Mohon tunggu...
Rusdianto Adit Amoersetya
Rusdianto Adit Amoersetya Mohon Tunggu... lainnya -

penjajahan imperialisme dalam negeri tercinta indonesia semakin mencengkeram kehidupan rakyat, kondisi ini tidak dapat di biarkan, maka semangat hidupku adalah untuk perjuangan bersama-sama rakyat, mengantarkan mereka ketempat yang lebih tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Biaya Pendidikan Univesitas Harus Murah

11 Juni 2012   06:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:07 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada hal yang berbeda dalam bulan Juni 2012, selain merupakan bulan bersejarah yaitu Pidato Soekarno didepan BPUPKI 1 Juni 1945 yang kita peringati sebagai hari lahir pancasila. Juga adalah tahun ajaran baru. Bulannya pelajar dan mahasiswa baru.

Tepatnya tanggal 12 Juni 2012 besok, akan diselenggarakan ujian tulis calon mahasiswa baru jalur SNMPTN. Selain harus mempersiapkan diri menghadapi ujian tes, para calon mahasiswa, juga sudah harus mempersiapkan segala macam pembayaran sebagai syarat diterima di Universitas.

Pendidikan itu mahal. Logika berfikir seperti ini terus dipropogandakan oleh lembaga-lembaga pendidkan. Bahkan menjadi pandangan yang lumrah dikalangan masyarakat luas. Namun, apakah benar pendidikan itu harus mahal?

Pendidikan itu tidak mahal. Konsepsi kebijakan pendidikan nasional-lah penyebab pendidikan menjadi mahal. Pemerintahan-lah yang mengadopsi sistim Neoliberalismesebagai landasan semua praktek bernegara. Sistim ini, sangat bertentangan dengan kepribadian dan indentitas asli masyarakat Indonesia. Liberalisasi dan privatisasi kemudian dicangkokan kedalam sistim pendidikan nasional. Karenanya, disahkan berbagai paket perundang-undangan seperti UU Sisdiknas dan setelah gagal mempertahankan UU BHP, kini pemerintah kembali akan mengesahkan UU Pendidikan Tinggi untuk mendukung logika pemerintah, bahwa pendidikan itu mahal.

Hal yang membedakan sistim pendidikan nasional sekarang dengan jaman kolonial hanyalah karena lembaga pendidikan sudah berdiri dimana-mana, setiappelajar atau calon mahasiswa bebas memilih kapan dan dimana mereka akan melanjutkan studi. Akan tetapi, tujuan dan watak pendidikan dan pengajarannya tetap sama dengan pendidikan kolonial. Pelajar atau mahasiswa adalah sumber eksploitasi pemilik modal.

Ambillah contoh, setiap mahasiswa baru dikenakan uang pendaftaran Rp. 175.000 untuk dapat mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Sebuah Universitas Negeri misalnya, hanya mempunyai daya tampung 2000 mahasiswa baru. Yang mendaftardi Universitas tersebut ada sekitar 5000an calon mahasiswa baru dan pendaftarakan terus bertambah. Karena tidak ada aturan tentang batasan jumlah pendaftar (logika pasar; semakin banyak semakin bagus). Kita bisa bayangkan, dari 5000an pendaftar hanya sekitar 2000 yang diterima. Pertanyaannya adalah dikemankan uang pendaftaran sekitar 3000an calon mahasiswa yang dinyatakan tidak lulus ujian masuk.

Inilah gabaran lembaga pendidikan nasional, Universitas bukannya hadir memyempurnakan keretakkan dalam pendidikan nasional, membuatnya menjadi lebih baik dan menjunjung martabat kemanusian. Justru menjadi “lembaga eksploitaisi yang sah” bagi kekuasaan.

Tidak sampai disitu saja, mahasiswa baru harus dihadapkan kembali dengan pembayaran uang pangkal, uang bangunan, uang almamater, uang praktek dan berbagai jenis pembayaran lainnya.

Pendidikan Mahal Anti Konstitusi

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, salah satu tujuan penting dari indonesia merdeka adalah mencerdaskan segenap kehidupan rakyat.

Selain itu, kewajiban pemerintah terhadap pengajaran rakyat tercantum dalam UUD 1945, pasal -31, yang menetapkan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidkan dan pemrintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional. Tentu saja, yang dimaksudkan oleh UUD 1945, bukanlah sistim Kapitalisme pendidikan, tetapi sebuah sistim pendidikan nasional berkarakter kebangsaan dan humanisme.

Ada pula pasa 27 UUD 1945, tentang persamaan kedudukan segala warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiandan persamaan hak warga dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian, pasal 34 UUD 1945 menetapkan, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Nyatalah disini, bahwa sifat bentuk pengajaran dan pendidikan tidak boleh membedakan antara kaya dan miskin, antar golongan rakyat yang satu dengan yang lain. Pendidikan berkualitas dan layak bagi kemanusian adalah hak setiap warga negara.

Teranglah dalam pasal UUD 1945, bahwa pendidikan di Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan kearah keselamatan dan kebahagian masyarakat, bukan berdasarkn watak eksploitatif mencari keuntungan semata yang merugikan masyarakat dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia.

Pasal 33 UUD 1945 Untuk Anggaran Pendidikan

Bukanlah suatu hal yang dapat disangkal, bahwa dalam pelaksaan pengajaran dan pendidikan di Universitas atau lembaga pendidkan lainnya membutuhkan anggaran pendidikan.

Di Indonesia, anggaran pendidikan adalah hal yang pelik. Selain harus berhadapan kepentingan liberalisasi kearah bisnis pendidikan yang disokong kekuatan modal. Dalam pemerintahan sendiri belum mempunyai kemandirian mengurusi pendidikan.

Dari dulu hingga kini, pemerintah masih menggunakan alasan anggaran pendidikan sebagai penyebab keterbelakangan kualitas pendidikan dan manusia Indonesia.

Meskipun, pemerintah telah menggelontorkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2012, tetapi peruntukannya lebih didomonasi untuk belanja pegawai. Kualitas pendidikan sepertinya akan selalu menjadi problem yang dinomor duakan.

Sementara, dalam Kandungan Pasal 33 UUD 1945 telah memberi jaminan kemandirian ekonomi bangsa, termaksud untuk urusan pendanaan pendidikan nasional. Persoalannya, apakah pemerintah mau konsisten melaksanakan pasal 33 UUD 1945.

Mengembalikan Pasal 33 pada relnya, adalah solusi satu-satunya pendanaan pendidikan nasional secara mandiri tampa harus menggantungkan diri pada biaya pendidikan yang “mencekik leher” keluarga peserta didik serta hutang luar negeri untuk pendidikan, yang menghambat kemerdekaan pembangunan pendidikan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun