pembangunan.
- Law Enforcement tidak berjalan : Para pejabat yang serakah dan PNS yang KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan karena segalanya diukur dengan uang. Hal ini juga menimbulkan kata-kata plesetan seperti, KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Kuasa).
- Hukuman yang ringan terhadap koruptor : Adanya Law Enforcement tidak berjalan dengan semestinya, dimana aparat penegak hukum bisa dibayar. Maka, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
- Pengawasan yang tidak efektif : Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit sudah tidak lagi berjalan dengan semestinya karena pejabat atau pegawai terkait bisa melakukan tindakan korupsi.
- Tidak ada keteladanan pemimpin : Ketika resesi ekonomi 1997, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada Thailand. Namun pemimpin Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana. Sehingga lahir dukungan moral dan material dari masyarakat dan pengusaha. Maka dalam wktu singkat Thailand telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara mendekati jurang kehancuran.
- Budaya masyarakat yang kondusif untuk KKN : Korupsi yang ada di Indonesia tidak hanya terpusat pada pejabat negara saja melainkan sudah meluas hingga ke masyarakat. Hal ini bisa dicontohkan pada saat pengurusan KTP, SIM, STNK, maupun saat melamar kerja. Tindakan masyarakat ini merupakan pencerminan yang dilakukan oleh pejabat politik.Â
      Kami baru saja menyusun daftar berbagai bentuk korupsi dari berbagai sumber. Padahal, korupsi adalah masalah kompleks yang tidak ada solusinya dapat instan dan sederhana. Korupsi tidak dapat diselesaikan sebagian, misalnya hanya mengandalkan penegakan hukum yang ketat dan bukan pada tebang pilih. Kita juga harus mempertimbangkan budaya (strategi budaya) sebagai dasar negara. Kita perlu memodifikasi kurikulum kita untuk memasukkan pendidikan korupsi sejak dini. Kita perlu menghidupkan kembali ajaran agama kita, yaitu, agama tidak terbatas pada ritual, tetapi benar-benar bekerja dalam kehidupan nyata Kami. Lebih dari itu, kami membutuhkan banyak hal, banyak sumber daya, dan banyak ide memberantas korupsi dari akarnya.
SUMBER:
[1] Wahyuningsih, I. (2018). Analisis Pengaruh GONE Theory, Integritas, dan Religiusitas terhadap Academic Fraud (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya). URL: http://repository.ub.ac.id/9898/. Diakses tanggal 30 Mei 2023
[2] Melati, D. S., & Hamidi, N. HUBUNGAN GREED, OPPORTUNITY, NEED DAN EXPOSURE DENGAN TINGKAT KECURANGAN AKADEMIK SISWA. Tata Arta: Jurnal Pendidikan Akuntansi, 6(3). URL: https://jurnal.uns.ac.id/tata/article/view/59108. Diakses tanggal 30 Mei 2023
[3] Budiman, N. A. (2018). Perilaku kecurangan akademik mahasiswa: Dimensi fraud diamond dan gone theory. Jurnal ilmu akuntansi, 11(1), 75-90. URL: https://core.ac.uk/download/pdf/305078541.pdf. Diakses tanggal 29 Mei 2023
[4] Jannah, S. M., & Adi, A. S. (2023). PENGUATAN PENDIDIKAN ANTI KORUPSI TERHADAP GENERASI Z SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN GOOD CITIZENSHIP DI SMP NEGERI X. Journal of Civics and Moral Studies, 8(1), 26-39. URL: https://journal.unesa.ac.id/index.php/jcms/article/view/23243. Diakses tanggal 31 Mei 2023
[5] Zachrie, R. (Ed.). (2009). Korupsi mengorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek pemberantasan. PT Gramedia Pustaka Utama. URL: https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=_tWCLog8FPoC&oi=fnd&pg=PR5&dq=Korupsi+mengorupsi+Indonesia:+sebab,+akibat,+dan+prospek+pemberantasan.&ots=isNhRfFGYD&sig=pdyLMGsqHElJoSbRLOpk6xyOAzc. Diakses tanggal 29 Mei 2023
[6] Ge, J. (2011). 16. Corruption and Irregularities in Academic Activities and Abnormal Academic Ethos. In The China Educational Development Yearbook, Volume 3 (pp. 245-254). Brill. URL: https://brill.com/downloadpdf/book/edcoll/9789004216877/B9789004216877_017.pdf. Diakses tanggal 31 Mei 2023
[7] Iqbal, M. (2022). Fraud Prevention Efforts In Managing Village Funds In Accordance With Aspects of Human Resource Management with Transparency Principles. International Journal of Economics, Business, and Entrepreneurship, 5(2), 87-97. URL: http://ijebe.feb.unila.ac.id/index.php/ijebe/article/view/200. Diakses tanggal 30 Mei 2023
[8] Andini, O. G., Nilasari, N., & Eurian, A. A. (2023). Restorative justice in Indonesia corruption crime: a utopia. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 31(1), 72-90. URL: https://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/24247. Diakses tanggal 31 Mei 2023.
[9] Klitgaard, R. (2017, June). On culture and corruption. In this paper was presented at the Public Integrity and Anti-Corruption workshop at Nuffield College, Oxford June (Vol. 13, p. 2017). Â URL: https://www.bsg.ox.ac.uk/sites/default/files/2018-05/BSG-WP-2017-020.pdf. Diakses tanggal 31 Mei 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI